Pagi yang cerah. Mentari pagi menyinari bumi. Hangat. Kuhembuskan napas lega setelah melewati perjalanan panjang yang menengangkan. Sejak kemarin sore, Mas Hanan menginap di rumah pakde Samsul. Mereka ingin menjamu dengan makanan 'ndeso' katanya. Betapa bahagianya aku melihat keikhlasan dua lelaki itu. Mereka tak ada yang memaksakan kehendak. Menerima segala keputusan yang ada dengan lapang dada, saling merangkul dan melayangkan doa untuk kebaikan bersama.Indahnya dunia seandainya masing-masing orang memiliki keikhlasan dan tak bersikap memaksa seperti mereka. "Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Ibu yang masih sibuk di dapur gegas menjawab salam dan keluar menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. MasyaAllah Zahra ikut ke rumah Mbah Putri?" Ibu terdengar begitu girang. Ibuku yang menua dengan daster dan hijab simpelnya. Hijab yang warnanya sudah memudar, tapi masih terus dipakainya. Kadang ada luka yang menganga di dalam sana, betapa selama ini aku kurang memperhatikan ibuku.
"Gimana kabarnya, Ul?" tanya Rony dengan senyum lebarnya. "Baik, Ron. Kamu sendiri apa kabar? Sudah lama nggak ketemu, ya," ucap Mbak Ulya kemudian. Mereka saling melempar senyum."Iya sudah enam tahunan, kan? Sejak aku pergi ke Korea lost contact kita," ucap Rony lagi. Rony memang kerja di Korea sekitar lima tahunan, kontrak pertama tiga tahun lantas ada perpanjangan kurang lebih dua tahun. Baru pulang sampai sekarang. Bapak bilang mulai membuka usaha kuliner dan bengkel. Tapi aku masih heran dan bingung, kenapa mereka bisa saling kenal? Dimana bertemunya dan kapan? Apa sebelum Rony pergi ke Korea? Iya, saat dia kerja di Jakarta untuk modal kerja di Korea itu? "Bener banget kurang lebih enam tahunan. Ohya kamu nggak tahu kan kalau bos kita dulu itu papanya Pak Hanan?" Rony tampak kaget mendengar cerita dari Mbak Ulya. Dua insan beda kelamin itu pun menoleh ke arah Mas Hanan yang sudah duduk santai di sofa. "Benarkah? Wah, ternyata dunia itu berasa sempit, ya?" Mbak Ulya mengang
Pagi-pagi kuantar Zahra ke sekolah. Hari ini minggu terakhir masuk sekolah karena besok libur. Rencananya bakda maghrib nanti, Mas Hanan akan menjemputku dan Zahra. Dia ingin memperkenalkan kami dengan papa da adiknya, untuk mempererat hubungan keluarga, katanya. Setelah sampai halaman sekolah, kuantar Zahra masuk kelas. Gegas kulangkahkan kaki menuju ruang guru untuk bertemu dengan wali kelasnya, sekadar menanyakan perkembangan Zahra di sekolah. Apalagi kemarin aku tinggal seminggu lebih di kampung halaman. "Zahra Alhamdulillah perkembangan belajar dan nilai-nilainya bagus, Bu Wita. Dia juga sekarang jauh lebih ceria dan bersemangat di setiap pelajaran. Waktu istirahat juga digunakan untuk bermain dengan teman-temannya. Tapi-- "Tapi kenapa, Bu? Ada yang salah dengan Zahra?" tanyaku penasaran. "Soal Annisa, Bu. Sekarang dia justru lebih sering murung di kelas. Nilai-nilainya juga turun drastis, sering nggak masuk juga dengan alasan sakit. Saya sudah berusaha menghubungi orang tu
Bakda maghrib, Mas Hanan menjemput ke kontrakan. Aku dan Zahra pun segera menaiki mobilnya karena waktu sudah hampir setengah tujuh malam. Zahra duduk santai sembari menikmati pemandangan dari jok belakang, sementara aku duduk di depan samping Mas Hanan. "Suka nggak gamisnya?" tanya Mas Hanan. Dia menatapku beberapa detik lalu kembali fokus ke stirnya. Gamis yang aku dan Zahra pakai malam ini memang pemberian Mas Hanan. Ulya yang menyerahkannya kemarin. Meski berulang kali kutolak, nyatanya dia tetap meletakkan gamis couple ini di atas etalase. Gamis berwarna hijau tosca yang cantik. "Gamis segini cantiknya masak nggak suka? Jelas suka, cuma lain kali nggak usah ya, Mas. Lagipula, ini kelihatan mahalnya," ucapku lagi. Mas Hanan hanya tersenyum tipis."Buat kamu dan Zahra nggak ada kata mahal." Aku pun menoleh. "Pinter banget jawabnya," balasku kemudian. Lagi-lagi dia kembali terkekeh. Setelah sampai halaman rumah Mas Hanan, aku meminta Zahra untuk turun dari mobil perlahan. Rumah
Pov : Yuli Mataku terasa begitu berat. Menangis pun rasanya percuma. Keadaan tetap tak bisa kembali seperti semula. Rumah, harta satu-satunya yang kumiliki sudah terjual beberapa hari yang lalu. Ah sudahlah. Daripada aku pinjam sana-sini yang ada hanya dapat makian, lebih baik jual yang ada. Toh masih ada rumah peninggalan bapak dan ibu. Begitulah, kini aku tinggal bersama Aris di rumah peninggalan orang tua. Aku sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari dengannya. Mungkin karena itu pula dia akhirnya memilih kredit rumah daripada harus kumpul denganku. Dia bilang, nggak enak kalau nanti punya istri lagi harus kumpul satu atap denganku. Yasudah, terserah. Rumah minimalis itu laku tak terlalu banyak, hanya sembilan puluh juta karena memang aku jual cepat. Kasihan Denis, uang sekolahnya belum terbayar. Berulang kali diminta guru untuk memberitahuku soal itu. Uang gedung, uang bulanan dan uang pembelian buku, semua sudah kulunasi. Biaya sekolah Annisa pun sudah lunas. Aku juga sudah
Ponsel berdering beberapa kali. Aku yakin telepon dari Mbak Ulya. Dia bilang akan menjemputku ke kantor karena Mas Hanan masih ada urusan jadi tak bisa menjemput. Rencananya, hari ini akan ke butik untuk fitting baju pengantin. Butik milik mama memang dikelola Syifa, namun Mas Hanan malas minta tolong adik semata wayangnya itu untuk membuatkan baju. Dia memutuskan untuk mengambil dari butik sahabat almarhum mama saja daripada harus meminta Syifa untuk membuatkannya.Mas Hanan nggak ingin acaranya berantakan jika hari H Syifa justru sengaja merusak baju yang sudah dipesannya. Dia nggak mau mengambil resiko terburuk. Meski papa meminta Mas Hanan untuk minta tolong Syifa saja, namun Mas Hanan tetap menolak. Bersikukuh dengan keputusannya sendiri. "Hallo, Mbak Wita. Sudah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?" tanya Mbak Ulya dari seberang. Sepertinya dia masih di kantor karena suara cukup berisik."Iya, Mbak. Tapi jemput Zahra dulu, ya?" balasku kemudian. "Sekalian aku jemput saja, Mba
Mas Hanan datang di saat yang tepat. Saat aku mendapatkan bully-an karyawan-karyawannya. Tak ada akhlak memang, mentang-mentang janda aku selalu disudutkan dan disepelekan. Entah apa mau mereka, rasanya tak betah berada di kantor lama-lama. "Saya nggak mau dengar siapa pun menjelekkan calon istri saya, apalagi setelah nanti dia sah menjadi istri saya. Sebagai kepala rumah tangga saya berkewajiban melindungi dia. Saya nggak akan memecat kalian begitu saja, paling tidak saya beri surat peringatan. Kalau memang nggak didengar, baru saya lakukan pemecatan. Jangan dipikir saya nggak akan tega, saya tega jika memang sikap kalian terlalu kelewatan!" Ancam Mas Hanan lalu meminta Mbak Ulya untuk mengantarku ke ruang kerjanya. Suasana mendadak hening. Tak ada satu pun yang berani bersuara apalagi membantah. Mereka saling lirik satu sama lain lalu kembali menunduk. Baru saja masuk ruang kerja Mas Hanan, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang cukup kukenal. "Zahra! Ra ... kamu di sini?" ta
Hari terus bergulir, pernikahanku dan Mas Hanan tinggal sehari lagi. Besok akad nikah itu akan di gelar, jam sembilan pagi. Sejak kemarin tetangga dan saudara sudah banyak yang datang ke rumah. Bahkan kini menjelang maghrib mereka baru pulang, nanti bakda maghrib datang lagi.Seperti biasa, sebelum hari H para tetangga membuat camilan-camilan untuk dihidangkan esok hari saat para tamu berdatangan. Selain membeli camilan jadi, mereka juga membuat aneka jajanan pasar seperti wajik, wingko babat, tape ketan, nagasari dan lainnya. Mas Hanan pun sudah datang dan menginap di tempat Rony sejak tiga hari yang lalu. Sementara papanya baru ke Solo hari ini, namun dia lebih memilih untuk menginap di hotel.Mungkin tak terbiasa tinggal di rumah orang lain, sementara Mas Hanan memang diminta Om Samsul untuk menginap di rumahnya saja. Takut ada hal-hal yang tak diinginkan jadi masih mudah dalam pengawasan. |Mbak, kamu yakin Mas Hanan nggak pernah memiliki masa lalu yang buruk? Sampai kamu sebegit