Bakda maghrib, Mas Hanan menjemput ke kontrakan. Aku dan Zahra pun segera menaiki mobilnya karena waktu sudah hampir setengah tujuh malam. Zahra duduk santai sembari menikmati pemandangan dari jok belakang, sementara aku duduk di depan samping Mas Hanan. "Suka nggak gamisnya?" tanya Mas Hanan. Dia menatapku beberapa detik lalu kembali fokus ke stirnya. Gamis yang aku dan Zahra pakai malam ini memang pemberian Mas Hanan. Ulya yang menyerahkannya kemarin. Meski berulang kali kutolak, nyatanya dia tetap meletakkan gamis couple ini di atas etalase. Gamis berwarna hijau tosca yang cantik. "Gamis segini cantiknya masak nggak suka? Jelas suka, cuma lain kali nggak usah ya, Mas. Lagipula, ini kelihatan mahalnya," ucapku lagi. Mas Hanan hanya tersenyum tipis."Buat kamu dan Zahra nggak ada kata mahal." Aku pun menoleh. "Pinter banget jawabnya," balasku kemudian. Lagi-lagi dia kembali terkekeh. Setelah sampai halaman rumah Mas Hanan, aku meminta Zahra untuk turun dari mobil perlahan. Rumah
Pov : Yuli Mataku terasa begitu berat. Menangis pun rasanya percuma. Keadaan tetap tak bisa kembali seperti semula. Rumah, harta satu-satunya yang kumiliki sudah terjual beberapa hari yang lalu. Ah sudahlah. Daripada aku pinjam sana-sini yang ada hanya dapat makian, lebih baik jual yang ada. Toh masih ada rumah peninggalan bapak dan ibu. Begitulah, kini aku tinggal bersama Aris di rumah peninggalan orang tua. Aku sudah membicarakan hal ini jauh-jauh hari dengannya. Mungkin karena itu pula dia akhirnya memilih kredit rumah daripada harus kumpul denganku. Dia bilang, nggak enak kalau nanti punya istri lagi harus kumpul satu atap denganku. Yasudah, terserah. Rumah minimalis itu laku tak terlalu banyak, hanya sembilan puluh juta karena memang aku jual cepat. Kasihan Denis, uang sekolahnya belum terbayar. Berulang kali diminta guru untuk memberitahuku soal itu. Uang gedung, uang bulanan dan uang pembelian buku, semua sudah kulunasi. Biaya sekolah Annisa pun sudah lunas. Aku juga sudah
Ponsel berdering beberapa kali. Aku yakin telepon dari Mbak Ulya. Dia bilang akan menjemputku ke kantor karena Mas Hanan masih ada urusan jadi tak bisa menjemput. Rencananya, hari ini akan ke butik untuk fitting baju pengantin. Butik milik mama memang dikelola Syifa, namun Mas Hanan malas minta tolong adik semata wayangnya itu untuk membuatkan baju. Dia memutuskan untuk mengambil dari butik sahabat almarhum mama saja daripada harus meminta Syifa untuk membuatkannya.Mas Hanan nggak ingin acaranya berantakan jika hari H Syifa justru sengaja merusak baju yang sudah dipesannya. Dia nggak mau mengambil resiko terburuk. Meski papa meminta Mas Hanan untuk minta tolong Syifa saja, namun Mas Hanan tetap menolak. Bersikukuh dengan keputusannya sendiri. "Hallo, Mbak Wita. Sudah siap belum? Aku jemput sekarang, ya?" tanya Mbak Ulya dari seberang. Sepertinya dia masih di kantor karena suara cukup berisik."Iya, Mbak. Tapi jemput Zahra dulu, ya?" balasku kemudian. "Sekalian aku jemput saja, Mba
Mas Hanan datang di saat yang tepat. Saat aku mendapatkan bully-an karyawan-karyawannya. Tak ada akhlak memang, mentang-mentang janda aku selalu disudutkan dan disepelekan. Entah apa mau mereka, rasanya tak betah berada di kantor lama-lama. "Saya nggak mau dengar siapa pun menjelekkan calon istri saya, apalagi setelah nanti dia sah menjadi istri saya. Sebagai kepala rumah tangga saya berkewajiban melindungi dia. Saya nggak akan memecat kalian begitu saja, paling tidak saya beri surat peringatan. Kalau memang nggak didengar, baru saya lakukan pemecatan. Jangan dipikir saya nggak akan tega, saya tega jika memang sikap kalian terlalu kelewatan!" Ancam Mas Hanan lalu meminta Mbak Ulya untuk mengantarku ke ruang kerjanya. Suasana mendadak hening. Tak ada satu pun yang berani bersuara apalagi membantah. Mereka saling lirik satu sama lain lalu kembali menunduk. Baru saja masuk ruang kerja Mas Hanan, aku dikejutkan dengan suara seseorang yang cukup kukenal. "Zahra! Ra ... kamu di sini?" ta
Hari terus bergulir, pernikahanku dan Mas Hanan tinggal sehari lagi. Besok akad nikah itu akan di gelar, jam sembilan pagi. Sejak kemarin tetangga dan saudara sudah banyak yang datang ke rumah. Bahkan kini menjelang maghrib mereka baru pulang, nanti bakda maghrib datang lagi.Seperti biasa, sebelum hari H para tetangga membuat camilan-camilan untuk dihidangkan esok hari saat para tamu berdatangan. Selain membeli camilan jadi, mereka juga membuat aneka jajanan pasar seperti wajik, wingko babat, tape ketan, nagasari dan lainnya. Mas Hanan pun sudah datang dan menginap di tempat Rony sejak tiga hari yang lalu. Sementara papanya baru ke Solo hari ini, namun dia lebih memilih untuk menginap di hotel.Mungkin tak terbiasa tinggal di rumah orang lain, sementara Mas Hanan memang diminta Om Samsul untuk menginap di rumahnya saja. Takut ada hal-hal yang tak diinginkan jadi masih mudah dalam pengawasan. |Mbak, kamu yakin Mas Hanan nggak pernah memiliki masa lalu yang buruk? Sampai kamu sebegit
Pov : Hanan Pernikahanku dengan Wita tinggal menghitung hari. Detik-detik bahagia pun akan segera hadir di depan mata. Persiapan untuk hari H sudah lengkap semua. Acara sederhana yang akan digelar di Solo-- tempat orang tua Wita. Mahar sebuah rumah sudah aku siapkan untuknya, bahkan memang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari untuk istriku tercinta. Meski Syifa masih tak terima dan bilang nggak akan hadir di sana, tapi tak apa. Yang penting bagiku kini, papa merestui dan menerima Wita dan Zahra menjadi bagian keluarga. Teringat kembali kejadian sebelas tahun silam saat acara itu gagal dan aku pergi begitu saja tanpa kabar. Aku tak ingin kejadian serupa terulang. Karena itulah aku berniat menginap di hotel saja lima hari sebelum hari pernikahan digelar, demi menghindari kejadian yang tak diinginkan. Saat aku berencana menginap di hotel, Rony dan Om Samsul justru memintaku untuk tinggal di rumahnya. Budhe Nur pun mengatakan hal yang sama. Dia bilang misal ada perlu apa-apa dengan kel
Pov : HananPernikahan digelar sederhana di rumah Wita. Dia memakai kebaya warna ungu muda, couple dengan dress Zahra, sementara aku mengenakan baju pengantin dengan jas warna senada. Wita tampak sangat berbeda hari ini, begitu anggun dan cantik dengan kebaya itu. Cocok sekali dengan badan dan riasan di wajahnya. Senyum tipisnya melengkung di kedua sudut bibir menambah kecantikan yang dia miliki. Semua sudah hadir, orang tua Wita, saudara-saudaranya pun papa dan Anjas. Anjas datang sendiri dua jam yang lalu bersama papa, tanpa Syifa. Adik perempuanku itu memang keras kepala."Pengantin sudah hadir, wali, saksi dan mahar pun sudah ada. Bisa kita mulai sekarang acara akadnya, Mas?" tanya penghulu sembari tersenyum ke arahku. "Bisa, Pak," jawabku mantap. Kulirik Wita yang menatapku beberapa saat lalu kembali menunduk dalam diam. Aku yakin ada banyak doa yang kini sedang dia panjatkan."Mas Hanan sudah mempersiapkan qabulnya, kan? Sudah hafal?" tanya penghulu lagi. Aku pun mengangguk
POV : Hanan Papa tampak menelepon seseorang. Apa mungkin kekhawatiranku benar, jika papa lupa membawa laptopnya yang berisi rekaman cctv itu? "Tunggu lima menit lagi, orang suruhan saya akan datang. Kalian bisa lihat dan dengar sendiri, jika anak saya tak bersalah dalam hal ini. Biar semua orang tahu, jika kalian memang licik dan tak tahu malu!" Bentak papa kemudian. Berdebar sekali rasanya menunggu orang suruhan papa datang karena suasana makin nggak jelas. Para tamu banyak yang keluar rumah dan mulai malas untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Calon mertua sudah berusaha menenangkan, aku dan papa pun melakukan hal yang sama namun tetap saja mereka justru balik mencibir dan bilang jika kami keluarga penuh drama. "Maaf, Mas. Saya harus nunggu berapa lama? Sedangkan hari ini jadwal saya masih padat. Sudah banyak waktu terbuang untuk akad di sini, kasihan pengantin lain kalau harus menunggu lebih lama lagi," ucap penghulu sontak membuat para tamu makin riuh. "Kalau bapak ma