Home / Romansa / AIR MATA RINDU / Apa yang Harus Kulakukan?

Share

Apa yang Harus Kulakukan?

last update Huling Na-update: 2025-07-13 11:42:31

"RINDU!"

Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu.

"Assalamualaikum, Bu."

Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah.

"Aws ... sakit, Bu!"

Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.

Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?

Bruk!

Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.

Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan.

"Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.

Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik jilbab yang kukenakan hingga terlepas dari kepala.

"Anak kurang ajar! Beraninya kamu menyakiti mbakmu!"

Ibu membuang jilbabku jauh-jauh. Menarik tas slempang yang masih tersampir di bahu, lalu melemparnya ke pojok ruangan.

Sontak saja aku memekik melihat itu. "Astagfirullah! Di sana ada hape Rindu, Bu!"

Tidak bisa kubayangkan, ponsel yang sudah tua itu harus terbentur dinding dengan kencang. Remuk sudah tentunya.

"Biarin! Aku nggak peduli!" sentak Ibu yang kini beralih menjambak rambutku.

Aku memekik sembari melepas tangan Ibu dari rambutku, tapi tak berhasil. Wanita tua ini benar-benar seperti orang yang sedang kerasukan setan hingga tenaganya bertambah seribu kali lipat.

Sembari menahan sakit di kepala, aku menoleh pada Zita. "Ada apa ini, Mbak?" tanyaku penuh tuntutan.

Tentu saja aku bingung. Tadi, kaki ini bahkan belum menginjak halaman rumah, tapi Ibu sudah marah-marah.

"Jawab, Mbak!" sentakku mulai tak sabar. Apalagi Ibu semakin kuat menarik rambutku saat ini.

"Sialan! Beraninya kamu membentak mbakmu!"

Plak!

Cekalan itu terlepas, digantikan oleh rasa panas di sebelah pipi yang sepertinya memerah. Jika saja bisa bicara, mungkin seluruh tubuhku akan mengumpat karena perlakuan kasar Ibu.

Tangan ini masih memegangi pipi yang terasa perih. "Kalian aneh!" ujarku penuh penekanan.

Sejak tadi hanya main tangan. Sebenarnya ada apa?

Kulihat Mbak Zita bangkit dari atas ranjang. Mendekat dan berjongkok di depanku. Dia serahkan ponsel mewah miliknya padaku.

"Kamu bisa lihat, kan? Kamu memalukan, Rindu!"

Aku tak menghiraukan ucapan Mbak Zita. Fokusku sudah teralihkan pada video yang sedang diputar. Terlihat aku dan Mas Dimas sedang berdebat di sana.

Ya, perdebatan kami saat di pabrik tadi. Ternyata, ada yang mengintaiku selama ini.

"Apa maksud Mbak memalukan? Aku justru membela harga diriku dari laki-laki brengsek seperti calon suamimu itu!"

Kutatap dengan berani mata Mbak Zita yang masih basah oleh air mata. Sungguh, sedikit pun aku tak merasa iba. Aku malah ... bangga.

"Harusnya kamu nggak balas Mas Dimas, Rindu! Harusnya kamu lari!" pekik Mbak Zita. Dia sampai berdiri sembari mengepalkan kedua tangan.

"Kamu tahu nggak? Gara-gara kelakuan kamu ini, aku jadi malu! Malu aku, Rindu!"

Sungguh, aku tak mengerti bagaimana jalan pikiran mbakku ini. Dengan sisa tenaga yang ada, kucoba untuk berdiri hingga kini berhadapan dengan Mbak Zita.

"Kalau Mbak Zita malu, itu semua karena Mas Dimas! Bukan karena aku!"

"Salahkan dia karena lancang berbicara seperti itu!" sentakku. Sabarku sudah benar-benar dikikis habis saat ini.

"Sialan!"

Ibu kembali memekik sembari mengumpat. Ia hendak kembali melayangkan tamparan, tapi aku lebih dulu menghindar.

Tanpa berkata, aku lewat begitu saja. Memungut jilbab juga tas lebih dulu, baru keluar dari kamar mbakku.

Brak!

Kututup dengan keras pintu kamarku. Tubuh lelah ini luruh ke lantai sembari bersandar pada pintu. Pilu sekali hidupku.

"Aku lelah, Tuhan ...."

Cairan bening yang mati-matian kutahan, kini meluncur secara perlahan. Kupeluk tubuh yang terasa sakit ini akibat ulah Ibu. Remuk rasanya tubuhku.

***

Ketika malam tiba, aku sama sekali tak keluar dari kamar. Tepatnya sejak kejadian di kamar Mbak Zita tadi. Sekalipun cacing-cacing di perut ini berbunyi, tak membuatku untuk melangkahkan kaki.

Aku masih ingin di sini. Bersembunyi dalam sunyi. Menawan diri dalam rasa kecewa yang belum hilang juga. Aku ... seperti jiwa yang terpenjara dalam raga sial.

Kutatap ponsel lama yang kini sudah benar-benar retak. Mati total setelah mendapat bantingan.

Tuhan ... padahal itu adalah alat untukku berkomunikasi satu-satunya.

Tok, tok, tok!

Perhatianku teralih. Siapa yang mengetuk jendela di malam hari? Kugeser tubuh ini agar semakin dekat dengan jendela. Menempelkan telinga pada gorden untuk memastikan pendengaran.

Tok, tok, tok!

Suara itu terdengar lagi. Sejenak kutatap jam bundar yang terpasang di dinding. Baru pukul 9 malam. Tidak mungkin itu setan, kan?

Kuhembuskan napas panjang dulu lebih dulu. Baru membuka gorden itu. Perlahan, hanya sedikit celah agar aku bisa melihat di luar ada siapa.

Namun, nihil. Mataku tak menangkap keberadaan siap pun di sana.

"Apa jangan-jangan ... itu hantu?" gumamku.

Tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri. Rasa takut mulai menyerang kala suara itu kembali terdengar.

Kali aku tak mengintip dulu dari gorden kamar. Langsung saja kutarik kunci jendela sembari menutup kedua mata.

"Rindu ...."

Bisikan itu terdengar di telinga, membuat mata ini seketika terbuka.

"Ma-mas Dimas?" gumamku penuh keterkejutan. Bagaiamana bisa pria itu ada di depan kamarku?

"Ngapain kamu di sini, Mas?" Aku bertanya dengan mata yang melotot tajam.

Berbeda denganku yang kesal, pria itu malah terkekeh pelan. "Nggak usah takut, Rin. Nggak ada yang lihat Mas di sini."

Bodoh!

Rasanya aku ingin mengumpat pada laki-laki ini. Mungkin dia kira aman, tapi siapa yang tahu jika Ibu atau Mbak Zita sedang mengintip dari jendela lain sekarang. Atau, ada tetangga yang tak sengaja melihat.

Video tadi saja bisa dengan mudah sampai di tangan Mbak Zita. Itu artinya, mbakku itu memang sengaja memantau, kan? Meski entah lewat siapa. Yang jelas, aku harus tetap waspada.

"Sudah cukup kamu buat aku dalam masalah, Mas!" ucapku penuh penekanan.

Langsung saja kutarik jendela kamar tanpa menunggu respon Mas Dimas. Namun, belum sampai tertutup, pria itu malah menyodorkan sesuatu.

"Mas akan pergi. Tapi tolong, terima ini dulu, Rindu."

Terdengar permohonan yang putus asa dari balik jendela. Kutatap plastik putih yang didalamnya terdapat stereofoam itu.

"Ini kwetiau goreng kesukaan kamu, Rin. Tolong terimalah," mohonnya yang kembali terdengar di telinga.

Kali ini aku benar-benar ada di antara jurang dilema. Ingin rasanya kuambil plastik itu karena perut ini pun tengah kelaparan. Namun, di satu sisi aku takut memberi Mas Dimas harapan.

"Mas mohon, Rin. Tolong ambillah. Setelah ini Mas akan pergi."

Oh, Tuhan ... apa yang harus kulakukan?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • AIR MATA RINDU   Boleh, Kan?

    Aku melangkah tanpa semangat menuju tempat bekerja setelah lolos dari ruangan Bu Siska. Rasanya, kaki ini langsung kehilangan tenaga ketika tadi wanita itu berkata, "Gaji kamu tetap saya potong! Dan kamu nggak boleh ambil izin lagi setelah ini!"Tuhan ... bagaimana jika suatu saat aku memang tak bisa masuk kerja? Tak hanya karena harus mengantar Bapak, tapi karena sebab yang lainnya juga. Bukankah selalu ada saja hal mendadak yang tidak bisa kita tinggal?Separah ini pekerjaanku. Gaji yang bisa dibilang kecil, lembur pun hanya dibayar murah yang kurasa tak sesuai. Belum lagi, Bu Siska memang tak bisa ramah para karyawan.Bisa kutebak, orang-orang bertahan di pabrik roti ini karena tak memiliki pilihan pekerjaan. Bukan karena betah berada di bawah kuasa bos besar yang entah siapa.Ya, kami tahu nama pemilik pabrik. Namun, tidak dengan wajahnya. Sejak awal pabrik ini berdiri 5 tahun lalu, kami langsung diarahkan oleh Bu Siska yang katanya diberi mandat untuk memegang kuasa."Rin, kamu k

  • AIR MATA RINDU   Tahu Akibatnya

    Aku dan Bapak kompak menoleh sembari mengernyit heran saat mendengar Bu Wati meneriaki nama Janu. Ya, mungkin maksudnya Dokter Januar. Terbukti, pria itu langsung keluar lagi dari dalam mobil begitu mendengar suara Bu Wati."Sepertinya mereka saling mengenal," gumam Bapak yang masih bisa kudengar. Kualihkan perhatian pada Bapak yang masih duduk di atas sofa dengan pandangan yang keluar. "Rindu anter ke kamar dulu, yuk, Pak! Habis ini Rindu mau ke pabrik," ucapku.Ya, meski sudah sangat terlambat, aku tetap harus datang ke pabrik agar bos besar tak lebih marah. Setidaknya, dia masih bersedia membiarkanku bekerja di sana. Itu saja sudah cukup untuk sekarang."Sana, kamu berangkat saja. Bapak bisa sendiri," sahut Bapak sembari memberiku senyuman khasnya.Baiklah, karena tak ingin berlama-lama, aku pun gegas pamit pada Bapak."Bapak doakan, semoga kamu nggak terkena masalah karena ini, ya, Nak.""Aamiin."Harapanku juga sama. Datang ke pabrik seperti biasa, tak ada drama marah-marah. Nam

  • AIR MATA RINDU   Janu

    Kuhembuskan napas lega setelah berhasil buang air kecil. Kini, aku sudah merasa nyaman kembali.Merasa tak ada lagi kepentingan di dalam toilet, gegas kulangkahkan kaki ini untuk keluar. Sedikit kubungkukan badan saat melewati orang yang sedang berada dalam antrean.Huh, untung saja saat aku akan masuk, di depan toilet tidak mengantre seperti sekarang. Bayangkan jika aku harus menunggu seperti ini juga tadi, pasti tak tahan sekali.Kufokuskan pandangan ke depan sembari berjalan. Namun, tiba-tiba alisku mengernyit heran melihat dokter yang tadi tak sengaja kutabrak seperti tengah mencari sesuatu.Merasa penasaran, aku pun membawa kaki ini melangkah lebih dekat lagi."Maaf, Dok. Saya lihat Dokter sedang mencari sesuatu. Ada yang bisa saya bantu?" Kutawarkan bantuan, takut dia memang membutuhkan.Sesama manusia harus saling menolong, kan? Meskipun kita tak saling mengenal."Oh, ini, Mbak. Name tag saya hilang. Sepertinya jatuh di sini," jawabnya sambil melirikku sedikit.Seketika perasaa

  • AIR MATA RINDU   Astagfirullah

    Sungguh, aku tak menyangka Mas Dimas tiba-tiba datang ke rumah. Untuk apa? Namun, sepertinya otakku sedikit terganggu hingga lupa jika pria ini adalah calon suami mbakku. Bebas saja jika dia ingin berkunjung kapan pun, kan? Tapi, tadi aku dengar dia ingin mengantar Bapak berobat. Apa tak salah?"Biar aku saja yang antar Bapak, Mas," tolakku sembari menatap pria bertubuh tinggi itu untuk beberapa detik. "Biar Mas saja, Rin. Mas memang nggak kerja hari ini."Hem, pantas saja Mas Dimas datang mengenakan pakaian santai, bukan seragam kerja seperti biasa. Jika begitu, rasanya tidak salah kalau aku menitipkan Bapak. Toh, Bapak juga calon orang tua Mas Dimas, kan? Aku jadi bisa tetap berangkat ke pabrik hari ini."Emh, baik—""Nggak bisa, Mas!"Ucapanku harus terpotong kala Mbak Zita dengan cepat menyela. Mbakku itu mendekat dengan penampilan yang sudah rapih. Sepertinya akan pergi."Kita udah janjian buat pergi, Mas. Jadi, kamu harus pergi sama aku!"Hah, kali ini aku tahu jika kedatangan

  • AIR MATA RINDU   Kenangan Manis

    Aroma sedap dari kwetiau goreng tak membuatku makan dengan lahap. Rasanya memang sama, sangat lezat. Namun, ada satu hal yang hilang sekarang.Kebahagiaan.Ya, jika dulu aku selalu semangat tiap kali Mas Dimas memberi kwetiau seperti ini, maka tidak dengan sekarang. Jika dulu aku akan langsung memakannya hingga habis, maka sekarang tidak.Bahkan, sudah satu jam berlalu sejak aku mulai memasukkan kwetiau goreng ini pada mulut, belum habis lima puluh persen pun. Selera makanku hilang, rasa lapar pun ikut pergi bersama pria yang masih kucintai.Entah aku yang bodoh atau memang cinta yang buatku buta. Aku ... masih mencintainya. Hingga sepanjang makan dengan gerakan perlahan, kenangan-kenangan indah dulu kembali berputar di kepala.Sore itu sepulang dari pabrik, Mas Dimas mengajakku ke sebuah warung yang cukup jauh. Hampir di luar kampung. Namun, karena Mas Dimas membawa motor, aku pun setuju.Sesampainya di sana, aku benar-benar dijamu oleh Mas Dimas. Pria itu memesan satu porsi kwetiau

  • AIR MATA RINDU   Apa yang Harus Kulakukan?

    "RINDU!"Pekikan Ibu membuat rasa lelahku setelah bekerja seharian makin bertambah. Kuayunkan kaki menuju wanita yang sudah menatap tajam padaku di ambang pintu itu."Assalamualaikum, Bu."Aku tak menghiraukan pekikan Ibu tadi. Tangan ini terulur untuk menyalami, tapi malah ditepis. Buka hanya itu. Sejurus kemudian, Ibu menarik kasar tanganku memasuki rumah."Aws ... sakit, Bu!" Aku berusaha melepaskan cekalan Ibu yang cukup kuat hingga tanganku terasa sakit. Namun, wanita tua itu seolah menulikan pendengaran. Ia terus menyeretku hingga sampai di kamar Mbak Zita.Seketika isi kepalaku dipenuhi tanya, ada apa? Kenapa aku dibawa ke kamar Mbak Zita?Bruk!Tubuhku dihempaskan dengan kuat hingga menimbulkan bunyi. Sebelah lenganku terasa sakit karena mengenai lemari.Aku mendongak pada Ibu yang masih setia memberikan tatapan tajam. Lalu beralih pada Mbak Zita yang sedang menangis sesenggukan. "Ada apa ini, Bu?" tanyaku tak mengerti.Bukannya menjawab, Ibu malah memekik sembari menarik ji

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status