|Wit, kalau kamu sama Aris jadi pisah, nanti pulang ke Solo saja, ya? Daripada di sana nanti gimana hidup kamu sama Zahra? Ibu nggak tega lihat kalian menderita|
Kulihat pesan dari ibu yang terkirim beberapa menit lalu. Ibu pasti sangat mengkhawatirkanku dan Zahra saat ini.
Takut jika kami terlantar atau kekurangan. Tapi aku sudah pikirkan dan putuskan untuk tetap tinggal di sini setelah perceraian nanti.
Entah mengapa aku yakin akan sukses di kota ini nanti. Sekalian membuktikan pada Mas Aris, Mbak Yuli dan keluarga besarnya bahwa aku bisa mandiri dan tak mati terlantar hanya karena pisah dengan Mas Aris!
Sudah tiga minggu belakangan aku mulai menjual kerajinan tangan yang aku buat, membuat contoh satu biji untuk konten youtube lalu memotretnya guna promosi di media sosial.
Tak menyangka jika responnya benar-benar positif bahkan sudah seminggu ini aku dikejar-kejar orderan online, bros hijab atau tuspin hijab puluhan lusin.
Usah
"Kamu masih di sini, Wit?" tanya Mbak Yuli saat memarkirkan motornya di halaman. Aku masih sibuk mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman pot di teras."Maksudmu apa, Mbak?" tanyaku singkat tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya."Kalau kamu gugat Aris, harusnya kamu tahu diri dong, Wit!" Bentak Mbak Yuli tiba-tiba.Astaghfirullah itu orang, pagi-pagi sudah cari gara-gara aja. Maunya apa coba?Aku berdiri tegak menghadapnya yang mulai melangkah ke teras sembari membawa sekantong kresek entah apa."Maksudmu apalagi nih, Mbak? Pagi-pagi mau cari gara-gara, ya?" balasku cepat.Mbak Yuli tampak bersungut kesal sembari menjatuhkan bobotnya ke kursi kayu yang tertata di teras rumah. Dia letakkan kantong kresek di atas meja."Kalau kamu sudah nggak cinta sama adikku, harusnya tahu diri. Pergi dari sini. Bukannya enak-enakan di sini!" Bentaknya lagi.Gegas kucuci tangan lalu sengaja meladeni dia, maunya apa
Pagi-pagi sekali aku sudah siap-siap pindah kontrakan. Sederhana nggak apa-apa asalkan aku dan Zahra bahagia. Nggak tertekan seperti ini, apalagi dua hari lagi sidang perdana dimulai.Berulang kali Mas Aris memintaku untuk memikirkan lagi dan lagi soal gugatan itu. Tapi aku tak peduli. Keputusanku sudah bulat untuk berpisah. Tak tahan hidup berdampingan dengan orang-orang toxic macam mereka.Sudah cukup lama aku memberinya waktu. Berulang kali pula aku memberinya kesempatan. Namun diabaikan. Jikalaupun sekarang aku menunda, yang ada aku justru semakin diremehkan keluarga besarnya. Aku tak sudi.Belum tentu juga Mas Aris berubah jika kuberi kesempatan lagi. Iya, kan? Sudahlah. Jika memang nanti ditakdirkan kembali itu urusan lain. Yang penting sekarang keputusanku sudah bulat untuk bercerai.Baru jam delapan pagi, Mbak Yuli dan Annisa sudah datang. Aku yakin, mereka pasti mau merecoki lagi.Apa dia sengaja ingin memanas-manasiku so
"Kalau bapak nggak mau kasih tahu ini kiriman dari siapa, saya juga nggak mau menerima walaupun gratis, Pak. karena saya nggak pesan, jadi nggak mungkin saya terima begitu saja, kan?" ucapku pada bapak itu yang mengangguk-angguk pelan."Benar juga, ya, Bu," balasnya singkat lalu menelepon seseorang entah siapa.Dia pergi sedikit menjauh dari pintu kontrakanku yang terbuka. Beberapa tetangga sampai keluar kontrakan karena mungkin cukup berisik.Mobil bak terbuka itu pun masih parkir tak jauh dari tempatku sekarang berdiri, menunggu Si Bapak kembali.Tak selang lama, Si Bapak melangkah tergesa ke arahku sembari memasukkan kembali ponselnya ke saku celana. Dia tersenyum tipis setelah sampai di sampingku."Bagaimana, Pak? Dari siapa ini? Atau mungkin Bapak salah kirim?" tanyaku serius."Nggak salah kirim, Bu. Kata pengirimnya, ini sengaja buat ibu karena dia pengagum rahasia ibu gitu, katanya. Dia juga tahu kok nama lengkap ibu
Sejak pesan pertama beberapa hari lalu, Mas Hanan sering kali menghubungiku. Dia minta waktu untuk bertemu, akan menjelaskan dan menceritakan alasannya sepuluh tahun lalu kenapa menghilang begitu saja.Ah, tapi sepertinya aku sudah mati rasa. Kecewa dan benci yang dulu terpatri dalam dada rasanya begitu sulit terobati. Dia mengecewakan aku, di saat aku mulai mempercayai semua janji-janjinya.Perih dan sakit. Bahkan mungkin seperti tersayat sembilu. Saat para tetangga tahu kapan dia akan menikah denganku, bukan aku yang cerita.Namun dia sendiri yang menceritakan keinginannya untuk mempersuntingku dengan segera. Tapi apa buktinya?Dia justru menghilang begitu saja tanpa segores kabar berita. Hati perempuan mana yang tak sakit? Hati wanita mana yang tak terluka?Bukannya diberi setitik penjelasan, dia justru lenyap seolah tak ada beban. Sementara aku harus terus mendapatkan beraneka macam cibiran dan gunjingan.Berulang kali dia me
Pesanan aksesoris hijab lima gross dengan harga 35.000/pics menjadi agendaku minggu ini.Aku buat aksesoris hijab ini menggunakan kristal dan dijahit satu-satu, berukuran mini tapi elegan dan cantik sangat cocok buat dipajang di toko muslimah apalagi butik.Untuk sementara aku tutup toko online karena ingin fokus mengejar pesanan ini sampai kelar.Pesanan sebelumnya sudah aku kerjakan dan kirim semua. Kini bisa lebih fokus untuk mengerjakan pesanan spesial ini beberapa minggu ke depan.Beberapa hari belakangan aku pun mulai sibuk mengajari tiga orang ibu muda yang niat untuk membantuku menggarap pesanan.Mereka cukup sabar dan telaten meski hasilnya belum sebagus bikinanku. Tapi setidaknya aku lihat ada usaha maksimal yang mereka lakukan."Punya Mbak Mayang sama Mbak Uni sudah cukup rapi ini. Kita bikin lima model dengan sepuluh warna yang berbeda ya, Mbak," ucapku kemudian. Mereka pun mengangguk nyaris bersamaan.Ak
Hari ini sidang terakhir perceraianku dengan Mas Aris dan Alhamdulillah sudah digelar beberapa menit yang lalu.Tak ada tuntutan atau pun banding darinya. Semua berjalan lancar hingga ketuk palu dan dinyatakan sah bercerai.Cukup cepat dan mudah. Mungkin karena aku juga tak menuntut harta gono-gini. Dia pun tak memperjuangkan hak asuh anak yang memang jatuh ke tanganku.Sesuai kesepakatan awal, Zahra ikut denganku. Lagipula Mas Aris juga sudah menawarinya untuk tinggal di rumah, tapi Zahra menolak.Dia bersikeras untuk hidup denganku apapun dan bagaimanapun keadaan yang akan terjadi ke depan nanti. Aku ke luar sidang dengan perasaan campur aduk. Ada sedihnya karena rumah tangga yang berjalan hampir sembilan tahun lamanya itu akhirnya usai juga.Namun di sudut hati lain, aku begitu lega karena sudah pisah dengan Mas Aris dan keluarga toxicnya itu.Gegas kukirimkan pesan pada Mbak Mayang, minta tolong untuk menjemput
"Assalamu'alaikum."Suara salam terdengar dari luar. Sepertinya Mbak Ulya sudah datang. Aku buru-buru meletakkan jarum dan benang ke tempatnya lalu melangkah cepat ke arah pintu.Benar saja, perempuan cantik itu tersenyum begitu manis sambil membawa kantong kresek."Wa'alaikumsalam, Mbak. Gimana kabarnya?" tanyaku sambil cipika-cipiki."Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak Wita gimana kabarnya?""Semakin baik, Alhamdulillah," jawabku dengan senyum lebar.Mbak Ulya pun ikut tersenyum. Kuajak dia untuk masuk ke ruang tengah seperti biasanya."Permisi ya, Mbak," ucap Mbak Ulya sembari membungkukkan badan saat masuk ke ruang tengah.Ketiga partnerku yang masih sibuk packing aksesoris hijab ke dalam box pun menoleh lalu menganggukkan kepala."Langsung aja ya, Mbak. Soalnya aku buru-buru mau bertemu seseorang, ini kekurangannya dua belas juta tujuh ratus ribu rupiah. Dihitung saja dulu," ucap Mbak Ulya
"Bu, mulai sekarang Zahra simpan rindu pada ayah ini sendirian. Zahra nggak mau lihat ibu nangis lagi karena diejek tante sama budhe. Kalau memang ayah nggak kangen sama Zahra, ya sudah nggak apa-apa. Masih ada ibu yang selalu kangen Zahra, kan?"Kedua mata anak perempuanku itu begitu basah. Ada luka menganga dalam tatapnya.Betapa tidak? Cinta dan kasih sayang seorang ayah yang selama ini dia harapkan hanya berakhir dengan sebuah tangisan.Mas Aris seolah tak peduli dengan rindu dan air matanya. Dia justru sibuk dengan dunianya sendiri.Tak peduli ada hati kecil yang sedang menunggu hadirnya di sini.Berulang kali aku membesarkan hati Zahra untuk jangan terlalu memikirkan ayahnya, tapi tetap saja Zahra bilang rindu ingin bertemu.Berulang kali aku menenangkan hatinya saat kecewa, Zahra bilang selalu memaafkan dan mendoakan ayah dalam tiap sujudnya.Sedih? Jelas iya. Kecewa? Apalagi. Hatiku terasa tercabik-cabik melihat ke