Ammar dan Endang berangkat ke tanah suci diiringi isak tangis Gilang. Hari itu, Fahira memang sengaja datang bersama Yoga untuk mengantarkan kepergian Ammar dan Endang. Mereka berangkat bersama beberapa calon jemaah haji lainnya dijemput oleh pihak travel.
Beberapa kali Fahira memergoki Hesti sedang mengamatinya dan Yoga. Tapi Fahira tidak peduli,ia pura- pura tidak tau. Fahira memilih berbincang dengan bik Atun dan anak- anak kos yang sedang berkumpul termasuk Tania.
Setelah Ammar dan Endang berangkat, Fahira dan Yoga pun segera bersiap untuk pulang. Fahira pun menghampiri Kamania yang sedang bermain bersama Tania dan bik Atun.
"Yuk, Nia kita pulang. Eyang dan eyang uti kan sudah berangkat. Kita pulang sekarang, yuk," ajak Fahira.
"Kok buru-buru sih Fahira? Sini aja dulu. Kayaknya pak dokter juga nggak apa-apa," jawab Tania.
"Ngga enak sama Hesti. Nanti dikira teteh mau deket- deket sama suam
Sudah 2 minggu setelah Ammar dan Endang berangkat. Entah mengapa pagi itu, Fahira merasa sedikit gelisah. Ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Bahkan, ketika ia mencuci piring tadi, 2 piring sekaligus jatuh tersenggol tangannya dan pecah. Fahira merasa cemas, namun ia hanya bisa berdoa.Kamania yang melihat ibunya begitu gelisah pun nampak heran."Mama kenapa?""Mama nggak tau, Nia. Dari tadi pagi kok perasaan Mama sedikit nggak enak ya. Terakhir kita dapat telepon dari eyang kapan sih, Nia?""Kayanya tiga hari yang lalu, Ma." Fahira terdiam, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang terjadi kepada Ammar dan Endang. Ah, semoga saja ini tidak seperti yang Fahira khawatirkan.Ia pun melanjutkan pekerjaannya. Ada banyak sekali pesanan rajutan yang harus ia selesaikan. Namun, baru saja Fahira menyelesaikan 2 buah cardigan, ponselnya berbunyi. Bi Atun yang menelpon. Tumben, bik Atun me
Fahira sedang berbincang-bincang dengan Yoga sambil menikmati singkong goreng saat tiba-tiba bik Atun datang ditemani Tania dengan membawa tas besar.Fahira dan Yoga tentu saja kaget."Loh, bibik. Ada apa ini? Kok bawa tas besar begini. Bibi mau ke mana? Kamu juga Tania? Kalian kenapa?" tanya Fahira. Bik Atun langsung duduk bersimpuh di lantai. Sementara Tania terlihat bingung."Coba, kalian tenang dulu. Cerita pelan- pelan ada apa." Ujar Yoga. Tania menghela napas panjang. "Bik Atun dan aku diusir sama Gilang dan juga Hesti, Fa. Kalau aku sih tidak masalah. Aku masih punya rumah di Jakarta. Aku bisa pulang atau mencari tempat kos yang baru. Tapi, Bik Atun -"Fahira dan Yoga saling berpandangan."Kenapa, Bibik sampai diusir? Coba cerita sama Fahira," kata Fahira sambil membantu Bik Atun untuk duduk di kursi.*** Gilang dan Hesti terkejut dengan kedatangan pak Yusuf. Gilang menge
Pagi itu, Fahira kedatangan tamu. Siapa lagi kalau bukan Yusuf. Beliau datang dengan membawa sebuah kotak besar. Bik Atun dan Tania yang sedang duduk , terlihat sedikit penasaran dengan apa yang pak Yusuf bawa."Pagi, Fahira. Loh, kok bik Atun dan Tania ada di sini? ""Pagi, Pak. Iya, bik Atun dan Tania menginap di sini Pak," Fahira menjawab dengan tenang. Dahi Pak Yusuf sedikit berkerut, tampak kalau beliau memikirkan sesuatu."Yakin tidak ada apa- apa?" tanyanya untuk memastikan.Fahira, Tania dan bik Atun saling berpandangan."Tidak ada apa-apa , Pak," jawab Tania kali ini.Pak Yusuf hanya mengangguk, ia sebenarnya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi,untuk memaksa, beliau tampak enggan."Jadi, maksud kedatangan saya untuk menyampaikan sedikit amanah dari almarhum Bapak dan Ibu. Mungkin Nak Fahira sempat bertemu saya sebelum Bapak dan Ibu berangkat. Ya, tujuan saya waktu itu memang untuk mengurus in
Hesti baru saja menidurkan Erlangga dan Kinanti saat tiba-tiba terdengar suara keras. Bergegas Hesti keluar kamar. Ternyata Gilang sedang berdiri dengan wajah merah padam. Iyem yang melihat hal itu bergegas ke dapur. Ia takut kena sasaran, karena Gilang terlihat begitu emosi."Mas, kenapa? Pulang- pulang malah banting- banting pintu. Nggak ada kerjaan! Kalau anaknya bangun gimana? Aku sudah susah payah menidurkan si kembar," protes Hesti sambil cemberut. Alih- alih menjawab , Gilang menatap istrinya tajam. Melihat tatapan Gilang, Hesti seketika mundur perlahan. Ia merasa sedikit takut juga melihat Gilang yang seolah ingin menelannya hidup- hidup."Kau ini wanita tidak tau diri! Pembawa sial, wanita perusak!" Teriak Gilang."Apa salahku, seenaknya saja kau bicara!" Gilang memelotot, ia mendekati Hesti dan mendorongnya ke tembok. "Apa salahmu katamu?! Apa salahmu? Kau sadar sudah hampir membuatku bangkrut h
Dan sore hari itu Gilang habiskan bersama Sonia. Menurut cerita Sonia, ia adalah seorang SPG mobil. Ia bukan orang Bandung asli. Melainkan asli Surabaya. Mantan suami Sonia seorang pengusaha. Ia memiliki sebuah restoran sunda di kota Tasik. Tadinya, Sonia juga tinggal di Tasik. Tapi, begitu mereka bercerai, Sonia memutuskan untuk mencari pekerjaan dan tinggal di Bandung. Ia merasa malu kepada keluarga besarnya, karena dulu pernikahannya tidak mendapatkan restu dari sang ibu."Istri kamu nggak akan marah, kamu jalan sama aku gini. Apa lagi aku ini janda loh, mas.""Dia lagi aku hukum juga, nggak boleh keluar rumah. Aku lagi kesel sama dia.""Loh, emang kenapa mas?""Dia itu boros, sering beli barang yang nggak penting. Beda banget sa
Semenjak pertemuan dengan Sonia, Gilang sedikit berubah. Yang biasanya pulang untuk makan siang di rumah kini tidak pernah lagi. Bahkan hari libur pun ia jarang di rumah. Rumah pemberian orang tua Gilang sudah ia jual untuk menutupi kerugiannya, juga ia terpaksa menjual salah satu mobil yang ada. Untunglah masalah itu bisa sedikit teratasi. Tapi, rupanya Gilang tidak pernah belajar dari kesalahan. Hesti sendiri lebih banyak diam. Sedikitnya ia menyesali apa yang sudah ia lakukan. Sikapnya mulai membaik, meski iri hatinya tidak berkurang. Setidaknya ia mulai mau mengurus anak-anaknya dengan baik. Sebenarnya, Hesti sedikit curiga jika Gilang memiliki wanita idaman lain. Tapi, ia tidak berani untuk bertanya. Ia masih trauma dengan perlakuan Gilang tempo hari yang mengamuk sampai melakukan kekerasan. Dan, siang itu, seperti biasa, Gilang akan mengantarkan Sonia dan Davina pulang ketika Hesti menel
Pagi itu Fahira sudah didandani dengan cantik. Memakai kebaya berwarna putih susu dan kain batik khas Yogya Fahira terlihat begitu cantik. Sudah 2 hari Fahira menginap di Hotel mewah. Karena akad nikah dan juga resepsi akan diadakan di hotel juga. Rambut Fahira disanggul khas wanita Priangan dengan memaka mahkota, siger, ronce atau untaian melati. Fahira terlihat begitu anggun dan cantik. Make up yang ia pakai tidak tebal, namun benar- benar membuatnya cantik dan manglingi. Inayah betul- betul terharu melihat penampilan Fahira pagi itu.."Ceu, Fahira mohon doanya, semoga di pernikahan Fahira kali ini, Fahira mendapatkan kebahagiaan yang sejati." Fahira berkata sambil bersujud di hadapan Inayah."Doa ceuceu selalu bersamamu , Fahira. Jadilah istri yang baik, bahagiakanlah suamimu kelak. Jadilah istri yang solehah. Semoga, sakinah , mawadah,warohmah ya Fahira. Semoga dijauhkan dari bala." Air ma
Hesti membanting tas yang dibawanya. Ia keliatan kesal. Gilang pun tak jauh berbeda. Wajahnya ditekuk dan sama sekali tidak enak untuk dlihat. Iyem yang melihat situasi seperti itu,buru- buru masuk ke kamar si kembar. Khawatir jika kedua anak itu kaget atau menangis."Kurang ajar si Fahira itu. Rupanya dia sengaja mengundang kita untuk pamer. Mau bilang kalau sekarang dia punya suami kaya raya, punya pengaruh besar. Pasti begitu pikirannya," gerutu Gilang."Ya, kamu juga sih mas. Kamu nggak becus, coba kalau kamu becus kerja, punya relasi banyak. Coba perusahaan kamu itu join juga sama pejabat- pejabat! Kamu harus lebih bisa memajukan perusahaan dong!" kata Hesti. Sontak saja Gilang melotot geram, "Eh, kamu kalau ngomong yang bener! Kemaren siapa yang ngabis- ngabisin uang sampe ratusan juta cuma untuk barang-barang nggak guna?! Kamu harusnya yang sedikit mikir, katanya sarjana ekonomi, tapi ngatur keuangan aja n