Mendengar perkataanku, sesaat MItha memicingkan matanya.
"Mas mau cari pinjaman modal?" tanyanya sambil mencomot tempe goreng dan memakannya bersama cabai rawit.Sejak kami menjadi dekat, Mitha memang tak segan-segan untuk mampir meski tetap juga ia membayar dan meletakkan uang itu begitu saja di dekat keranjang jualan.Dan aku tidak menolak sebab butuh uang dan lagipula ia belumlah sah menjadi istri dan tanggung jawabku."Iya. Mas pengen mengembangkan usaha supaya menjadi lebih besar. Tapi siapa yang mau minjamin modal, ya?""Memangnya Mas butuh berapa?" tanya Mitha dengan nada tenang."Seratus juta rupiah, Mit!" sahutku dengan nada bersemangat.Sepertinya Mitha merespon apa yang kusampaikan."Hmm ... besar juga ya? Tapi bisa kok kalau mas memang benar-benar serius ingin mengembangkan usaha. Oh ya, kalau boleh tahu keuntungan mas jualan dalam sehari berapa?" tanya Mitha lagi, serPOV ARYA"Arya, kamu jadi ketemu Mitha tadi?" tanya ibu saat aku pulang dari berjualan sore ini.Menghempaskan tubuh ke sofa, kutatap wajah ibu dengan tatapan lemah."Jadi, Bu. Tapi ternyata benar yang dikatakan Ana, Mitha perempuan yang nggak bisa dimanfaatkan," keluhku dengan nada kecewa.Ibu yang mendengar, ikut menghela nafas."Jadi gimana? Kamu nggak jadi dong menikahi dia?" Ibu menatapku.Aku balik menatap ibu."Menurut ibu gimana? Apa aku masih harus menikahi wanita seperti itu? Aku ini ingin punya istri yang bisa membantuku menaikkan taraf hidup keluarga, Bu. Seperti Ana dulu, yang diam-diam selalu menghandle kebutuhan keluarga kita tanpa kita sadari. Jadi, aku nggak perlu capek kerja keras sendiri seperti ini," sahutku lagi."Iya, tapi di mana bisa nyari istri kayak Ana lagi, Ya? Seribu satu wanita seperti itu. Nggak akan bisa ditemukan lagi. Huh, kalau saja waktu itu ibu tahu, semua yang kita nikmati ini duit da
POV ARYA"Bu, jangan menangis terus. Alhamdulillah, Nak Arya sudah sadar kembali. Lebih baik kita banyak berdoa demi kesembuhan Nak Arya."Satu suara terdengar di telingaku. Suara bapak tua yang kemarin kutolong dari kecelakaan yang hampir menimpanya tetapi justru menyebabkan aku menjadi korban."Bapak bisa bilang begitu karena Bapak nggak merasakan apa yang saya rasakan. Anak saya yang selama ini jadi tulang punggung keluarga kami, harus mengalami kecelakaan parah seperti ini karena menyelamatkan Bapak, siapa yang tidak sedih, Pak? Bagaimana kami bisa makan kalau putra saya cacat dan buta seperti ini?" sergah ibu dengan nada keras sembari terus sesenggukan.Aku yang mendengarnya ikut menjadi sedih dan terkejut.Apa? Jadi sekarang aku adalah pria cacat dan buta? Pantas saja kakiku sulit sekali digerakkan dan mata juga tak bisa melihat apa-apa.Ternyata kecelakaan akibat menolong bapak tua kemarin itu, meny
POV AUTHORDokter Wisnu berjalan lunglai menyusuri koridor rumah sakit dengan kening berkerut. Hatinya sungguh tak tenang.Entah skenario apa yang sedang Tuhan turunkan padanya, di saat sedang mempersiapkan pernikahan dengan Ana seperti saat ini, ayahnya justru harus berurusan dengan Arya. Meskipun berkat lelaki itu juga sang papa selamat dari kecelakaan.Barusan papanya sudah melihat kondisi Arya yang sudah sadar dari koma selama dua hari dan sudah pula bertemu dengan ibu lelaki itu yang meminta agar keluarga besarnya bersedia menanggung seluruh pengobatan Arya hingga lelaki itu sembuh kembali.Bukan itu saja, pere
Pagi ini, Pak Baskoro menjenguk Arya ke rumah sakit dan bertemu dengan Bu Hasnah yang sedang menyuapi makan putranya itu.Saat melihat Pak Baskoro, wanita paruh baya itu menggeser tubuhnya lalu mempersilahkan laki-laki tua itu duduk di sisi tubuh Arya.Pak Baskoro pun duduk lalu tersenyum pada Arya meski ia tahu laki-laki itu tak bisa melihat."Ya, gimana? Kamu masih betah dirawat di rumah sakit ini atau mau dirawat di rumah saja? Kebetulan rumah untuk kamu sudah bapak siapkan, lokasinya nggak jauh dari rumah bapak juga biar bapak nggak susah kalau mau jenguk kamu. Gimana?" ujar Pak Baskoro pada Arya.Arya tersenyum lalu mengangguk."Saya pengennya dirawat di rumah aja, Pak. Bosan di sini. Tapi rumahnya gimana ya? Besar apa kecil? Saya pengennya yang ada tamannya, biar saya bisa duduk-duduk sambil santai di taman, Pak?" sahut Arya."Taman?" Pak Baskoro tampak mengingat-ingat. "Kayaknya nggak ada tamannya sih, Ya. Kamu mau yang ada tamannya?
"Lina!"Arya mengusap pipinya yang terasa panas dan menatap lekat wajah gadis di depannya yang mundur dengan wajah pias.Lina memang refleks melakukan tamparan itu sebab tak menyangka Arya akan menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk berbuat hal tidak baik terhadapnya.Gadis itu yakin, sesaat tadi Arya memang sengaja melakukan itu terhadapnya.Tapi bukankah lelaki itu buta? Kenapa bisa melihat wajahnya dengan jelas dan menyerang sasaran dengan tepat? Pikir gadis itu bingung."Kamu barusan menamparku, Lin?" Arya bertanya dengan suara tertekan. Menatap Lina dengan tatapan tidak terima."M-ma-af, tapi barusan bapak membuat saya takut," jawab Lina terbata-bata."Lancang kamu ya. Kamu nggak ingat, kamu bisa bekerja di sini karena saya. Bukankah gaji untuk merawat saya sangat besar? Tiga kali lipat gajimu magang di rumah sakit Wisnu mungkin. Apa kamu ingin dipecat?" hardik Arya lagi dengan nada tajam.Bertepatan dengan itu, Bu
Pagi-pagi sekali Wisnu sudah datang ke kediaman Arya dan meminta Bu Hasnah serta Mira membawa lelaki itu jalan-jalan ke taman, menghirup udara segar supaya Arya tak jenuh di rumah demi mempercepat kesembuhan lelaki itu sendiri, demikian pesan Wisnu pada Mira dan Bu Hasnah yang segera sesudahnya membawa Arya ke taman, tanpa lelaki itu curiga atau pun protes karena memang ia sendiri mulai jenuh di rumah terus menerus.Setelah tiga orang itu pergi, Wisnu segera meminta seseorang yang sudah ia bayar sebelumnya untuk memasang CCTV di rumah yang ditempati Arya tersebut.Ia ingin menjebak lelaki itu jika sekiranya memang sudah sembuh dari kebutaan dan lumpuhnya maka keluarganya tidak perlu lagi berhutang budi dan membalas budi itu terus terusan pada Arya.Setelah kamera CCTV selesai terpasang, tidak berapa lama Arya, Bu Hasnah dan Mira pun kembali.Barusan Wisnu sudah meletakkan sebuah dompet berisi uang tunai dua juta rupiah yang sengaja ia letakkan tidak jauh
"Pak Arya, saya antar bapak ke ruang makan, sekarang ya, kita sarapan pagi dulu. Habis itu kita ke taman, latihan jalan supaya bapak bisa berjalan normal kembali. Oke?" ujar Sri sambil mendorong kursi roda yang dinaiki Arya menuju ke ruang makan.Arya hanya diam, malas menjawab. Bibirnya terus ditekuk sedemikian rupa, tak tertarik untuk menanggapi perkataan Sri karena marah, perempuan itu tak sesuai dengan keinginannya semula.Hingga wanita itu selesai membawanya ke meja makan dan meminta Bi Nah menghidangkan makanan untuknya, ia masih saja diam."Bi Nah, ambilkan makanan untuk Pak Arya, ya. Setelah itu biarkan makan sendiri karena ini penting untuk membuat Pak Arya bisa segera beraktivitas normal kembali tanpa bantuan orang lain," ucap Sri dengan nada lembut tetapi tegas pada asisten rumah tangga itu.Bi Nah mengangguk mengiyakan dengan patuh lalu bergerak mengambilkan piring dan menuangkan nasi serta lauk pauk untuk Arya lalu meletakkannya di hadapan le
"Saya Sri, Bu. Perawat baru Pak Arya. Tadi saya hanya minta Pak Arya untuk latihan berjalan sehabis sarapan nanti supaya bisa segera pulih kembali, bisa berjalan dengan normal kembali seperti biasanya. Tapi Pak Arya justru menolak entah dengan maksud dan alasan apa. Makanya saya paksa supaya tetap latihan. Tapi bukannya menjawab, Pak Arya justru marah-marah.""Padahal tugas saya di sini adalah membantu Pak Arya berlatih jalan supaya bisa segera sembuh kembali. Nah, kalau Pak Arya menolak, apa namanya saya tidak bekerja dengan baik?" sahut Sri pada Bu Hasnah dan Arya."Ya, kamu nggak boleh maksa juga dong. Anak saya ini kan baru saja sembuh. Mana bisa dipaksa jalan kembali. Jangan aneh-aneh deh kamu, Sri. Kalau Arya nggak mau latihan jalan ya jangan dipaksa dong. Melanggar hak azasi manusia itu namanya! Bisa saya tuntut kamu ke penjara kalau maksa-maksa orang begini!" sahut Bu Hasnah emosi mendengar penjelasan Sri.Arya yang merasa dibela ibunya pun lalu tersenyu