"Ngapain Ibu datang ke tempat kerjaku?" tanya Ramdani saat melihat seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan senyum mengembang.
"Ibu tahu, kemarin kamu baru gajian dan belum mentransfernya ke rekening Ibu. Kamu tidak lupa dengan jatah bulanan Ibu dan adikmu, 'kan?"
Ramdani menggeleng pelan, karena bagaimanapun itu, dia memang tidak melupakan, hanya saja memang untuk saat ini, dia sedang memikirkan hal lain.
"Kenapa terdiam?" tanya Ibunya kembali, membuat Ramdani sedikit tersentak.
"Ibu tahukan, kalau sebentar lagi Yuni melahirkan, jadi sepertinya apa lebih baik aku mengurangi jatah bulan Ibu saja."
Bagaikan disambar petir di siang bolong, wanita paruh baya tersebut langsung membelalakkan mata, dia tidak terima dengan ucapan anak sulungnya tersebut.
Karena bagaimanapun itu, dia dan anak bungsunya telah menjadi tanggungjawab Ramadani, sesudah ayahnya meninggal.
"Tidak, Ramdani! Apa-apaan kamu ini, Ibu tidak terima kalau kamu mengurangi jatah bulan Ibu," ucap wanita paruh baya tersebut dengan nada cukup tinggi. "Udah cuman tujuh juta sebulan, terus mau kurangi lagi, memangnya Ibu sama Monika mau makan pakai apa? Tempe, tahu lagi? Ibu gak mau, Ramdani!"
Ramdani hanya mampu mengangguk pelan sambil memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut, ketika mendengar penuturan Ibunya.
Kalau sudah begini, dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, percuma saja melawan, pasti Ibunya dan Monika akan marah padanya.
Melihat Ramdani tidak kunjung menjawab ucapannya, tiba-tiba saja Dona--Ibu Ramdani memiliki sebuah ide yang cemerlang.
"Ya, sudah, tapikan istri kamu lahirannya masih lama, Ibu bisakan pinjam uang kamu dulu, nanti Ibu ganti."
"Iya, sih, Bu, masih dia bulanan lagi."
"Ya, makanya Ibu pinjam dulu, buat bayar cicilan mobil adik kamu, kasian dia ke kampus masa pake angkot, mau taruh di mana muka Ibu."
Ramdani mengangguk, kemudian bangkit dari duduk, membereskan beberapa alat kerjanya.
"Nanti aku transfer ke rekening Ibu."
"Kalau bisa, kamu genapin aja uangnya jadi sepuluh juta, ngasih kok nanggung," cerocos Dona.
"Iya, Bu."
Mendengar jawaban Ramdani, kedua sudut bibir Dona langsung tertarik ke atas.
"Bagus, kalau begitu Ibu pulang duluan saja. Soalnya mau mampir ke rumah temen."
"Iya, Bu."
***
Ramdani baru pulang dari kantor, dia langsung menepikan mobilnya di halaman rumah.
Tidak jauh dari tempatnya berada, Yuni sedang jalan mondar-mandir sambil sesekali mengelus perutnya yang membesar.
"Yuni, kenapa tidak masuk ke rumah? Ini sudah sore."
Mendengar hal tersebut, Yuni langsung berbalik, kemudian mencium tangan suaminya.
"Tumben banget lesu gitu, kenapa, Sayang?'
Yuni langsung menarik suaminya menuju kursi yang berada di teras rumah.
"Tadi, Ibu datang ke rumah, Mas, dia nuduh aku yang enggak-enggak."
"Maksud kamu? Mana mungkin Ibu bersikap seperti itu, Yuni! Aku tahu Ibu itu orangnya seperti apa."
Bukannya mendengarkan ucapan istrinya terlebih dahulu, Ramdan malah berkata seperti itu, membuat hati Yuni sedikit perih.
Selalu saja, tiap kali Ibunya datang dan memarahi Yuni, Ramdani seolah-olah tidak peduli, dia selalu membela Ibunya.
"Aku tidak bohong, Mas, malahan Ibu mengambil kartu ATM aku, katanya kamu jadi mengurangi jatah bulannya gara-gara aku."
Ramdani menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar.
"Sudah, biarkan saja. Mungkin Ibu butuh uang lebih untuk biaya kuliah, Monika."
"Tapi, Mas, aku juga butuh buat biaya lahiran anak kedua kita," ucap Yuni dengan penuh putus asa. "Dan lagi, apa kamu sudah memberikan Ibu uang bulanan yang biasanya?"
"Ya, aku memberikannya, Ibu butuh uang untuk bayar cicilan mobilnya Monika." Melihat istrinya mengatupkan bibir, Ramdani kembali berkata, "Sudah biarkan saja, aku percaya kalau Ibu bisa mengatur semuanya. Kita serahkan semuanya pada Ibu."
Sesudahnya mengatakan hal tersebut, Ramdani langsung masuk ke rumah, berniat membersihkan diri.
Namun, ketika sampai di tangga, dia bertemu dengan pengasuh anaknya yang pertama.
"Bi, apa benar Ibuku datang tadi?"
"Iya, Tuan. Malahan beliau sampai membentak Nyonya Yuni dan mengambil paksa kartu ATM beserta perhiasannya."
"Apa?!" Ramdani menyipitkan saat mendengar penuturannya. "Tidak mungkin Ibu bersikap seperti itu pada Yuni."
"Saya tidak berbohong Tuan, malahan Nyonya sampai menangis, ketika ATM-nya di ambil."
Ramdani yang kepalang pusing dengan kejadian tersebut, langsung merogoh ponsel dari saku, menelpon nomor Ibunya.
"Ibu, tadi memarahi Yuni?"
"Memangnya kenapa? Apa salahnya memarahi istrimu yang perhitungan itu. Dengar, ya, Ramdani, kamu itu anak Ibu, kamu harus lebih patuh pada Ibu."
"Tapi, Bu--"
Dona langsung menyela ucapan Ramdani.
"Ingat, surga kamu ada di telapak kaki Ibu. Bagaimanapun itu, kamu harus patuh dan serahkan semua urusan keuangan di rumahmu pada Ibu. Dari pada ke istrimu, dia tidak bisa mengatur apapun."
"Baiklah, Bu. Aku ikut saja semua perkataan Ibu."
***
Tanpa Ramadani ketahui, bahwa sedari tadi Yuni mendengarkan semua percakapannya dengan sang Ibu.Awalnya Yuni berpikir, kalau suaminya itu akan berbicara dengan Ibunya mengenai permasalah, tetapi justru semuanya di luar dugaan, kalau Ramdani lebih mendengarkan ucapan Ibunya dibandingkan dengan dirinya.Yuni benar-benar kecewa, selama hampir tiga tahun ini dia mengalah dengan sifat keluarga Ramdani, tetapi sekali lagi dia memang tidak pernah di hargai sedikitpun."Non Yuni, baik-baik saja?"Yuni menoleh, menatap pengasuh anaknya yang sudah bekerja di rumahnya semenjak anak Rion--anak pertamanya lahir."Insyaallah, Mbok."Gegas, Yuni meraih Rion yang baru berusia dua tahun setengah dari gendongan Mbok Darmi--pengasuhnya.Meskipun sudah berusia dua tahun setengah, tetapi sayangnya Rion mengalami keterlambatan dalam proses berjalan, hal itu m
Semenjak kejadian tersebut, Yuni lebih banyak diam, kadang sesekali Ramdani memergoki Yuni tengah melamun di halaman belakang rumah.Walaupun begitu, Yuni masih melayani Ramdani dengan baik, dia masih memperlakukan Ramdani layaknya suami, meskipun Ramdani justru sebaliknya."Rion, mau main sama, Papah, gak?"Rion yang merupakan anak pertama Ramdani hanya menggeleng pelan, dia lebih asyik dengan mainan yang ada di hadapannya, dibandingkan dengan Papahnya sendiri.Padahal, biasanya Rion tidak bisa jauh dari Papahnya, dia sering memanggil Papahnya, meskipun tidak selalu dihiraukan oleh Ramdani."Nak, Papah, punya mainan baru, kamu mau lihat, gak?"Akhirnya Rion menoleh, menatap sang Papah yang sedang menyunggingkan senyuman."Tada!" sambung Ramdani sambil memamerkan mainan robot yang tadi dia beli di jalan."Nak, makan d
Dari kejauhan, Ramdani terus memperhatikan Yuni yang tengah menyuapi Rion. Sesekali istrinya itu tertawa saat melihat tingkah menggemaskan Rion.Selama ini Ramdani sadar, kalau dia sama sekali tidak pernah menemani Yuni menyuapi, bahkan mengajaknya pergi keluar bertiga bersama anaknya, dia terlalu sibuk dengan dunianya.Pergi pagi, pulang malam dan ketika berada di rumah, dia habiskan untuk kembali bekerja atau beristirahat, tanpa mempedulikan istri maupun anaknya.Bahkan, Ramdani sama sekali tidak pernah mendengarkan keluh kesah istrinya, dia selalu berpikir, bahwa rumah dan uang bulanan yang selalu dia berikan pada Yuni cukup.Padahal dibalik itu semua, ada banyak hal yang tidak Ramdani ketahui mengenai istri dan bagaimana Ibunya memonopoli semuanya."Mamah, Ion udah kenyang," ucap Rion sambil menjulurkan tangan, meminta air minum yang ada di gelas."
Drrt ... drrt ....Dona yang tengah menikmati hidangan di rumah anak sulungnya itu langsung menyimpan sendok, meraih benda persegi yang terus berdering. Dia menatap layar selama beberapa detik, kemudian menempelkan di telinga."Bu, lagi di mana?""Lagi di rumah Abang kamu, Monika. Kenapa?""Gitu, ya, Bu. Aku ke sana sekarang, ya! Sekalian mau bawa seseorang."Dona langsung menautkan kedua alisnya ketika mendengar ucapan Monika."Memangnya siapa, Sayang?"Monika malah terkekeh pelan, kemudian kembali melanjutkan ucapannya."Nanti juga tahu, aku berangkat dulu ke sana. Tolong siapin makanan.""Iya, Sayang."Sesudah mematikan sambungan telepon, Dona kembali meraih sendok yang ada di atas piring, kemudian melanjutkan acara makannya.Di saat itu pula, Yun
Dona langsung mendelik, hidungnya mengkerut, beberapa kali dia melayangkan tatapan tidak suka pada Yuni."Sejak kapan kamu berani melawan Ibu, Ramdani?" sentak Dona sambil tersenyum sinis. "Pasti si Yuni main dukun, biar kamu berani bersikap seperti itu."Dona sengaja melayangkan sebuah tuduhan tidak mendasar pada Yuni. Sengaja dia melakukan ini, tentunya agar Ramdani percaya lagi padanya, karena bagaimanapun itu, Ramdani adalah satu-satunya orang paling penting di hidupnya.Kalau saja Ramdani dikuasi oleh Yuni, Dona pasti tidak akan bisa hidup mewah, Ramdani pasti akan memberikan uang padanya hanya seadanya saja.Dona tidak ingin, kalau sampai hal itu terjadi, bisa-bisa kebiasaan hidup mewahnya tidak bisa dia rasakan kembali.Kalau saja hal itu sampai terjadi, Yuni adalah orang pertama yang akan Dona lenyapkan. Karena memang, gara-gara Yuni semuanya hilang.
"Bu, kenalin ini Kak Anton, dia Kakak tingkatku di kampus. Sebenarnya kami sudah dekat cukup lama, tetapi Kak Anton baru menyatakan cintanya padaku beberapa waktu lalu."Monika menjelaskan semuanya sambil tersipu malu, beberapa kali dia melirik ke arah Anton yang juga ikut menyunggingkan senyuman.Monika tidak menyangka, setelah melakukan pendekatan yang cukup lama dengan Anton, pada akhirnya dia bisa mendapatkan pria itu, rasanya hari-hari Monika benar-benar penuh dengan bunga."Benar, Bu. Saya dan Monika sudah kenal cukup lama. Malahan kami juga--""Yuni, maafkan, Mas. Mas, akan bersikap lebih adil padamu lagi, Sayang. Tolong, jangan pikirkan hal ini lagi, kasian anak yang ada di dalam kandunganmu.""Untuk apa? Kamu sudah sering berkata seperti itu padaku."Tiba-tiba ketiga orang tersebut tersentak ketika mendengar sebuah teriakan dari ruang makan.&
"Mbok, bisa tolong belikan tempat minum untuk Rion ke pasar, gak?"Mbok Darmi yang kebetulan sedang memotong sayur-sayuran untuk sarapan, langsung menoleh, kemudian mengangguk pelan."Bisa, Nyonya. Sekalian saya mau beli ikan, tadi Tuan Ramdani minta di masakin ikan goreng.""Baik, Mbok. Terima kasih banyak."Mbok Darmi tidak membalas ucapan Yuni, dia menatap majikannya itu dengan sendu, beberapa kali dia menelan ludah susah payah, berusaha mengusir gejolak di hatinya.Bagaimana tidak, bagian bawah mata Yuni tampak begitu menghitam, wajahnya pun tampak pucat pasi dengan bibir yang memutih.Belum lagi, akhir-akhir ini Yuni jarang sekali makan, membuat Mbok Darmi begitu khawatir. Padahal dia sering sekali mengingatkan Yuni.Akan tetapi, jarang sekali Yuni gubris, dia hanya mengangguk saja, kemudian kembali bermain dengan Rion dan yang
Ramdani pulang dari kantong dengan keadaan lesu. Hari ini, pekerjaan jauh lebih banyak dari yang dia pikirkan sebelumnya. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampai tidak sempat mengisi perut.Ketika masuk ke rumah, Ramdani langsung melesat pergi ke dapur, duduk di meja makan, kemudian membuka tudung makanan.Namun, seketika dia terbelalak ketika netranya hanya menangkap goreng telur dan sayur asam saja yang tersaji."Mbok Darmi! Mbok," teriak Ramdani dengan nyaring. Dia begitu lapar, tapi kenapa hanya makanan itu saja yang tersaji.Tidak lama kemudian, Mbok Darmi tergopoh-gopoh dari pintu belakang."Iya, Tuan, ada apa?""Kenapa tidak ada makanan yang lainnya? Masa saya harus makan sama telur goreng sama sayur asem saja, mana ikan goreng yang sama minta?"Mbok Darmi menunduk dalam, dia meremas tangannya sendiri dengan begitu gugup.