Beberapa jam yang lalu ....
Ketika Yuni hendak pulang ke rumahnya setelah beberapa hari ini mencoba berbisnis makanan, tiba-tiba gawainya yang sedang di pegang Rion berdering.
Awalnya Yuni berpikir, kalau Rion sengaja memainkan benda persegi tersebut, sehingga Yuni tidak menghiraukannya.
Akan tetapi, untuk yang ketiga kalinya gawai milik Yuni kembali berdering. Merasa terganggu oleh suaranya, Yuni lantas meraih benda tersebut.
Seketika saja, keningnya mengkerut ketika melihat ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak di kenal.
Yuni tidak berniat mengangkat telepon tersebut, dia malah bergidik ngeri ketika menatap ponsel, dia sela
"Astaga, ada apa dengan kalian?" Keesokan paginya, Ramdani yang hendak berangkat ke kantor, langsung berteriak kala melihat kedatangan adik dan Ibunya yang baru saja turun dari angkot. Penampilan mereka begitu berantakan, tidak seperti biasanya. Yuni yang mendengar hal tersebut, langsung berjalan ke arah jendela, membuka tirai dengan gerakan cepat, kemudian menatap ketiganya yang masih saling pandang. "Kami ... ah, panjang ceritanya." Dona langsung melenggang ke arah teras, kemudian mendaratkan bokongnya dengan kasar, dadanya naik turun, tangannya mencengkram tas dengan cukup kuat. Dona merasa sangat marah, tetapi dia tidak tahu harus melampiaskan pada siapa, lagipula dia tidak mungkin bercerita pada Ramdani. Itu bisa di bilang bunuh diri. "Monika, ada apa ini? Kalian dari mana dan kenapa ponsel kalian tidak bisa di hubungi."
Tanpa sepengetahuan Ramdani, Dona serta Monika, diam-diam Yuni meminta Zulfan untuk datang ke rumahnya.Sengaja Yuni melakukan hal tersebut, karena dia tidak mungkin pergi keluar rumah dalam keadaan hamil besar, selain berbahaya, tetapi juga sedikit menyulitkan pergerakannya, apalagi kalau Rion meminta untuk ikut.Yuni terus mondar-mandir di ruang tamu, dia meremas tangannya sendiri. Entah kenapa, Yuni tampak begitu tidak tenang, setelah sekian lama tidak berjumpa dengan adiknya.Mbok Darmi yang melihat hal tersebut dari ambang ruang keluarga, langsung menghampiri majikannya."Nyonya, ada apa?"Yuni menoleh, dia mengigit bibir bawahnya kuat-kuat."Entahlah, Mbok. Aku sedikit tidak tenang."Layaknya seorang Ibu pada anak perempuannya, Mbok Darmi langsung meraih tangan Yuni, mengajaknya untuk duduk di sofa yang ada di belakangnya.&n
"Lalu, soal Ibu mertua dan adik iparku, kamu apakan mereka?"Untung saja Yuni langsung ingat kejadian kemarin, sehingga dia langsung menanyakan semuanya pada Zulfan."Gampang saja, aku hanya tinggal menyuruh Kakak angkatku untuk mengawasi mereka secara dekat, lalu aku diam-diam melakukan pembalasan pada mereka."Sontak, Yuni langsung memicingkan mata ketika mendengar ucapan Zulfan.Kepala Yuni terus berputar, memikirkan siapa sebenarnya orang yang Zulfan maksud. Kenapa pula dia bisa mengetahui tentang Dona dan Monika.Menurut Yuni, ini benar-benar membingungkan, dia masih belum sepenuhnya paham tentang ini semua."Memangnya siapa orang tersebut?""Mbak, tidak perlu tahu," jawab Zulfan yang diakhiri kekehan, membuat Yuni langsung mengerutkan bibir."Astaga, kenapa seperti itu?""Tidak apa-apa
Dona mendekat ke arah Ramdani, memegang tangan anaknya dengan begitu erat. Dengan sedikit kaku, Dona menarik kedua sudut bibirnya ke atas."Dengarkan Ibu dulu, Nak. 'Kan kemarin Ibu dan Monika kejambretan, jadinya--""Ah, jadi benar Ibu dan Monika pelakunya?"Mendengar hal tersebut, Dona langsung membulatkan mata dan mulutnya, dia baru sadar, kalau dirinya salah bicara.Begitupun dengan Monika yang langsung mencubit lengan Ibunya, hingga wanita itu meringis kesakitan."Bu, kok ngomongnya gitu, sih!" cicit Monika sambil membelalakkan mata."Lah, emang faktanya seperti itu, Monika. Kita kejambretan," balas Dona dengan nada pelan, hampir seperti bisikan."Ah, Ibu," keluh Monika.Monika begitu kesal dengan Ibunya, kenapa mereka malah berkata seperti itu di saat seperti ini.Kalau begini, Abangny
"Bu, kalau sudah seperti ini harus bagaimana?" tanya Monika untuk yang kesekian kalinya. Wajahnya tampak begitu putus asa, bahkan beberapa kali dia menjambak rambutnya kasar."Ibu, tidak tahu! Bisa tidak kamu jangan bertanya hal seperti itu, Ibu benar-benar pusing," sentak Dona, membuat anak gadisnya itu langsung bergeserkan bokong, menjauhi Dona yang tampaknya begitu marah.Saat ini, mereka berdua tengah berada di angkot, karena mobil Monika di sita oleh abangnya.Meskipun Monika sudah berusaha untuk memelas, menampilkan ekspresi wajah sedih andalannya, tetapi entah kenapa hal itu tidak mempan untuk Abangnya kali ini.Tiba-tiba saja, Monika punya pikiran kalau Kakak iparnya itu memakai jasa guna-guna. Sehingga mampu menaklukkan Abangnya yang biasanya patuh pada dirinya dan Ibunya."Kiri, Bang!" teriak Dona secara tiba-tiba, membuat supir angkot itu langsung menghentikan mobil se
"Ah, itu kami ...." Monika membuka mulutnya, tetapi tidak kunjung melanjutkan ucapannya.Pria tua yang ada di hadapan Monika dan Dona, hanya mampu menarik kedua alis ke atas dengan tangan terlipat di dada."Kami apa? Sudah, kalian pergi dari sini! Merusak kebun bunga orang saja," cerocosnya sambil mengacungkan jari telunjuk ke arah pintu keluar. "Cepat, pergi!""Ba-baik, Pak."Dona lebih dulu memindai sekitar sebelum pergi, memastikan jika tidak ada seorangpun yang tengah mengawasinya di sekitar rumahnya.Setelah memastikan jika kumpulan pria penagih utang itu sudah tidak ada, Dona langsung menarik Monika untuk segera keluar dari halaman rumah pria paruh baya tersebut, sebelum akhirnya berlari ke rumah mereka yang tidak cukup jauh."Bu, kenapa malah lari, sih, jalan santai aja kenapa," keluh Monika dengan napas tersengal-sengal. Dadanya begitu sak
"Lah, ngapain kalian di sini?"Ramdani langsung melontarkan sebuah pertanyaan, ketika melihat Dona dan Monika tengah makan sambil bersantai di teras rumah.Terlihat bungkus makanan ringan dan noda yang diakibatkan oleh saos serta bumbu lainnya berceceran di lantai.Ramdani bergidik ngeri, dia sama sekali tidak menyangka, kalau kedua orang yang ada di hadapannya makan dengan cara seperti itu."Memangnya kenapa, Ramdani? Apa kami tidak berhak datang ke sini?""Bukannya tidak berhak, aku hanya bertanya saja," jelas Ramdani. Dia memicingkan mata, memindai sekitar. "Ke mana Yuni dan Rion?"Dona mendelik, dia meraih makanan yang ada di hadapannya dan melahapnya."Mana Ibu tahu, memangnya Ibu pengasuh dua orang tersebut? Tentu saja, tidak!"Ramdani menghela napas panjang, seharusnya dari awal dia tidak bert
[Nyonya, maaf Mbok harus mengatakannya melalui pesan singkat, karena Bu Dona dan Monika terus mengawasi Mbok setiap saat. Mereka, merencanakan sesuatu untuk Nyonya, maka dari itu Nyonya tidak boleh terlalu percaya dengan apa yang mereka lakukan.]Keesokan paginya, ketika Yuni menyalakan ponsel miliknya. Dia langsung mendapati sebuah pesan dari Mbok Darmi.Yuni mengamati pesan tersebut, ternyata dikirimkan oleh Mbok Darmi tepat tengah malam. Yuni semakin berpikir, kalau gerak-gerik Mbok Darmi saat ini benar-benar diawasi oleh Dona.Pantas saja, hampir dua hari terakhir ini Mbok Darmi dan Yuni sulit sekali untuk bertemu. Setiap ada kesempatan, pasti salah satu diantara Dona dan Monika akan langsung memisahkan keduanya.[Baik. Mbok, juga harus hati-hati. Karena saya juga sudah merasa ada yang aneh dengan mereka, tetapi tidak terlalu yakin. Terima kasih, Mbok sudah memberitahukannya padaku,]Ketika aku menekan tombol kirim, centang