Kinar berdiri di sisi jendela kamar Dayu yang dibiarkan terbuka. Menatap ke luar, menikmati udara sore yang lumayan menyejukkan, karena cuaca agak mendung. Dalam lamunannya teringat perkataan istri pamannya yang kemarin datang ke rumah. "Benarkah yang dikatakan Bulik Sari tentang Mas Galang?" gumam Kinar.Gadis itu menghela napas dalam-dalam. Ia tidak percaya dengan pengakuan yang diperoleh ibunya Kayla dari menantunya, yang tak lain masih bertetangga dengan Galang."Ah, kenapa aku jadi ragu begini, sih?" gerutunya lagi dalam batin.Berulang kali pikiran Kinar diserang rasa ragu membuat hatinya menjadi bimbang untuk melangkah."Mungkin ini ujian orang yang mau nikah," gumamnya lagi, mencoba mendamaikan hatinya sendiri. Kinar beranjak dari kamar sang adik, melangkah menuju kamarnya sendiri. Ia lantas terpaku di depan cermin seraya membayangkan acara pernikahan. Tak berapa lama, suara motor mirip yang biasa dikendarai Galang terdengar berhenti di halaman, membuyarkan lamunannya."Miri
Kinar terbaring meringkuk di sisi ranjang menghadap ke lemari kaca. Dalam bayangan di cermin tampak laki-laki yang telah dengan tega berbuat sesuatu, yang belum boleh dilakukan kepadanya, duduk membelakanginya sambil menunduk. Kinar terisak, ada rasa sesak bercampur sesal dalam dadanya. Sesaat kemudian ia mencoba bangun dan menyibakkan selimut. "Astaga ... rasanya perih dan pahaku rasanya sakit, ngilu!" rintih Kinar sambil meringis. Ia kemudian menggulung selimut dan melepas kain seprei yang penuh noda darah. Mahkota suci yang ingin ia jaga hingga hari pernikahan tiba, akhirnya terenggut sudah.Kinar tertatih menuju kamar mandi. Namun, Galang sigap menuntun. Gadis itu tampak merendam kain sprei dan selimut dengan deterjen di ember. "Jangan takut! Aku akan bertanggung jawab, Nar," ujar Galang saat sama-sama tiba di kamar. "Ya, seharusnya. Masak iya, kamu mau punya niat kabur!" ketus Kinar. "Oh ya, Mas, ternyata tato Mas ada di mana-mana, ya? Gak cuma satu. Apalagi di punggung juga a
Tatapan Kinar berangsur sayu, hingga tak kuasa menolak perlakuan Galang. Ia mulai terhipnotis dengan tatapan elang laki-laki yang kini berada di atas tubuhnya. "Astaga ...! Apa sebentar lagi kejadian kayak di rumah malam itu akan terulang lagi di sini?" gumam Kinar dalam hati sambil menatap wajah Galang.Jantung Kinar makin berdegup kencang, helaan napasnya terus memburu. Sesekali ia mengerjap, saat tangan Galang mulai menyentuh tiap inchi tubuhnya.Baru saja Galang membuka baju Kinar dengan paksa, suara langkah ibunya terdengar di ruang tamu. Galang langsung turun ke sisi ranjang, sedangkan Kinar bergegas memakai baju, dan menyisir asal rambutnya dengan jari tangan. Ia duduk di sisi ranjang, berusaha menetralkan denyut jantung dan napasnya yang terlanjur memburu itu."Sana, Mas, temui ibumu dulu! Sebentar lagi aku nyusul," pintanya pada Galang kemudian, sambil mengerlingkan mata dan tersenyum. Galang kemudian bangkit dari duduk dan melangkah keluar kamar. Kinar yang masih berada d
Kinar irit bicara saat dalam perjalanan, meskipun berulang kali Galang berusaha menoleh, mengajaknya bicara untuk mencairkan suasana. Rasa cemburu dan penasaran terlanjur bersarang dalam dada Kinar sejak kemarin."Pelan dong, jangan ngebut! Aku takut. Trauma tau, Mas!" tegur Kinar sambil mencubit pinggang Galang.Galang tak peduli dengan Kinar yang terus sewot karena dirinya memacu kendaraan dengan kencang. Laki-laki itu malah sengaja semakin melajukan kendaraannya membuat Kinar bergidik ngeri dan ketakutan."Idih! Udah dibilangin jangan ngebut!" teriak Kinar karena merasa disepelekan oleh Galang."Aku tau kamu lagi kesal, Nar. Makanya, aku ngebut biar cepat sampe sana," sahut Galang sambil menoleh tanpa senyum sedikit pun.Kinar terpaksa mencengkeram erat pinggang Galang, saat laki-laki itu semakin menambah kecepatan laju motornya."Aduh!" teriak Kinar saat Galang secara tiba-tiba menghentikan motornya. Kepala gadis itu yang terbungkus helm membentur kepala Galang yang juga memakai p
Galang sigap menarik lengan gadis berambut di bawah bahu itu, ketika hendak kembali duduk di sofa. Laki-laki itu sengaja mendudukkan Kinar di pangkuannya.Keduanya lantas saling beradu pandang, membuat Kinar tak kuat dan langsung tertunduk sayu. Galang menyentuh dagu mungil Kinar agar kembali mendongak dan menatapnya. Laki-laki itu kemudian mendorong perlahan tubuh Kinar hingga telentang di sofa.Galang tepat berada di atas tubuh Kinar, hingga tubuh gadis itu nyaris tak dapat bergerak. Dibukanya lapisan jaket dan meletakkan asal di sisi sofa yang lain. Wajah Galang mendekat tanpa jarak di wajah Kinar setelah ia berhasil mencengkeram erat pergelangan gadis itu. Galang mencondongkan wajah, kemudian mendaratkan bibir dan mencium lembut bibir Kinar.Kinar yang terpejam, tidak berani membuka mata. Jantungnya berdebar hingga menimbulkan sensasi seperti tersengat aliran listrik. Melihat Kinar yang seakan-akan telah tergolek pasrah, Galang semakin menggencarkan aksinya berulang kali mencium
Kinar dan Galang sudah tiba di rumah. Keduanya melepas lelah sambil mengobrol di ruang tamu, sebelum Galang pulang ke rumahnya."Mas, kayaknya Mbak Rasti masih punya rasa deh, sama Mas?" pancing Kinar. Sebab, gadis itu tadi mengamati gestur Rasti yang merupakan mantan kekasih Galang juga. Keduanya terpaksa putus hubungan karena Rasti dijodohkan orangtuanya dengan laki-laki lain."Ya jelas dong, Nar ... orang dia itu dulu sampe rela ngikut aku hidup di jalanan," balas Galang tak merasa jika ia sedang dipancing oleh Kinar."Terus, Mas sendiri masih cinta gak sama dia?""Dia itu baik banget, loh, sama aku. Pengorbanan dia banyak banget ke aku.""Bukan itu yang aku tanyakan, Mas! Aku tanya perasaan Mas ke dia, apa masih ada?""Udah gak ada."Mendengar jawaban Galang, Kinar tak sepenuhnya percaya. Mengingat obrolan di rumah Rasti tadi, tampak sekali jika tatapan Galang masih menyimpan rasa untuk wanita itu. Ditambah, Rasti yang sudah menyandang status janda karena ditinggal kabur suaminya,
Tak berapa lama, Widya membawa sang suami kembali menuju kamar anak gadisnya itu. Ridwan menyerahkan segepok uang kertas warna biru yang masih tersegel dari bank ke tangan Kinar. Wanita yang sebentar lagi melepas masa lajangnya itu kemudian menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian."Ibu ... Bapak ... Kinar minta maaf," ucap Kinar kemudian dengan berurai air mata. Ia merasa bersalah kepada orangtuanya."Udah, Nar, gak papa. Yang penting rumah tangga yang mau kamu bina itu bisa rukun dan langgeng," ujar sang ibu sembari mengelus sebelah pipi Kinar yang basah."Ya udah, cepet uangnya disimpan dulu. Terus, kamu keluar sapa saudara-saudara sama tetangga ya, Nar," pinta sang ayah kemudian.Sesaat kemudian Ridwan dan Widya keluar dari kamar. Kinar lantas menyimpan uang dalam genggamannya itu ke lemari. Setelah menyimpan uang di lemari, Kinar menyusul ayah dan ibunya keluar kamar. Wajah yang tadinya muram merasakan risau itu, berangsur tersenyum.Para saudara dan tetangga melempar c
Tok, tok, tok! Suara pintu diketuk dari luar oleh seseorang dengan keras, membuat Kinar menoleh ke arah pintu."Mbak Pengantin ... Mbak ...! Siap-siap, ya! Calon pengantin laki-lakinya, kabarnya sebentar lagi datang. Katanya ini udah ada di jalan!" teriak seorang laki-laki yang mengetuk pintu kamar Kinar, memberitahu kabar itu. Kinar menghela napas dalam. Ada rasa sedikit lega memenuhi rongga dadanya.Sang penata rias yang baru saja merapikan alat rias pengantin untuk dimasukkan ke dalam box, bergegas menghampiri Kinar yang duduk di sisi ranjang. Merapikan kebaya dan kain batik yang membalut tubuh Kinar, serta menyentuh dahi yang penuh embun keringat dengan tisu."Wah ... udah cantik, Mbak Kinar," ujar Santi sembari menyapukan kuas ke wajah Kinar.Kinar tersenyum, meskipun merasakan gugup yang luar biasa.Setelah menanti lebih dari dua jam, akhirnya rombongan pengantin calon suami Kinar tiba. Kinar dan Galang saling duduk berhadapan diapit kedua orang tua masing-masing, tentunya dite