Ketika memasuki pekarangan rumah, Ramdani melihat mobil adiknya terparkir. Dia belum menyadari, jika motor istrinya raib.Tanpa banyak berpikir, Ramdani langsung masuk ke rumahnya, tetapi dia tidak melihat keberadaan anak dan istrinya, maupun adik dan Ibunya tersebut."Mbok!" panggil Ramdani dengan lantang. Tetapi, dia tidak ada sahutan dari siapapun.Ramdani lantas menyimpan tasnya di sofa, kemudian melenggang ke dapur sambil sesekali memanggil nama Mbok Darmi."Ke mana, sih, orang-orang," gumam Ramdani, kemudian kembali ke ruang tamu, meraih tasnya, lalu menaiki satu demi satu anak tangga yang membawanya menuju kamar utama.Sesampainya di kamar, Ramdani langsung melempar tasnya ke atas ranjang, lalu ikut merebahkan tubuhnya yang terasa begitu lelah.Tidak lama kemudian, Ramdani menoleh ke arah rak buku. Tanpa basa-basi, dia langsung bangkit, kemudian
Ramdani segera bergegas menuju garasi, dicarinya motor istrinya tersebut. Netranya berputar, mengamati seisi garasi, tetapi nihil dia tidak menemukan apapun.Hingga, ketika Ramdani menunduk, dia mendapati sebuah bekas motor melintas di lantai, tetapi nodanya itu samar-samar, seperti baru beberapa jam yang lalu.Kemudian, Ramdani menoleh ke arah lain, di mana motor miliknya terparkir. Ramdani menyipit, lalu menghampiri dua kendaraan yang menjadi saksi dalam sejarah hidupnya.Di mana dia yang awalnya hanya bekerja sebagai tukang ojeg, tiba-tiba ketiban rezeki nomplok dengan bekerja di sebuah perusahaan yang cukup besar, hingga mampu mengangkat perekonomian keluarganya."Ya Tuhan, ke mana motor Yuni, kenapa bisa hilang seperti ini," gerutu Ramdani.Sekarang dia kesal, karena tidak menuruti perintah Yuni untuk memperbaiki cctv, karena memang Ibunya melarang Ramdani untuk melaku
Melalui balkon rumahnya, Yuni terus menatap Ramdani yang tengah duduk di depan kolam ikan sambil menyesap sebatang rokok.Ketika mereka berpapasan tadi, Yuni dapat menangkap raut kebingungan yang terpancar dari wajah suaminya.Akan tetapi, Yuni tidak bertanya maupun menyapa Ramdani, begitupun sebaliknya.Yuni yakin, jika suaminya itu pasti tengah pusing tujuh keliling mengenai permintaannya beberapa waktu yang lalu dan Yuni pun tidak peduli, sebab itu resiko yang harus suaminya pertanggungjawabankan."Nyonya, minum tehnya dulu.""Terima kasih, Mbok."Yuni meraih gelas yang ada di sampingnya, kemudian meneguk teh hangat yang baru saja Mbok Darmi bawa sampai habis.Sensi hangat yang ditimbulkan oleh teh tersebut mampu memberikan sebuah ketenangan pada Yuni."Mbok, Rion sudah tidur?""Sudah, Ny
Beberapa jam yang lalu .... Ketika Yuni hendak pulang ke rumahnya setelah beberapa hari ini mencoba berbisnis makanan, tiba-tiba gawainya yang sedang di pegang Rion berdering. Awalnya Yuni berpikir, kalau Rion sengaja memainkan benda persegi tersebut, sehingga Yuni tidak menghiraukannya. Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya gawai milik Yuni kembali berdering. Merasa terganggu oleh suaranya, Yuni lantas meraih benda tersebut. Seketika saja, keningnya mengkerut ketika melihat ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak di kenal. Yuni tidak berniat mengangkat telepon tersebut, dia malah bergidik ngeri ketika menatap ponsel, dia sela
"Astaga, ada apa dengan kalian?" Keesokan paginya, Ramdani yang hendak berangkat ke kantor, langsung berteriak kala melihat kedatangan adik dan Ibunya yang baru saja turun dari angkot. Penampilan mereka begitu berantakan, tidak seperti biasanya. Yuni yang mendengar hal tersebut, langsung berjalan ke arah jendela, membuka tirai dengan gerakan cepat, kemudian menatap ketiganya yang masih saling pandang. "Kami ... ah, panjang ceritanya." Dona langsung melenggang ke arah teras, kemudian mendaratkan bokongnya dengan kasar, dadanya naik turun, tangannya mencengkram tas dengan cukup kuat. Dona merasa sangat marah, tetapi dia tidak tahu harus melampiaskan pada siapa, lagipula dia tidak mungkin bercerita pada Ramdani. Itu bisa di bilang bunuh diri. "Monika, ada apa ini? Kalian dari mana dan kenapa ponsel kalian tidak bisa di hubungi."
Tanpa sepengetahuan Ramdani, Dona serta Monika, diam-diam Yuni meminta Zulfan untuk datang ke rumahnya.Sengaja Yuni melakukan hal tersebut, karena dia tidak mungkin pergi keluar rumah dalam keadaan hamil besar, selain berbahaya, tetapi juga sedikit menyulitkan pergerakannya, apalagi kalau Rion meminta untuk ikut.Yuni terus mondar-mandir di ruang tamu, dia meremas tangannya sendiri. Entah kenapa, Yuni tampak begitu tidak tenang, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan adiknya.Mbok Darmi yang melihat hal tersebut dari ambang ruang keluarga, langsung menghampiri majikannya."Nyonya, ada apa?"Yuni menoleh, dia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat."Entahlah, Mbok. Aku sedikit tidak tenang."Layaknya seorang Ibu pada anak perempuannya, Mbok Darmi langsung meraih tangan Yuni, mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di belakangnya.&n
"Lalu, soal Ibu mertua dan adik iparku, kamu apakan mereka?"Untung saja Yuni langsung ingat kejadian kemarin, sehingga dia langsung menanyakan semuanya pada Zulfan."Gampang saja, aku hanya tinggal menyuruh Kakak angkatku untuk mengawasi mereka secara dekat, lalu aku diam-diam melakukan pembalasan pada mereka."Sontak, Yuni langsung memicingkan mata ketika mendengar ucapan Zulfan.Kepala Yuni terus berputar, memikirkan siapa sebenarnya orang yang Zulfan maksud. Kenapa pula dia bisa mengetahui tentang Dona dan Monika.Menurut Yuni, ini benar-benar membingungkan, dia masih belum sepenuhnya paham tentang ini semua."Memangnya siapa orang tersebut?""Mbak, tidak perlu tahu," jawab Zulfan yang diakhiri kekehan, membuat Yuni langsung mengerutkan bibir."Astaga, kenapa seperti itu?""Tidak apa-apa
Dona mendekat ke arah Ramdani, memegang tangan anaknya dengan begitu erat. Dengan sedikit kaku, Dona menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Dengarkan Ibu dulu, Nak. 'Kan kemarin Ibu dan Monika kejambretan, jadinya--""Ah, jadi benar Ibu dan Monika pelakunya?"Mendengar hal tersebut, Dona langsung membulatkan mata dan mulutnya, dia baru sadar, kalau dirinya salah bicara.Begitupun dengan Monika yang langsung mencubit lengan Ibunya, hingga wanita itu meringis kesakitan."Bu, kok ngomongnya gitu, sih!" cicit Monika sambil membelalakkan mata."Lah, emang faktanya seperti itu, Monika. Kita kejambretan," balas Dona dengan nada pelan, hampir seperti bisikan."Ah, Ibu," keluh Monika.Monika begitu kesal dengan Ibunya, kenapa mereka malah berkata seperti itu di saat seperti ini.Kalau begini, Abangny