Share

Bab Enam

"Terus biasanya kamu ngasih ibu berapa? Kok tadi ibu minta satu juta? Lalu untuk keperluan lain gimana?" Mas Arya menatapku dengan tatapan ingin tahu dan penasaran, membuatku tersenyum miris dalam hati.

 

"Rezeki 'kan ada aja, Mas. Biasanya kukasih dari uang THR atau gaji 13 Mas. Pokoknya kalau pandai mengelola, pasti cukup," sahutku pura-pura empati padahal tidak sama sekali.

 

Rasain, Mas! Ini baru awal. Berikutnya bakal lebih banyak lagi kejutan yang akan kamu dapatkan, batinku lagi. 

 

Aku pun berjalan meninggalkannya, masuk ke dalam kamar.

 

Mas Arya membuntuti.

 

"Tapi lama-lama 'kan habis juga, An. Sekarang ATM itu mas berikan pada Maya, maksudnya gantian dia yang ngatur keuangan keluarga kita. Tapi satu juta mana cukup? Untuk ibu saja itu. Yang lain gimana?" kejar Mas Arya lagi, membuatnya kembali tertawa masam dalam hati.

 

Salah siapa, Mas? Dulu dengan sisa gajimu yang tak seberapa itu semua kebutuhan keluarga kita termasuk kebutuhan ibu dan adikmu tercukupi. Kenapa? Karena aku menganggap kalian semua keluargaku, orang-orang terdekatku. Membantu kesulitan kalian bukanlah masalah besar bagiku.

 

Tapi sejak kamu memberiku pengkhianatan maka semua tak ada lagi. Cukup sudah aku berkorban selama ini. Tak akan kuulangi lagi kebodohan itu.

 

Sekarang, masalahmu adalah urusanmu sendiri. Aku tak akan mau ikut campur lagi.

 

"Aku nggak tahu, Mas gimana cara ngaturnya. Kalau kemarin sih aku cukup-cukup aja tuh," sahutku santai.

 

"Cukup gimana?" Mas Arya membentak. Lalu saat melihat tatapan tak suka pada wajahku, ia mengendurkan emosi pada wajah dan nada suaranya.

 

"An, satu juta itu hanya buat ibu, lalu gimana buat yang lain? Gimana caranya kamu bayar kontrakan, listrik, air bersih, WiFi, makan kita satu bulan, jajan kita di luaran, kebutuhan Via dan kebutuhan kamu sendiri? Gimana caranya, An? Uang darimana?" cecar Mas Arya lagi sembari menatap penuh padaku. Aku melengos.

 

"Kok Mas baru nanya sekarang? Sudah tiga tahun berjalan semua kebutuhan itu tercukupi dengan sisa gajimu yang tinggal satu juta. Tapi kenapa baru sekarang Mas pertanyakan? Apa selama ini Mas gak pernah mikir berapa sisa gaji Mas dan berapa pengeluaran kita setiap bulan?" tanyaku balik.

 

Kurasa aku mulai tersulut emosi karena pertanyaan yang terus Mas Arya ajukan tentang dari mana aku mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga kami selama ini.

 

Aku tak mau jujur soal penghasilan dari menulis di platform kepenulisan online. Aku tak mau dimanfaatkan lagi. Tidak!

 

"An, Mas cuma tanya gimana caranya kamu mengatur uang satu juta itu hingga semuanya terpenuhi? Apa diam-diam kamu bekerja? Apa diam-diam kamu punya penghasilan? Iya?" 

 

Ups, akhirnya Mas Arya sadar juga jika uang satu juta tidaklah cukup untuk membiayai hidup kami bertiga dan ibunya selama sebulan.

 

Tapi dengan percaya dirinya ia mengatakan kalau selama ini aku hidup enak dan terjamin dengan gajinya. 

 

Itu pula yang mungkin membuatnya begitu percaya diri hingga memutuskan menikah lagi. Padahal sudah kukatakan, jangankan dua istri, satu istri saja ia tak sanggup mencukupi.

 

"Kerja? Aku kerja apa Mas? Kamu lihat 'kan sehari-hari aku hanya di rumah saja?" Kutatap wajah Mas Arya lalu tersenyum tipis.

 

"Sudahlah Mas. Kemarin 'kan kamu bilang banyak perempuan yang antri ingin jadi istrimu, bahkan mereka rela membayar puluhan juta demi itu, lalu kenapa kamu sekarang pusing soal uang? Bukannya Maya memberimu banyak uang sehingga kamu bersedia menikahinya? Harusnya yang pusing itu aku karena ATM sudah aku serahkan padamu dan hingga saat ini kamu belum memberiku nafkah bulanan."

 

Mendengar perkataanku, Mas Arya hanya diam. Namun, aku bisa melihat kilat tak suka dan rasa kurang puas akan jawabanku di mata suamiku itu.

 

Tetapi aku tidak peduli. Saat kemudian Mas Arya berlalu tanpa kata ke belakang, aku pun hanya diam. Acuh tak acuh.

 

Ya, kalau aku masih bertahan berada di rumah ini hingga saat ini, itu bukan karena aku masih mencintainya dan berharap Mas Arya kembali seutuhnya padaku. Tetapi aku hanya menunggu saat yang tepat saja. Saat Mas Arya sudah benar-benar mendapat karma dan balasan atas kecurangannya padaku. 

 

Setelah itu terjadi, aku tentu saja punya hak untuk menentukan jalan hidupku sendiri. Bagiku, tak ada maaf bagi sebuah pengkhianatan. Seorang lelaki yang begitu mudah dimaafkan, maka akan mudah pula berkhianat kembali. Dan aku tak mau hal itu terjadi lagi dalam perjalanan hidupku.

 

*****

 

"An, kamu masak apa? Mas lapar."

 

Usai mandi dan berganti pakaian, Mas Arya mendekatiku sembari memegang perutnya yang mungkin sudah keroncongan.

 

"Ada di meja makan. Kalau mau ambil sendiri ya. Tapi mulai besok, kamu harus belanja supaya aku bisa masak. Kalau tidak, aku dan Via mungkin harus puasa," sahutku dengan nada tenang.

 

Mas Arya hanya diam dan tersenyum kecut lalu melangkah menuju meja makan. Tangan kanannya kemudian membuka tudung saji dan kudengar ia menghela nafas pelan.

 

"Cuma masak ini, An? Ini kan hanya sayuran buat makan Via?" tanyanya dengan suara terdengar mengeluh.

 

Tadi aku memang sengaja masak sayur bayam yang ada di halaman samping. Jaga-jaga jika sewaktu-waktu Mas Arya pulang karena ia harus ke rumah ibu dan ternyata ia benar-benar pulang.

 

Aku tak mau Mas Arya keenakan karena menemukan menu seperti biasanya masih terhidang di meja makan rumah ini.

 

"Iya, Mas. Aku 'kan gak pegang uang lagi, makanya cuma bisa masak itu. Kalau gak, mungkin aku sudah beli ayam, udang atau pun ikan kesukaan kamu," sahutku sengaja menyindirnya.

 

Bagaimana bisa uang satu juta dibelikan aneka menu kesukaan Mas Arya yang serba mahal itu? Kalau tidak mengambil dari penghasilanku, mungkin ia harus puas makan sayur bayam atau kangkung setiap hari.

 

"Apa sebaiknya ATM itu kamu pegang lagi, An? Biar semuanya bisa tercukupi lagi? Entah bagaimana caranya kamu mengaturnya, tapi sepertinya di tangan kamu, uang sejuta itu jadi berkah sekali. Ibu dan Mira bisa makan, kita juga bisa makan. Kalau soal Maya, dia sudah mas beri satu juta rupiah setiap bulan dari penghasilan lain yang mas dapatkan di kantor. Tapi ya itu ... mas jadi agak susah karena biasanya uang itu juga buat BBM mas ke kantor. Tapi karena mas nikah lagi ya terpaksa kasih nafkah buat dia. Hanya saja sekarang ini mas jadi banyak hutang ke teman dan entah bagaimana cara harus membayarnya."

 

Oh ya, Mas? Maaf aku gak nanya! Batinku kesal mendengar pengakuan Mas Arya lalu berlalu meninggalkannya.

 

 

 

 

 

    

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Suswati
ribet koin
goodnovel comment avatar
Eli
so jadi bertanggung jawab padahal Ratri yg bekerja...
goodnovel comment avatar
Syafrina Harahap
bener sekali Bu....belumnlagi satu cerita punya banyak bab....menguras uang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status