Kaki ini melangkah tanpa semangat. Menyusuri jalanan desa yang sudah cukup ramai oleh warga. Ya, wajar saja. Kebiasaan perempuan apalagi ibu-ibu di sini selalu mangkal di depan rumah masing-masing, menunggu tukang sayur keliling.
Sejak keluar dari rumah hingga sudah setengah jalan, pikiranku terus melayang. Bahkan, orang-orang yang menyapa pun hanya kubalas dengan senyuman. Isi kepalaku masih dipenuhi oleh obrolan bersama Bapak tadi. Ya, Bapak melarangku untuk pergi. Aku bisa maklum dengan keputusan Bapak itu. Namun, tidak sedikitkah Bapak memikirkanku juga? Bagaiamana sakitnya melihat Mbak Zita dan Mas Dimas berumah tangga? Tuhan ... sekalipun berlagak kuat, tetap saja hatiku masih hancur sekarang. "Bapak nggak bisa pergi dari sini, Rin. Bapak nggak bisa tinggalkan rumah ini." Hanya itu jawaban yang Bapak beri saat aku ajak pergi bersama tadi. Entahlah apa alasannya, aku sungguh tak mengerti. Dalam bayanganku, hidup di kota akan lebih tenteram daripada di sini. Di sana, aku hanya hidup berdua dengan Bapak tanpa Ibu dan Mbak Zita. Bukannya aku tega. Tapi, rasa sakit yang mereka berdua berikan sungguh sudah di luar batas. "Rindu!" Langkahku terhenti saat mendengar suara yang memanggil. Kubalikan tubuh ini demi mengetahui siapa orang itu. "Bu Wati," sapaku dibarengi selarik senyuman. Wanita paruh baya itu tampak tersenyum juga sembari mendekat. Sebelah tangannya kini menekan pundakku dengan lembut. "Yang sabar, ya, Rindu." Aku terdiam sebentar. Menatap pada Bu Wati yang tengah menatapku dengan genangan cairan bening di kedua sudut matanya. Mungkin, wanita paruh baya ini iba pada nasibku yang sangat tak beruntung. "Rindu nggak apa-apa, Bu." Aku menjawab sembari menarik senyuman. Bu Wati ikut tersenyum. Namun, masih bisa kulihat jika matanya berkaca-kaca. "Kamu anak yang kuat, Rindu. Ibu nggak bisa apa-apa selain doakan kamu. Semoga setelah ini, Tuhan kasih kamu kebahagiaan, ya." Kuanggukkan kepala sembari meng-aminkan. Hatiku sedikit menghangat juga perih secara bersamaan. Bagaiamana tidak, Bu Wati yang notabene hanyalah orang lain begitu peduli padaku. Sedang, keluargaku sendiri? Hah, membayangkannya saja sudah cukup sakit. "Ini, Ibu bawa bekal buat kamu, Rin. Kebetulan tadi masak banyak. Jangan lupa dimakan nanti, ya." Bu Wati memindahkan plastik hitam yang sedari tadi dia pegang itu pada tanganku. "Bu, tapi Rindu nggak mau merepotkan," ucapku merasa sungkan. Apalagi, aku tak enak jika mengembalikan kotak makan ini dalam keadaan kosong nanti. "Tidak merepotkan, kok. Ibu sudah bilang kalau masak banyak di rumah," sanggahnya, masih mempertahankan senyuman. Baiklah, kalau begitu aku terima saja sekalian mengucapkan beribu terima kasih karena Bu Wati sudah berbaik hati. "Kalau gitu, Ibu pergi dulu, ya." Lagi, aku hanya mengangguk. Sejenak kutatap punggung Bu Wati yang sudah menjauh. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan. Setelahnya, kutarik kedua sudut bibir ini untuk membentuk senyuman. Ya, aku harus tetap bersikap tegar di depan semua orang agar Ibu dan Mbak Zita tak semakin merasa menang. Aku harus buktikan jika aku bisa bahagia meski gagal menikah dengan Mas Dimas. Seorang Rindu Anjani harus bangkit lagi!. Kakiku kembali melangkah untuk meneruskan perjalanan. Tak mau datang terlambat yang akan menyebabkan bos di pabrik mengomel panjang lebar. Tak memerlukan banyak waktu, kakiku kini sudah berhenti di depan pagar yang cukup tinggi. Ya, pabrik roti. "Selamat pagi, Dek Rindu." Seperti biasa, satpam yang berjaga selalu menyapaku. Seolah tak ada bosan hingga dijadikan kebiasaan. "Selamat pagi juga, Pak Mus," balasku tak kalah ramah. Setelah itu, aku mulai memasuki area pabrik. Berjalan menuju area pengemasan tempat menjalankan tugas. Pekerjaan yang tak terlalu berat memang. Aku hanya perlu duduk di kursi sembari menunggu mesin terus bergerak di depan. Oleh mesin itulah produk-produk dikemas. Sesekali tanganku memeriksa kemasan yang dirasa kurang sesuai untuk dikemas ulang nantinya. Begitulah hari-hariku berlanjut. Meskipun kerap kali bosan, tetap kupertahankan demi menyambung kehidupan. Berjam-jam dalam posisi yang sama, kini waktu istirahat datang juga. Sebagian karyawan pabrik bersiap untuk makan siang sebelum menuju mushala. Termasuk aku. Sedang sebagian lagi harus menunggu istirahat sesi kedua. Kulangkahkan kaki menuju loker guna mengambil bekal yang tadi diberi oleh Bu Wati. Hah, rasanya aku senang sekali. Tadi aku benar-benar tak sempat menyiapkan bekal karena pikiran yang bercabang. Alhamdulillah, Tuhan mengirim rejeki dari tangan seseorang. "Rin ...." Kotak makan yang berada di tangan hampir saja terjatuh gara-gara aku terkejut. Kuangkat kepala pada seorang pria yang tak lagi kuharapkan kehadirannya. Mas Dimas. Ya, dia yang baru saja memanggilku. "Apa?" tanyaku dengan wajah dingin. Tak ada lagi senyuman atau suara lembut dari seorang Rindu untuk pria itu. "Mas perlu bicara. Mas—" "Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, Mas. Semua sudah jelas!" potongku dengan cepat. Malas sekali harus mendengarkan ucapan Mas Dimas yang hanya itu-itu saja. "Rin, tapi ini penting. Dan kamu harus tahu." Aku mengerutkan kening. Sekalipun tak terlalu mengerti dengan apa yang dimaksud pria itu, aku tetap tak peduli. Membiarkan dia berbicara sama saja dengan membuka jalan untuk kembali. Masih jelas dalam ingatan apa pesan yang Mas Dimas kirim semalam. Paling-paling apa yang ingin pria itu ucapkan sekarang pun seperti itu juga. Hih, dia kira aku wanita murahan, apa! "Maaf, Mas. Aku nggak punya waktu buat ledenin kamu. Dan tolong, setelah ini nggak usah ganggu atau hubungi aku lagi!" ujarku penuh penekanan. Sengaja agar pria itu paham. Kulangkahkan kembali kaki ini. Melewati Mas Dimas dengan sikap tak peduli. Namun, saat langkahku belum jauh, suara pria itu membuat tubuh ini seketika berbalik. "Tapi kita belum berakhir, Rindu!" Sebelah tanganku yang bebas sontak mengepal mendengar ucapan Mas Dimas. Belum berakhir katanya? Sungguh aku ingin tertawa. Kutatap pria yang amat sangat kucinta itu dengan tatapan tajam. Sekalipun masih cinta, tapi hatiku sudah ditutup oleh rasa kecewa. "Semua sudah berakhir sejak malam itu, Mas! Kita sudah berakhir!" seruku dengan lantang hingga menghentikan kunyahan para karyawan yang tengah makan. "Mas nggak pernah bilang kalau kita berakhir, Rindu! Kamu masih kekasih Mas!" Sontak saja kedua mataku membola. Sungguh sialan Mas Dimas. "Tapi aku yang mau kita berakhir, Mas! Aku nggak sudi dengan laki-laki yang sudah menjadi calon suami kakakku sendiri!" Aku benar-benar mengeluarkan amarah yang sejak tadi tertahan. Hingga suasana di dalam ruangan yang tadinya ramai pun jadi sepi karena mereka fokus pada perdebatan kami. Namun, aku tak peduli. Toh, seluruh penghuni desa mungkin sudah tahu apa yang terjadi denganku, Mas Dimas, Mbak Zita semalam. Mas Dimas masih terpaku di tempatnya berdiri. Menatapku dengan ekspresi terkejut bercampur sakit. Tanpa berkata apa pun lagi, gegas aku berbalik. Ada kepuasan dalam hati saat melihat Mas Dimas sama sekali tak bekutik. Sakit? Bahkan aku jauh lebih sakit dari ini, Mas!Satu bulan setelah Ibu diperbolehkan pulang dari rumah sakit, sikapnya sudah sedikit membaik. Tidak ada nada ketus saat aku bertanya. Pun Ibu kerap kali mengajakku menonton televisi bersama. Sungguh perubahan yang luar biasa.Ternyata di balik cobaan yang menimpa, Ibu justru mendapat hikmah. Beliau jadi lebih dekat denganku dan Mas Janu, juga bisa dekat dengan calon cucu. Pernah beberapa kali Ibu meminta untuk mengelus perutku. Tentu aku mempersilakan dengan senang hati. Tak hanya itu, kini beliau juga sering bertanya tentang kehamilanku."Mau makan apa?""Perutnya sakit nggak?""Pinggangmu sudah mulai pegal belum?"Sungguh aku sangat senang saat mendapat pertanyaan itu.Hari ini aku, Ibu dan Mas Janu memutuskan untuk berlibur sekaligus merayakan kesembuhan Ibu. Ada rasa gugup saat aku pertama kali menghabiskan liburan bersama beliau. Takut saja kehadiranku membatasi kedekatannya dengan Mas Janu.Akan tetapi, itu hanya pikiranku. Justru Ibu malah terlihat senang berada di tengah-tenga
Aroma bubur ayam begitu menyeruak saat aku membuka tutup rantang. Kebetulan Ibu pun sudah selesai berganti pakaian. Jadi, aku akan mengajak beliau makan."Rindu tadi buat bubur ayam ini. Ibu makan, ya? Rindu suapi," pintaku.Bukannya menjawab, Ibu yang sedang bersandar di kepala bangsal, malah menoleh pada Bi Sri. "Kamu saja yang suapi saya, Sri. Ambil buburnya."Tangan ini yang semula sudah terangkat, siap menyendok bubur pun seketika turun. Bersamaan dengan pandanganku yang menunduk. Sebegitu tak maukah Ibu denganku?"Ya sud—""Aduh, perut saya tiba-tiba sakit, Bu. Mau ke WC dulu. Ibu disuapi Non Rindu saja, ya." Bi Sri memotong ucapanku.Kutatap wanita yang langsung ngacir menuju pintu ruangan itu. "Lho, mau ke mana, Bi? Di sini, kan, ada kamar mandi," tanyaku heran.Bi Sari yang sudah hendak mencapai pintu pun berbalik. "Bibi mau ke toilet masjid saja, Non. Biar tenang."Sejenak aku mengerutkan kening, heran dengan tingkah Bi Sri. Diberi yang ringan, kenapa malah pilih yang susah?
Pagi ini aku begitu bersemangat untuk membuat makanan meski di rumah hanya sendirian. Bukan tanpa alasan. Aku senang sebab Ibu sudah setuju untuk tinggal bersamaku dan Mas Janu. Hem, semoga saja dengan begitu, perasaan beliau bisa menerimaku. Aamiin ....Tangan ini bergerak pelan mengaduk bubur yang meletup-letup dalam panci. Kaldu ayam juga bumbu tambahan lain sudah aku masukkan agar rasanya meresap. Sengaja aku membuat ini untuk dibawa ke rumah sakit nantinya.Semalam, Mas Janu aku minta untuk menemani Ibu di rumah sakit. Sedangkan aku memilih untuk pulang karena ada yang harus disiapkan. Seperti kamar untuk Ibu contohnya. Ruangan yang terletak tak jauh dari ruang tengah itu sengaja kami jadikan kamar Ibu agar tidak perlu naik-turun tangga seperti di rumah sebelumnya. Tenang saja, meski kamar kami beda lantai, aku dan Mas Janu pasti akan sering memeriksa ke bawah. Lagipula, akan ada satu asisten rumah tangga yang dipindah ke sini untuk membantuku mengurus Ibu sekaligus mengurus ru
"Janin Ibu nggak apa-apa. Mungkin cuma nggak nyaman karena perjalanan barusan. Tolong jangan diulang lagi, ya, Bu. Ibu juga harus banyak istirahat."Aku bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan dokter kandungan. Syukurlah semua baik-baik saja."Kalau begitu, saya permisi dulu, ya, Bu Rindu."Aku mengangguk sembari mengulas senyum. "Makasih, ya, Dok."Dokter kandungan yang sudah biasa menanganiku itu berlalu dari ruangan. Tak lama, pintu kembali dibuka dari luar, membuat aku heran.Akan tetapi, rasa lega menyelimuti saat Mas Janu yang muncul dari balik pintu. Pria itu berjalan cepat ke arahku."Sayang ...."Cup, cup, cup!Dia mengecup kepalaku berulang kali. Deru napasnya tersengal hingga bisa kudengar."Kamu buat Mas khawatir, Sayang. Gimana? Apa yang sakit?" Kupegang kedua tangan Mas Janu yang ada di pipiku. Aku beri dia senyuman agar sedikit tenang. "Semua baik-baik saja, Mas. Aku sudah diperiksa dokter barusan," jelasku.Terlihat Mas Janu menarik napas lega. Lalu, dia duduk
Mas Janu berjalan tergopoh memasuki rumah Ibu. Raut cemas tergambar jelas sejak dia mendapat pesan dari ibunya. Aku pun sama cemas, tapi tak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti langkah Mas Janu pelan di belakang."Ada apa ini, Bi?" Aku bertanya pada salah satu ART yang baru saja menuruni tangga dari lantai dua."Ini, Bu ... Ibu tadi tiba-tiba sesak napas."Jawaban itu semakin menambah kecemasanku. "Tadi sudah mau kami bawa ke rumah sakit, tapi Ibu nggak mau. Katanya mau dijemput sama Den Janu.""Astagfirullah ...." Aku hanya bisa bergumam sembari menutup mulut menggunakan kedua tangan. Memang 2 bulan terakhir ini Mas Janu sangat sibuk dengan tugasnya hingga belum sempat mengunjungi Ibu lagi. Sedangkan aku memang tak berani menemui Ibu sendiri. Aku masih trauma, takut beliau mencaciku lagi."Ya sudah, Bi. Aku mau lihat Ibu dulu," kataku pada ART yang masih berdiri di depanku.Kubalikkan tubuh ini untuk menaiki tangga. Namun, belum juga satu langkah, Mas Janu sudah muncul sambil m
Nasi rasa pelangi? Hei, makanan macan apa itu?Keinginan Rindu benar-benar membuat kepalaku pusing di malam hari begini. Jika saja dia bukan cintaku, sudah pasti aku tidak akan mau."Untung Mas sangat mencintaimu, Sayang."Sejenak aku duduk pada kursi yang ada di dapur. Kepalaku mendongak pada langit-langit ruangan. Siapa tahu di sana ada ide yang bergelantungan.Sejujurnya aku masih bingung, dari mana istriku bisa tahu makanan yang dia sebutkan tadi? Namanya saja aneh sekali. Yang kutahu, selama ini Rindu tidak pernah memesan makanan dari luar jika tidak bersamaku. Apa dia melihat di internet, ya?Ah, sepertinya iya. Dan aku pun memiliki ide sekarang.Gegas kukeluarkan ponsel dari saku kolor motif kotak-kotak yang dikenakan. Sengaja aku membawa benda pipih ini ikut serta untuk berjaga-jaga. Dan benar saja, sekarang aku membutuhkan bantuannya.Jariku bergerak cepat mengetik kata kunci di mesin pencarian hingga muncul beberapa situs yang berkaitan. Dari semua situs yang muncul, sebagi