Sumpah Al-Qur'an (40)PoV; Bu Ayu.***Adzan Subuh berkumandang. Aku segera beranjak untuk mandi. Cukup lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, mengundang pertanyaan dari Adi."Lama banget, Bu? Biasanya ogah-ogahan karena dingin, atau kamar mandi rumah sakit nggak bersih," ujarnya menyindir."Gerah," jawabku singkat. Jika menuruti amarah, ingin rasanya mengumpatnya karena sudah berani mengurusi bahkan menyindirku. Tetapi aku sudah teramat lelah, aku sedang tidak ingin berdebat."Mbak, saya boleh masuk?" tanyaku, saat seorang perawat melintas. Aku beranjak menghampirinya."Jam kunjungan jam tujuh, Bu. Nanti kalau jam tujuh, keluarga boleh masuk," jawabnya sopan. Tapi aku tak suka dengan larangannya."Heh, saya ini istrinya. Kamu siapa berani-beraninya melarang saya, hah?!" sentakku. Raut wajah perawat itu pun seketika berubah."Bu, Ibu ... ini sudah aturan rumah sakit, Bu. Biasanya juga seperti ini, dari kemarin-kemarin di rumah sakit sebelumnya juga jam kunjungan dimulai pukul tuj
Sumpah Al-Qur'an (41)PoV ; Ramlah***Pasti kalian sudah banyak tahu, kan, tentang misi kami dari Mbak Ayu? Jadi, kurasa tidak perlu untuk dijabarkan lagi semuanya.Ya, misi kami untuk membuat si Asti janda dekil itu segera pergi dari sini. Setelah misi pertama kami berhasil dalam merebut tanah di sebelahnya untuk dijadikan ternak kambing, walau melalui proses yang cukup panjang, karena Asti yang kuanggap lemah ternyata tak menyerah begitu saja ketika tanahnya kami rampas.Misi kedua kami, agar ia pergi dari rumah itu. Jika ia segera pergi, maka tanah dan rumahnya akan jatuh ke tangan kami lagi. Tanah yang ibunya si Rahmat ambil dengan merayu nenekku, lebih tepatnya Nenek dari Bahri.Kami berunding dengan matang. Aku yang kurang pandai untuk bersikap galak dan tegas, hanya ditugaskan untuk mengusili Asti oleh Mbak Ayu. Tentu harus dengan cara yang baik. Pikiran licikku mulai merespon, yaitu dengan mengirimi makanan-makanan yang sudah tak layak.Bahkan aku dengan sengaja menyisihkan s
Sumpah Al-Qur'an (42)PoV; Ramlah.***Sungguh, aku merasa malu dengan diri sendiri. Perlakuan Asti pada anak-anak membuatku begitu kagum. Ia sama sekali tidak menaruh dendam, setelah apa yang kulakukan padanya berbulan-bulan.Selama Mas Bahri dirawat, ia menjaga anak-anak dengan baik. Aku sendiri yang bertanya pada anak-anak, dan tidak mungkin mereka berbohong. Bahkan aku sendiri juga menginap di rumahnya. Sangat tak tahu diri, bukan? Namun, Asti sama sekali tidak mengungkit perbuatan jahatku padanya, ia menyambutku dengan hangat. Bahkan ia dan anak-anaknya rela tidur di lantai beralaskan selembar kain, karena kasur kumalnya yang sudah tipis itu dipakai anak-anakku.Aku bisa dengan tenang dan fokus di rumah sakit, tanpa memikirkan anak-anak. Aku menaruh kepercayaan penuh Asti akan menjaga mereka dengan sangat baik. Jam kunjungan belum dimulai. Aku duduk termenung melempar pandangan ke depan, menatap dinding datar dan menggeluti suatu hal yang selalu menganggu pikiran.Ah iya, ada sa
Sumpah Al-Qur'an (43)PoV; Ramlah.***Kurang lebih enam hari perawatan, Mas Bahri sudah diziinkan untuk pulang. Walau kondisinya belum pulih sempurna, tetapi dokter berkata jika luka-lukanya bisa dirawat mandiri di rumah.Aku mengiyakan dengan senang, sebab sebagian luka Mas Bahri pun mulai sedikit mengering, jadi kurasa sanggup untuk merawatnya dalam beberapa hari saja. Aku mengernyitkan dahi heran ketika mobil yang kutumpangi mulai merayap pelan untuk menepi, mendapati Asti berdiri seorang diri tepat di depan pintu rumahku. Tangannya bergerak memutar anak kunci lalu menggenggamnya. Sial. Aku terlalu percaya padanya, dengan menitipkan kunci rumah di tangannya. Hingga ia mulai besar kepala dan ngelunjak. Pasti si janda dekil itu masuk ke dalam rumah dan mengobrak-abrik barang-barangku, bahkan tidak mustahil ia akan mencuri benda-benda mahal di rumahku ini. Toh, di rumah tidak ada orang. Anak-anak juga ada di rumahnya, lalu untuk apa ia masuk ke dalam rumahku jika bukan untuk mencur
Sumpah Al-Qur'an (44)***Tamu-tamu yang menjenguk Mas Bahri terus datang silih berganti. Suamiku itu memang orang yang begitu baik, jadi tentu saja banyak orang yang perhatian. Sampai sini, apa kalian masih akan mengira bila kami terlibat pertengkaran hingga dilempar bom ikan itu? Baru saja merebahkan diri, pintu kembali diketuk. Aku beranjak dengan menggerutu kesal. Bagaimana tidak, sejak pagi hingga sore ini tamu tak kunjung berkesudahan. Aku kewalahan dalam menjamu mereka. Siang tadi, aku ke rumah Asti untuk meminta bantuannya, rupanya hanya ada Nia dan adiknya di sana. Dia berkata, Asti sedang bekerja.Sebelum membuka pintu, kusempatkan diri ini berkaca. Wajahku penuh peluh, tetapi tetap tak mengurangi kecantikan. Setelah dirasa sempurna, aku keluar membuka pintu. Rupanya, rombongan orang dari gang sebelah datang. Aku menyalami mereka satu per satu sambil melirik jam, pukul empat sore. Asti pasti sudah balik dari ladang.Aku mempersilakan duduk dan meninggalkan mereka ke rumah A
Sumpah Al-Qur'an (45)Aku memang begitu takut jika tubuhku sampai berdarah. Sekalipun lukanya tidak seberapaAku menangis tersedu. Bukan karena sakit, tapi karena tubuhku berdarah. Bahkan rasa nyeri di sekujur tubuh tidak lagi terasa. "Ibu ini kenapa?" Mas Bahri kembali bertanya sambil meraih tanganku."Ja-jatuh," sahutku tergagap.Melangkah dengan agak pincang, Mas Bahri pergi ke kamar. Luka di bagian lututnya sulit mengering, tapi setidaknya ia sudah bisa berjalan tanpa perlu dipapah. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa kapas. Aku memejamkan mata ketika Mas Bahri mulai membersihkan darah di tangan. Sesekali aku memekik ketika rasa perih menjalar karena gesekan kapas itu.Mas Bahri memang tahu betul aku takut darah. Pernah ketika memasak, tanpa sengaja tanganku tergores pisau. Dengan cekatan Mas Bahri membersihkan darah itu, lalu melanjutkan masakan yang belum kuselesaikan. "Sudah," katanya.Aku membuka mata, dan bernapas lega mendapati tanganku sudah bersih dari darah. Ad
Sumpah Al-Qur'an (46)PoV; Ramlah.***"Kenapa, Mak? Ada apa?" tanyaku mulai panik. Mak Paraji mendongak sekilas, lalu kembali menunduk menekuri perutku. Tangannya terus mencoba meraba bagian sana.Aku mulai gemetar. Menit berikutnya, pandanganku beralih menatap Mas Bahri yang juga terlihat menanti jawaban Mak Paraji dengan gusar. "Bagaimana, Mak?" Mas Bahul bersuara. Mak Paraji mulai menghentikan tindakannya, lalu membenarkan posisi duduk sambil merapikan bajuku yang tersingkap.Aku bangkit untuk duduk dan menatap Mak Paraji penuh ketakutan. Menanti jawaban yang bisa saja kabar buruk yang tak kuharapkan."Iya, benar. Nak Ramlah sedang hamil. Janinnya sudah keraba. Mungkin sudah dua bulanan usianya." Mak Paraji berkata hati-hati.Demi apa? Aku tak salah dengar, bukan? Mak Paraji berkata jika ada nyawa yang saat ini bersemayam dalam rahimku?"Tuh, kan, Bu! Apa aku bilang," timpal Mas Bahri bangga. Aku mendongak menatapnya dengan senyum."Mak, benarkah begitu?" tanyaku tak percaya.
Sumpah Al-Qur'an (47) "Apa perlu kami perlihatkan kembali hasil pemeriksaan USG?" Dokter menawari dengan ekspresi datar. Ia nampak tidak senang. "Tidak perlu! Saya tidak percaya pada gambar. Yang saya mau lakukan pemeriksaan sekarang juga! Bahkan kalau perlu lakukan tes darah!" Mas Bahri tetap kekeuh. Aku masih tidak paham dengan percakapan mereka. Apa memangnya hasil USG? Tak berniat bertanya, aku hanya menunduk untuk menetralisir rasa. Menasehati diri untuk tegar dengan kemungkinan buruk yang akan kudengar. Aku mendongak, tampak Dokter sedang berbicara dengan perawat agak jauh dari ranjangku. Mas Bahri memantau dengan wajah tegang. Marah, dan kecewa. Sudah tak bisa kugambarkan raut wajah Mas Bahri. "Baiklah. Kita lakukan USG sekarang juga. Bapak bisa di sini untuk melihatnya langsung!" Dokter kembali menghampiri, memutuskan walau nampak terpaksa. Detak jantung makin cepat. Bahkan tubuhku terasa menggigil karena rasa takut yang menyelimuti. "Dok ... memangnya apa yang terjad