Share

AKIBAT PELIT PADA ISTRI DAN LEBIH MEMENTINGKAN IBU
AKIBAT PELIT PADA ISTRI DAN LEBIH MEMENTINGKAN IBU
Penulis: Gyuu_Rrn

Ketika Ibu Ikut Campur

"Ngapain Ibu datang ke tempat kerjaku?" tanya Ramdani saat melihat seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan senyum mengembang.

"Ibu tahu, kemarin kamu baru gajian dan belum mentransfernya ke rekening Ibu. Kamu tidak lupa dengan jatah bulanan Ibu dan adikmu, 'kan?"

Ramdani menggeleng pelan, karena bagaimanapun itu, dia memang tidak melupakan, hanya saja memang untuk saat ini, dia sedang memikirkan hal lain.

"Kenapa terdiam?" tanya Ibunya kembali, membuat Ramdani sedikit tersentak.

"Ibu tahukan, kalau sebentar lagi Yuni melahirkan, jadi sepertinya apa lebih baik aku mengurangi jatah bulan Ibu saja."

Bagaikan disambar petir di siang bolong, wanita paruh baya tersebut langsung membelalakkan mata, dia tidak terima dengan ucapan anak sulungnya tersebut.

Karena bagaimanapun itu, dia dan anak bungsunya telah menjadi tanggungjawab Ramadani, sesudah ayahnya meninggal. 

"Tidak, Ramdani! Apa-apaan kamu ini, Ibu tidak terima kalau kamu mengurangi jatah bulan Ibu," ucap wanita paruh baya tersebut dengan nada cukup tinggi. "Udah cuman tujuh juta sebulan, terus mau kurangi lagi, memangnya Ibu sama Monika mau makan pakai apa? Tempe, tahu lagi? Ibu gak mau, Ramdani!"

Ramdani hanya mampu mengangguk pelan sambil memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut, ketika mendengar penuturan Ibunya. 

Kalau sudah begini, dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, percuma saja melawan, pasti Ibunya dan Monika akan marah padanya.

Melihat Ramdani tidak kunjung menjawab ucapannya, tiba-tiba saja Dona--Ibu Ramdani memiliki sebuah ide yang cemerlang.

"Ya, sudah, tapikan istri kamu lahirannya masih lama, Ibu bisakan pinjam uang kamu dulu, nanti Ibu ganti."

"Iya, sih, Bu, masih dia bulanan lagi."

"Ya, makanya Ibu pinjam dulu, buat bayar cicilan mobil adik kamu, kasian dia ke kampus masa pake angkot, mau taruh di mana muka Ibu."

Ramdani mengangguk, kemudian bangkit dari duduk, membereskan beberapa alat kerjanya.

"Nanti aku transfer ke rekening Ibu."

"Kalau bisa, kamu genapin aja uangnya jadi sepuluh juta, ngasih kok nanggung," cerocos Dona. 

"Iya, Bu."

Mendengar jawaban Ramdani, kedua sudut bibir Dona langsung tertarik ke atas. 

"Bagus, kalau begitu Ibu pulang duluan saja. Soalnya mau mampir ke rumah temen."

"Iya, Bu."

***

Ramdani baru pulang dari kantor, dia langsung menepikan mobilnya di halaman rumah. 

Tidak jauh dari tempatnya berada, Yuni sedang jalan mondar-mandir sambil sesekali mengelus perutnya yang membesar.

"Yuni, kenapa tidak masuk ke rumah? Ini sudah sore."

Mendengar hal tersebut, Yuni langsung berbalik, kemudian mencium tangan suaminya.

"Tumben banget lesu gitu, kenapa, Sayang?'

Yuni langsung menarik suaminya menuju kursi yang berada di teras rumah.

"Tadi, Ibu datang ke rumah, Mas, dia nuduh aku yang enggak-enggak."

"Maksud kamu? Mana mungkin Ibu bersikap seperti itu, Yuni! Aku tahu Ibu itu orangnya seperti apa."

Bukannya mendengarkan ucapan istrinya terlebih dahulu, Ramdan malah berkata seperti itu, membuat hati Yuni sedikit perih.

Selalu saja, tiap kali Ibunya datang dan memarahi Yuni, Ramdani seolah-olah tidak peduli, dia selalu membela Ibunya.

"Aku tidak bohong, Mas, malahan Ibu mengambil kartu ATM aku, katanya kamu jadi mengurangi jatah bulannya gara-gara aku."

Ramdani menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar.

"Sudah, biarkan saja. Mungkin Ibu butuh uang lebih untuk biaya kuliah, Monika."

"Tapi, Mas, aku juga butuh buat biaya lahiran anak kedua kita," ucap Yuni dengan penuh putus asa. "Dan lagi, apa kamu sudah memberikan Ibu uang bulanan yang biasanya?"

"Ya, aku memberikannya, Ibu butuh uang untuk bayar cicilan mobilnya Monika." Melihat istrinya mengatupkan bibir, Ramdani kembali berkata, "Sudah biarkan saja, aku percaya kalau Ibu bisa mengatur semuanya. Kita serahkan semuanya pada Ibu."

Sesudahnya mengatakan hal tersebut, Ramdani langsung masuk ke rumah, berniat membersihkan diri.

Namun, ketika sampai di tangga, dia bertemu dengan pengasuh anaknya yang pertama.

"Bi, apa benar Ibuku datang tadi?"

"Iya, Tuan. Malahan beliau sampai membentak Nyonya Yuni dan mengambil paksa kartu ATM beserta perhiasannya."

"Apa?!" Ramdani menyipitkan saat mendengar penuturannya. "Tidak mungkin Ibu bersikap seperti itu pada Yuni."

"Saya tidak berbohong Tuan, malahan Nyonya sampai menangis, ketika ATM-nya di ambil."

Ramdani yang kepalang pusing dengan kejadian tersebut, langsung merogoh ponsel dari saku, menelpon nomor Ibunya.

"Ibu, tadi memarahi Yuni?"

"Memangnya kenapa? Apa salahnya memarahi istrimu yang perhitungan itu. Dengar, ya, Ramdani, kamu itu anak Ibu, kamu harus lebih patuh pada Ibu." 

"Tapi, Bu--"

Dona langsung menyela ucapan Ramdani.

"Ingat, surga kamu ada di telapak kaki Ibu. Bagaimanapun itu, kamu harus patuh dan serahkan semua urusan keuangan di rumahmu pada Ibu. Dari pada ke istrimu, dia tidak bisa mengatur apapun."

"Baiklah, Bu. Aku ikut saja semua perkataan Ibu."

***

    

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Paling ndak suka nh w sama suami lembek kayak gini bknnya bela istri malah nurut emaknya. Dicerain tau rasa lo
goodnovel comment avatar
Nurfa Latif.
Ini paling sebel sama yang begini. kasihan istrinya. meskipun ibu lebih penting, suami harus bisa adil juga kan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status