Semenjak kejadian tersebut, Yuni lebih banyak diam, kadang sesekali Ramdani memergoki Yuni tengah melamun di halaman belakang rumah.
Walaupun begitu, Yuni masih melayani Ramdani dengan baik, dia masih memperlakukan Ramdani layaknya suami, meskipun Ramdani justru sebaliknya.
"Rion, mau main sama, Papah, gak?"
Rion yang merupakan anak pertama Ramdani hanya menggeleng pelan, dia lebih asyik dengan mainan yang ada di hadapannya, dibandingkan dengan Papahnya sendiri.
Padahal, biasanya Rion tidak bisa jauh dari Papahnya, dia sering memanggil Papahnya, meskipun tidak selalu dihiraukan oleh Ramdani.
"Nak, Papah, punya mainan baru, kamu mau lihat, gak?"
Akhirnya Rion menoleh, menatap sang Papah yang sedang menyunggingkan senyuman.
"Tada!" sambung Ramdani sambil memamerkan mainan robot yang tadi dia beli di jalan.
"Nak, makan dulu, ya!"
Rion kembali menoleh, menatap Ibunya yang melangkah ke arahnya sambil membawa semangkuk makanan.
"Mamah, makan."
Meskipun belum terlalu lancar berjalan, tetapi Rion tidak pernah menyerah, dia adalah anak yang pekerja keras.
"Iya, Sayang. Ayo, makan, ya! Mamah, suapin."
Mendengar hal tersebut, Rion langsung terkekeh pelan, dia langsung merentangkan tangan ketika Ibunya semakin mendekat ke arahnya.
Tanpa menoleh maupun mengucapkan sepatah kata pun, Yuni menyimpan mangkuk berisi nasi dan sayuran tersebut di atas meja, kemudian meraih Rion yang masih merentangkan tangannya.
"Rion, mau makan di sini?"
Belum sempat anak sulungnya menjawab, Ramdani sudah lebih dulu berucap.
"Nak, di sini aja, ya, makannya. Papah, mau liat Rion makan lahap."
Rion sempat menatap Papahnya sekilas, sebelumnya akhirnya menggeleng, kemudian jarinya menunjuk ke arah belakang.
"Mamah, belakang. Ion belakang."
"Iya, Sayang. Mau makan di taman belakang, aja, ya!"
Yuni dan Rion langsung meninggalkan Ramdani tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ramdani menunduk, menatap mainan robot-robotan yang belum sempat Rion ambil.
Padahal biasanya, Rion begitu antusias ketika mendapat mainan dari Ramdani, tetapi kali ini justru berbeda. Rion, seakan-akan menghiraukan dirinya, layaknya Yuni.
Ramdani terpejam selama beberapa saat, kemudian menghempaskan tubuhnya sendiri ke atas sofa. Disimpannya yang mainan tersebut di samping tubuhnya, kemudian memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut.
"Mbok!" panggil Ramdani, ketika melihat asisten rumah tangga satu-satunya tersebut melintas.
Karena memang, Dona melarang anaknya tersebut untuk memperkerjakan banyak orang dengan alasan boros dan Yuni sendiri bisa mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri.
Namun, semenjak Yuni hamil besar, dia sudah jarang mengerjakan pekerjaan rumah dan hanya mampu membantu sesekali saja, karena tubuhnya sudah sering sekali lelah.
"Ya, Tuan. Ada keperluan apa?"
"Apa Yuni sering bercerita sesuatu sama Mbok? Karena memang, hanya Mboklah yang dekat dengannya."
Mbok Darmi terdiam sejenak. Karena memang benar adanya, kalau Nyonya tersebut lebih dekat dengan dirinya, bahkan bisa dibilang dirinya sebagai tempat keluh kesahnya Yuni.
Meskipun begitu, Mbok Darmi tidak merasa keberatan, karena dia tahu, bagaimana kesepiannya Yuni.
"Mbok, kenapa terdiam? Apa memang benar, kalau Yuni sering bercerita pada Mbok?"
"Be-benar, Tuan. Nyonya Yuni, sering bercerita pada saya, malahan--" Mbok Darmi mengangguk, dia tidak yakin ingin mengatakan hal ini pada Tuannya.
"Malahan apa, Mbok? Yuni, sering menceritakan apa? Tolong, katakan!"
"Nyonya Yuni sering bercerita sambil menangis, dia berkata sudah lelah dengan semua yang telah dia jalani, dia benar-benar hampir menyerah."
Ramdani tertegun, baru kali ini dia mengetahui tentang fakta tersebut, karena memang dia tidak pernah bertanya pada Yuni maupun yang lainnya.
Beberapa kali Ramdani menghela napas sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan sedikit kasar. Dia tidak pernah berpikir, kalau semuanya akan serumit ini.
"Lalu, apa lagi, Mbok?"
"Maaf, Tuan, kalau saya lancang, tapi apa Tuan sudah tidak mencintai Nyonya Yuni lagi?"
Ramdani terperanjat ketika mendengar pertanyaan Mbok Darmi.
Batinnya terus bertanya-tanya, kenapa asisten rumah tangga tersebut sampai menanyakan hal tersebut padanya.
"Maksud, Mbok?"
"Saya hanya ingin menanyakan hal itu pada Tuan saja, soalnya saya kasihan dengan Nyonya Yuni."
Entah kenapa, Ramdani merasa tidak enak ketika mendengar hal tersebut. Apa maksudnya Mbok Darmi menanyakan hal itu padanya, memangnya apa yang kurang selama ini.
"Kasihan bagaimana, Mbok? Saya memberikan Yuni tempat tinggal yang layak, dia juga tidak saya ijinkan bekerja, agar bisa lebih fokus mengurus anak dan rumah. Serta soal jatah bulanan, saya juga kadang-kadang memberikannya sama dengan Ibu saya."
"Apa Nyonya tidak mengeluh akan hal itu pada, Tuan?"
Ramdani terdiam, selama ini istrinya tersebut memang tidak pernah mengeluh soal jatah bulanan, malahan ketika dia lebih banyak memberikan uang pada Ibunya.
Di saat itu pula, Yuni selalu menerimanya dan tidak pernah mengungkit hal tersebut.
"Tidak."
Sontak, Ramdani langsung menyipitkan mata ketika melihat Mbok Darmi tersenyum tipis. Dia merasa ada yang aneh di sini.
"Nyonya, tidak pernah mengeluh apa karena Tuan tidak pernah menanyakan hal tersebut padanya?"
Pertanyaan Mbok Darmi tersebut, langsung membuat Ramdani terdiam. Perkataan Mbok Darmi benar adanya, kalau dia memang tidak pernah menanyakan hal tersebut pada Yuni.
"Sekarang Tuan mengerti, kenapa saya menanyakan hal tersebut?"
Untuk yang kesekian kalinya, Ramadani terdiam, dia langsung menoleh, menatap Mbok Darmi dengan intens.
***
Akhirnya Ramdani bisa menghela napas lega, kala pekerjaannya yang akhir-akhir ini begitu menumpuk, bisa selesai juga hanya dalam hitungan hari.Bahkan, Ramdani sampai rela kehilangan hari liburnya, demi bisa menyelesaikan semua pekerjaannya.Ramdani berambisi untuk bisa menjadi yang terbaik, sehingga dia bisa saja naik jabatan kapan saja. Soalnya beberapa waktu lalu, bosnya pernah bilang, akan menaikan jabatan seseorang yang bekerja dengan cukup baik.Maka dari situlah, Ramdani mulai memiliki keinginan untuk bisa menjadi yang terbaik diantara teman-teman yang lainnya, sekaligus memperlihatkan jati dirinya yang sebenarnya."Wah, udah selesai, nih, Pak!" sahut Anto--salah satu rekan kerja Ramdani yang cukup dekat dengannya.Ramdani yang tengah memejamkan mata sambil bersandar pada kursi, lantas mengangguk pelan."Iya, nih, udah selesai.""Wih, enak banget!"Tanpa diduga-duga, Anto langs
"Jangan asal bicara kalian, aku dan Pak Dandy sama sekali tidak berselingkuh!" hardik Yuni dengan kedua bola mata membulat sempurna.Dona menyeringai, dia menatap sebuah foto hasil jepretannya yang cukup bagus tersebut.Bila foto tersebut di kirimkan pada Ramdani, Dona yakin kalau anak laki-lakinya itu akan murka dan sedikit meragukan ketulusan hati Yuni.Terlebih lagi, mungkin hubungan keduanya akan kembali renggang, sehingga niat buruk yang selama ini Dona susun, akan bisa berjalan dengan lancarDona tidak sabar membayangkan, di saat Yuni dan Ramdani berpisah untuk selamanya, sehingga Dona bisa menikahkan anaknya dengan Sarah--perempuan yang cukup kaya raya."Asal bicara katamu? Jelas-jelas aku melihat perselingkuhan kalian di depan mata kepalaku sendiri.""Bu, aku tidak berselingkuh! Pak Dandy datang untuk menengok anakku. Apa Ibu tidak bisa me
Sebenarnya Yuni ingin sekali menolak keinginan Dandy untuk datang ke rumahnya, hanya saja dia merasa tidak enak.Masa ada orang yang menengok anaknya, dia malah menolaknya hanya karena alasan tidak nyaman.Jadi, mau tidak mau, Yuni pun mengiyakan permintaan Dandy, meskipun dia belum sempat memberitahu suaminya.[Baik, Pak.][Terima kasih, Bu. Kalau boleh tahu, apa ada yang sedang Ibu inginkan?]Sengaja Yuni tidak membalas pesan Dandy, dia takut kalau terus berhubungan dengan pria itu, justru akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.Maka dari itu, Yuni lebih memilih untuk mematikan jaringan data dan menyimpan gawainya ke dalam saku celana.***Sore hari sudah tiba, kala itu Yuni tengah berada di luar rumah, dia tengah bermain bersama kedua orang anaknya, lebih tepatnya memperhatikan Rion yang tengah belajar membawa
Entah bagaimana jadinya, tetapi semenjak saat itu, Ibu mertua Yuni jadi sering bertukar kabar dengan Sarah.Anehnya lagi, perempuan bernama Sarah itu malah meresponnya dengan baik, seperti hari ini, di mana ketika Yuni baru saja pulang dari rumah tetangganya, mengecek usaha yang selama ini dia dan ibu-ibu lainnya kembangkan.Perempuan itu sudah berada di rumahnya sambil mengobrol dengan Ibunya. Sementara itu, Yuni belum tahu bagaimana kabar Monika.Namun, yang pasti Yuni yakin, kalau Monika tidak tinggal seorang diri di luar sana, pasti dia tinggal bersama seseorang atau mungkin menyewa tempat yang lebih nyaman."Yuni, tolong ambilkan cemilan dan minuman, kebetulan tadi Mbok Darmi sudah Ibu suruh beli sayuran dan buah-buahan."Dona langsung memerintahkan kepada Yuni, ketika melihat batang hidung perempuan itu muncul di hadapannya."Bu, aku baru saja pul
Yuni sempat terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.Ramdani sedikit khawatir dengan Yuni, takut istrinya itu berpikir yang tidak-tidak. Apalagi ketika melihat reaksi Yuni yang tidak bisa Ramdani baca sedikitpun.Membuat Ramdani semakin panik saja. Bahkan, dia sampai mengigit bibir bawahnya dengan cukup keras dengan pandangan yang tidak bisa lepas dari Yuni."Ah, hanya mantan saja! Itu hanya masa lalu saja, tidak ada yang perlu aku khawatirkan."Yuni tersenyum lebar, kemudian menghampiri Ramdani, memeluk tangan suaminya dengan erat.Di saat itu, arah pandangan Dona langsung mengikuti Yuni, kedua bola matanya membulat."Aku tidak cemburu, aku yakin Mas Ramdani setia denganku," sambung Yuni.Melihat reaksi istrinya yang begitu menggemaskan, Ramdani langsung mengusap puncak kepala Yuni, kemudian mendaratkan kecu
Ketika sudah dekat dengan rumah, Titi segera mengucurkan beberapa tetes air ke matanya, dia hendak kembali berakting di hadapan Ramdani dan Yuni.Setelah itu, dia segera membuang botol berukuran kecil itu ke selokan. Sebelum itu, Dona sempat memastikan ke sekeliling, takut ada orang yang memergoki aksinya."Ya ampun, Bu Dona, kenapa nangis?"Dona langsung tersenyum tipis, kala melihat dua orang ibu-ibu menghampiri dirinya.Sudah saatnya Dona melancarkan aksinya, kalau dia akan berpura-pura bersedih, mengenai Monika yang pergi dari rumah."Monika, Bu." Dona terisak, kemudian luruh ke lantai, membuat kedua orang ibu-ibu itu begitu panik."Ya ampun, kenapa dengan Monika, Bu?""Monika, pergi dari rumah, Bu. Dia tidak ingin pulang lagi, saya tidak tahu dia akan pergi ke mana."Kedua ibu-ibu melayangkan tatapan sendu pada D