Tanpa Ramadani ketahui, bahwa sedari tadi Yuni mendengarkan semua percakapannya dengan sang Ibu.
Awalnya Yuni berpikir, kalau suaminya itu akan berbicara dengan Ibunya mengenai permasalah, tetapi justru semuanya di luar dugaan, kalau Ramdani lebih mendengarkan ucapan Ibunya dibandingkan dengan dirinya.
Yuni benar-benar kecewa, selama hampir tiga tahun ini dia mengalah dengan sifat keluarga Ramdani, tetapi sekali lagi dia memang tidak pernah di hargai sedikitpun.
"Non Yuni, baik-baik saja?"
Yuni menoleh, menatap pengasuh anaknya yang sudah bekerja di rumahnya semenjak anak Rion--anak pertamanya lahir.
"Insyaallah, Mbok."
Gegas, Yuni meraih Rion yang baru berusia dua tahun setengah dari gendongan Mbok Darmi--pengasuhnya.
Meskipun sudah berusia dua tahun setengah, tetapi sayangnya Rion mengalami keterlambatan dalam proses berjalan, hal itu membuat hati Yuni semakin terasa tercabik-cabik.
"Bu, Papah," ucap Rion sambil menunjuk ke arah tangga, di mana tadi Ramdani berdiri di sana.
"Papah, lagi bersih-bersih dulu, Sayang. Rion, main sama Mamah dan adik bayi, ya!"
Bagi Yuni, Rion adalah alasan satu-satunya kenapa dia mampu bertahan hingga sampai saat ini, kalau bukan karena Rion mungkin semuanya tidak akan pernah Yuni lakukan.
Mertua dan adik iparnya terlalu ikut campur dalam rumah tangganya, mereka selalu memonitori segalanya, termasuk uang bulanan baginya.
[Yuni, kamu mengadu pada Ramdani lagi, hah!]
Baru saja Yuni duduk di karpet yang ada di depan televisi, tiba-tiba gawainya berdering, menampilkan sebuah pesan dari Ibu mertuanya.
[Iya, memangnya kenapa? Aku juga butuh keadilan, Bu.]
Tidak lama kemudian, sebuah panggilan masuk. Yuni hanya meliriknya sekilas, kemudian kembali beralih pada Rion yang tengah memainkan mobil-mobilan.
Yuni tidak akan biarkan harga dirinya terus diinjak-injak seperti ini, dia harus bisa melawan semuanya.
[Angkat teleponku, Yuni! Kita perlu bicara.]
Tanpa rasa takut sekalipun, Yuni langsung membalas pesan tersebut.
[Untuk apa? Aku sudah tahu, apa yang akan Ibu katakan padaku.]
[Kurang ajar kamu, Yuni! Masih beruntung anakku mau menjadikanmu istri, kalau tidak, kamu pasti sudah habis di siksa oleh orang yang membelimu dari keluargamu itu.]
Yuni terpejam selama beberapa saat ketika membaca pesan tersebut. Ingatan masa lalunya kembali berputar di kepala. Dia ingat betul, bagaimana rentetan kejadian tragis menimpa keluarganya.
Helaan napas panjang kembali keluar dari mulutnya, kala Yuni berpikir, jika hidupnya memang tidak seberuntung orang kebanyakan.
Awalnya Yuni berpikir, kalau dia akan mendapatkan surga ketika bertemu dengan Ramdani, tetapi justru nerakalah yang dia dapatkan.
"Non, Mbok sudah selesai masak, mau makan dulu?"
"Tidak, Mbok. Aku lagi gak napsu makan."
Mbok Darmi, pengasuh sekaligus asisten rumah tangga yang sudah Yuni anggap sebagai Ibu kandungnya sendiri itu langsung duduk di hadapan Yuni.
"Non, jangan banyak pikiran seperti itu, kasian calon anaknya."
"Mbok, bagaimana aku gak banyak pikiran, keberadaanku seakan-akan tidak berguna di sini," keluh Yuni, matanya menyiratkan sebuah keputusaan yang sering sekali dia perlihatkan akhir-akhir ini.
"Non, harus sabar, ya. Suatu saat nanti, Mbok yakin kalau Den Rion bakal jadi orang yang sukses dan dapat memuliakan orang lain."
Yuni mengangguk pelan, kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Di sisi lain, dia bersyukur, karena masih memiliki Mbok Darmi yang mengerti akan keadaannya.
"Tapi, Mbok, gara-gara ini semua, aku gak bisa bayar Mbok kayak dulu lagi, uang tabunganku di ambil oleh Ibu."
Mbok Darmi menggeleng pelan, hal itu membuat Yuni langsung menyipitkan mata.
"Non, tidak usah mengkhawatirkan itu, Mbok tidak masalah."
"Mbok ...."
Di saat itu, Yuni langsung memeluk tubuh renta Mbok Darmi, melupakan rasa senang sekaligus sedih, karena di dunia ini, masih ada orang yang peduli padanya.
Bahkan, orang tersebut bukan dari kaluarganya sendiri, Mbok Darmi sudah seperti malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan padanya.
"Mbok, kalau anak keduaku sudah lahir, aku akan meminta cerai pada Mas Ramdani, aku--"
"Tidak akan, Yuni!"
Sontak, Yuni langsung melepaskan pelukannya pada Mbok Darmi, kemudian menatap seorang pria yang sudah berdiri di sampingnya.
"Kamu tidak boleh bercerai dariku, Yuni," lirih Ramdani. Karena bagaimanapun, dia begitu mencintai Yuni.
"Memangnya kenapa, Mas? Kalian memperlakukanku dengan begitu buruk. Kalian pikir, aku ini apa, sehingga kalian begitu kejam padaku."
Mata Yuni langsung memanas, cairan bening yang sedari dia tahan, akhirnya luruh juga, menetes ke atas karpet.
Rion yang seperti sadar akan rasa sakit Ibunya, langsung naik ke pangkuan Yuni, memeluk tubuh rapuh Ibunya dengan erat.
"Mamah, gak boleh nangis, Rion sayang Mamah."
"Iya, Sayang, Makasih."
Beberapa kali Yuni mendaratkan kecupan di kening Rion, membuat Ramdani sedikit tertegun.
Selama ini, dia tidak pernah melihat Yuni menangis, bahkan ketika Ibunya bersikap seenaknya, Yuni selalu sabar dan hanya menaati perintahnya.
"Papah, jahat! Mamah, jadi nangis. Rion, benci, Papah."
Ramdani semakin tertegun, ketika mendengar ucapan Rion. Anaknya itu tidak pernah berkata seperti itu sebelumnya.
"Nak." Ramdani berusaha meraih Rion, tetapi anaknya tersebut langsung menggeleng.
"Rion, sayang Mamah."
***
Semenjak kejadian tersebut, Yuni lebih banyak diam, kadang sesekali Ramdani memergoki Yuni tengah melamun di halaman belakang rumah.Walaupun begitu, Yuni masih melayani Ramdani dengan baik, dia masih memperlakukan Ramdani layaknya suami, meskipun Ramdani justru sebaliknya."Rion, mau main sama, Papah, gak?"Rion yang merupakan anak pertama Ramdani hanya menggeleng pelan, dia lebih asyik dengan mainan yang ada di hadapannya, dibandingkan dengan Papahnya sendiri.Padahal, biasanya Rion tidak bisa jauh dari Papahnya, dia sering memanggil Papahnya, meskipun tidak selalu dihiraukan oleh Ramdani."Nak, Papah, punya mainan baru, kamu mau lihat, gak?"Akhirnya Rion menoleh, menatap sang Papah yang sedang menyunggingkan senyuman."Tada!" sambung Ramdani sambil memamerkan mainan robot yang tadi dia beli di jalan."Nak, makan d
Dari kejauhan, Ramdani terus memperhatikan Yuni yang tengah menyuapi Rion. Sesekali istrinya itu tertawa saat melihat tingkah menggemaskan Rion.Selama ini Ramdani sadar, kalau dia sama sekali tidak pernah menemani Yuni menyuapi, bahkan mengajaknya pergi keluar bertiga bersama anaknya, dia terlalu sibuk dengan dunianya.Pergi pagi, pulang malam dan ketika berada di rumah, dia habiskan untuk kembali bekerja atau beristirahat, tanpa mempedulikan istri maupun anaknya.Bahkan, Ramdani sama sekali tidak pernah mendengarkan keluh kesah istrinya, dia selalu berpikir, bahwa rumah dan uang bulanan yang selalu dia berikan pada Yuni cukup.Padahal dibalik itu semua, ada banyak hal yang tidak Ramdani ketahui mengenai istri dan bagaimana Ibunya memonopoli semuanya."Mamah, Ion udah kenyang," ucap Rion sambil menjulurkan tangan, meminta air minum yang ada di gelas."
Drrt ... drrt ....Dona yang tengah menikmati hidangan di rumah anak sulungnya itu langsung menyimpan sendok, meraih benda persegi yang terus berdering. Dia menatap layar selama beberapa detik, kemudian menempelkan di telinga."Bu, lagi di mana?""Lagi di rumah Abang kamu, Monika. Kenapa?""Gitu, ya, Bu. Aku ke sana sekarang, ya! Sekalian mau bawa seseorang."Dona langsung menautkan kedua alisnya ketika mendengar ucapan Monika."Memangnya siapa, Sayang?"Monika malah terkekeh pelan, kemudian kembali melanjutkan ucapannya."Nanti juga tahu, aku berangkat dulu ke sana. Tolong siapin makanan.""Iya, Sayang."Sesudah mematikan sambungan telepon, Dona kembali meraih sendok yang ada di atas piring, kemudian melanjutkan acara makannya.Di saat itu pula, Yun
Dona langsung mendelik, hidungnya mengkerut, beberapa kali dia melayangkan tatapan tidak suka pada Yuni."Sejak kapan kamu berani melawan Ibu, Ramdani?" sentak Dona sambil tersenyum sinis. "Pasti si Yuni main dukun, biar kamu berani bersikap seperti itu."Dona sengaja melayangkan sebuah tuduhan tidak mendasar pada Yuni. Sengaja dia melakukan ini, tentunya agar Ramdani percaya lagi padanya, karena bagaimanapun itu, Ramdani adalah satu-satunya orang paling penting di hidupnya.Kalau saja Ramdani dikuasi oleh Yuni, Dona pasti tidak akan bisa hidup mewah, Ramdani pasti akan memberikan uang padanya hanya seadanya saja.Dona tidak ingin, kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa kebiasaan hidup mewahnya tidak bisa dia rasakan kembali.Kalau saja hal itu sampai terjadi, Yuni adalah orang pertama yang akan Dona lenyapkan. Karena memang, gara-gara Yuni semuanya hilang.
"Bu, kenalin ini Kak Anton, dia Kakak tingkatku di kampus. Sebenarnya kami sudah dekat cukup lama, tetapi Kak Anton baru menyatakan cintanya padaku beberapa waktu lalu."Monika menjelaskan semuanya sambil tersipu malu, beberapa kali dia melirik ke arah Anton yang juga ikut menyunggingkan senyuman.Monika tidak menyangka, setelah melakukan pendekatan yang cukup lama dengan Anton, pada akhirnya dia bisa mendapatkan pria itu, rasanya hari-hari Monika benar-benar penuh dengan bunga."Benar, Bu. Saya dan Monika sudah kenal cukup lama. Malahan kami juga--""Yuni, maafkan, Mas. Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu.""Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."Tiba-tiba ketiga orang tersebut tersentak ketika mendengar sebuah teriakan dari ruang makan.&
"Mbok, bisa tolong belikan tempat minum untuk Rion ke pasar, gak?"Mbok Darmi yang kebetulan sedang memotong sayur-sayuran untuk sarapan, langsung menoleh, kemudian mengangguk pelan."Bisa, Nyonya. Sekalian saya mau beli ikan, tadi Tuan Ramdani minta di masakin ikan goreng.""Baik, Mbok. Terima kasih banyak."Mbok Darmi tidak membalas ucapan Yuni, dia menatap majikannya itu dengan sendu, beberapa kali dia menelan ludah susah payah, berusaha mengusir gejolak di hatinya.Bagaimana tidak, bagian bawah mata Yuni tampak begitu menghitam, wajahnya pun tampak pucat pasi dengan bibir yang memutih.Belum lagi, akhir-akhir ini Yuni jarang sekali makan, membuat Mbok Darmi begitu khawatir. Padahal dia sering sekali mengingatkan Yuni.Akan tetapi, jarang sekali Yuni gubris, dia hanya mengangguk saja, kemudian kembali bermain dengan Rion dan yang
Ramdani pulang dari kantong dengan keadaan lesu. Hari ini, pekerjaan jauh lebih banyak dari yang dia pikirkan sebelumnya. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampai tidak sempat mengisi perut.Ketika masuk ke rumah, Ramdani langsung melesat pergi ke dapur, duduk di meja makan, kemudian membuka tudung makanan.Namun, seketika dia terbelalak ketika netranya hanya menangkap goreng telur dan sayur asam saja yang tersaji."Mbok Darmi! Mbok," teriak Ramdani dengan nyaring. Dia begitu lapar, tapi kenapa hanya makanan itu saja yang tersaji.Tidak lama kemudian, Mbok Darmi tergopoh-gopoh dari pintu belakang."Iya, Tuan, ada apa?""Kenapa tidak ada makanan yang lainnya? Masa saya harus makan sama telur goreng sama sayur asem saja, mana ikan goreng yang sama minta?"Mbok Darmi menunduk dalam, dia meremas tangannya sendiri dengan begitu gugup.
Dalam kondisi hamil besar seperti ini, Yuni terpaksa berjalan sambil mendorong kereta bayi yang biasa dinaiki Rion menuju jalan raya yang ada di depan rumahnya.Bukan tanpa alasan, tetapi anaknya itu terus merengek minta keluar rumah, padahal dia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.Baru saja Yuni berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.Tidak lama kemudian, Dona dan Monika keluar dari mobil. Awalnya mereka tidak menyadari keberadaan Yuni, tetapi tanpa sengaja, sudut mata Monika menangkap kehadiran Yuni."Bu, lihat deh, ada si Yuni."Dona terkesiap, ekor matanya sedikit menyipit. Hanya dalam hitungan detik, dia langsung tersenyum sinis."Yuni, sini kamu!"Yuni menghela napas kasar, dia terus melajukan kereta bayi yang di tumpangi Rion. Dia tidak peduli dengan Dona dan Monika.&n