"Kamu yang memulai. Dengar, Mas! Sejak dulu aku selalu bicara padamu untuk tidak terlalu menaruh harap begitu besar. Lihatlah sekarang! Kenapa kamu yang bersikap dingin? Kenapa kamu yang marah? Di sini aku sebagai korban. Aku yang kesakitan!" hardikku menggebu, dengan mengacungkan telunjuk di depan wajahnya, memuntahkan kemarahan yang kupendam. Rasanya saat ini bukan lagi waktu yang tepat untuk bersabar, bersikap baik dan sopan pada lelaki yang disebut suami."Ramlah, jaga mulutmu! Turunkan tanganmu itu. Jangan pernah berani menunjuk pada suami!" sergah Mas Bahri marah. Tapi tak membuatku gentar."Sekarang lihat aku, Mas! Aku yang menderita, aku yang kesakitan. Tapi mana perhatian yang kamu tunjukkan? Kamu bahkan tidak peduli dan bersikap dingin. Masih pantaskah aku bersabar?" Aku mulai melemahkan suara, untuk kembali menarik perhatiannya. Tangis yang kutahan mulai jebol. Bahkan mataku mulai terasa berat karena beberapa kali menangis.Benar saja.Wajah Mas Bahri yang merah padam mu
Aku ingin melihat bagaimana reaksinya ketika tahu istrinya ini berpenyakit serius. Yang kutahu, ia lelaki bertanggung jawab dan penyayang. Jadi tentu saja ekspetasiku Mas Bahri akan prihatin dan kembali bersikap hangat mengetahui diri ini begitu menderita. "Ganas?" Ia terperanjat, seketika menoleh padaku. Aku mengangguk, dengan pandangan yang mulai kabur. Air mata menggenang di pelupuk mata. Mas Bahri berjalan pelan ke arahku. Hampir tiba di ranjang, ia memutar arah lalu melesat keluar kamar. Tanpa pamit. Hatiku kembali mencelos diperlakukan demikian. *** Lima hari dirawat, dokter mengabarkan jika hasil pemeriksaan sudah keluar. Beberapa rangkaian pemeriksaan yang tak kuketahui apa saja sebutannya. Salah satunya dengan pemeriksaan lendir yang beberapa waktu lalu diambil dari daerah miss V, untuk mengetahui penyebaran kangker, katanya. Aku menunggu dengan hati berdebar. Lagi-lagi diri ini sendiri. Mas Bahri sudah berubah total, sikapnya bertolak belakang dengan Mas Bahri yang du
Sumpah Al-Qur'an (50) PoV; Asti *** "Bu, Nia mau berangkat," pamit Nia menghampiriku yang tengah menyisir rambut si adik. Aku tersenyum sembari mengulurkan tangan. Nia segera menyambut dan mencium tanganku. Lalu melesat keluar rumah. Aku menatap punggung gadis kecil itu, yang dengan setengah berlari berangkat ke sekolah. Tas gendong yang biasa dipakainya, berwarna biru muda yang sudah berubah warna dan banyak koyak di sekitarnya, kini sudah berubah menjadi tas gendong pink dengan gambar animasi bearbie. Minggu kemarin, ketika libur sekolah, aku mengajaknya ke pasar seharian. Aku menjaga toko, dan Nia menemani Ica. Kuminta ia untuk mengatakan apa yang diinginkannya. Namun, gadis kecilku itu hanya berkata, "Tas, Bu. Tas Nia sudah rusak. Kalo lagi jalan pensil Nia jadi sering jatuh." "Ibu sejak dulu kan sudah ngomong sama Nia, supaya kita beli tas baru." "Nia takut Ibu nggak ada uang. Hehe. Jadi nggak papa Nia pake aja. Tapi kayaknya sekarang sudah nggak bisa dipake lagi, yang
"Temen-temen di sekolah nggak ada yang mau temanan sama Nia lagi. Kalo Nia dateng, mereka langsung pergi," lanjutnya.Hatiku mencelos mendengarnya. Aku tahu bagaimana sakitnya berada di posisi yang Nia hadapi saat ini.Aku merengkuh tubuhnya dan memeluk lama. Setitik air mata jatuh membasahi rambut hitamnya. Kamu kuat, Nak. "Ibu!" Teriakan Nia membuatku terkesiap dari lamunan. Ia dengan setengah berlari kembali lagi ke arah rumah."Kenapa, Nia?" "Bekalnya ketinggalan," katanya cengengesan.Aku mentoel hidungnya gemas. Seringkali ia terlupa pada kotak bekalnya. Bahkan pernah baru teringat ketika di sekolah. Beruntung ia membawa uang saku.***Saat ini, aku sudah memulai usaha dengan membuko ruko kecil-kecilan. Semua ini Tacik yang membiayai. Tacik benar-benar orang terpilih, perantara dari Allah untuk mengangkat perekonomian keluarga kami. Setidaknya kami tidak lagi direndahkan karena label miskin. Di usia empat puluh tujuh ini, Tacik belum juga dikarunia anak. Kami sudah saling te
Sumpah Al-Qur'an (52) PoV; Asti *** Waktuku terkuras habis di toko. Alhamdulillah, toko sepatu dan tas melesat dengan cepat. Kini, aku menambah waktu durasi untuk pembukaan toko. Yang biasanya pulang di jam dua, kini bisa sampai jam lima atau bahkan pukul enam sore baru tutup toko. Hal itu membuatku sering pulang dalam keadaan lelah, lalu istirahat di rumah. Aku mulai jarang mendengar kabar-kabar dari para tetangga, yang biasa kudengar ketika mencabut rumput di ladang. Bahkan aku sudah jarang bertegur sapa. Bukannya mulai sombong, tidak. Melainkan karena memang tidak pernah berkesempatan bertemu dengan tetangga. Bahkan dengan Bu Ramlah yang rumahnya begitu dekat denganku, aku sudah jarang bertemu. Bisa dibilang bahkan tidak sama sekali. Berbelanja pun, aku selalu membawa lauk dari pasar. Jadi tak lagi belanja di warung Mbak Tatik. Bukan tanpa sebab aku bekerja dengan gigih di toko. Melainkan karena saat ini mulai menabung, dengan niatan untuk merenovasi rumah. Walau tak me
Sumpah Al-Qur'an (53)PoV ; Asti"Hahaha ... lagian omong doang ditinggiin. Mampus, kan, kalau akhirnya berita yang disebarkan sendiri bulshit.""Haha lah iya, kemakan omongannya sendiri.""Duh, kalau aku udah malu tujuh turunan. Mana pake sebar-sebarin berita kalau dapetnya jantan."Ucapan Ibu-ibu di depan saling bersahutan. Aku tak ingin menguping, tetapi kondisiku berada tepat di belakangnya. Jadi tentu saja dapat mendengar dengan jelas obrolan mereka."Eh eh iya, terus gimana tuh kabarnya sekarang?""Aku sih ga pernah liat sekarang. Lakinya kalau ditanya selalu menghindar, malu banget pasti haha.""Kalau dipikir-pikir ya kasihan, sih. Kasihan, sudah bermimpi setinggi langit, eh malah jatuh ke lubang got. Haha." Tawa mereka kembali pecah, menggema di seluruh ruangan. Seolah begitu puas menertawakan orang yang dibicarakannya.Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan ini. Aku benar-benar tidak pernah update lagi tentang info apa yang terjadi di gang kami. Pasalnya kesibukan di pasar be
Sumpah Al-Qur'an (54) PoV; Asti. *** Aku memutuskan untuk pulang lebih awal hari ini dari pasar. Tentu saja, toko pun ditutup lebih cepat. Bukan tanpa alasan. Sepulang dari toko, aku harus pergi ke toko bangunan. Aku mencatat apa saja yang akan dibeli. Aku tidak pengalaman dan bahkan tidak paham apa saja keperluan untuk merenovasi rumah. Akang penjaga toko yang membantu, untuk memperhitungkan segalanya. Berapa banyak semen yang harus kubeli, dan perlengkapan lain yang bahkan baru kudengar namanya. Alhamdulillah. Aku bahkan kehilangan kata-kata untuk berucap, melantunkan syukur pada Allah. Begitu mudahnya bagi Allah untuk memberikan rezeki pada hambanya. Hal yang kuanggap mustahil sebelumnya, kini menjadi nyata. Dengan mudahnya Allah mengubah nasib hamba-Nya. Hamba yang selalu yakin dan berserah diri pada-Nya. Dalam waktu tiga bulan saja, aku bisa mengumpulkan uang walau hanya dalam nominal belasan. Aku berunding pada Tacik sebelumnya. Atas keyakinan Tacik jika tabunganku it
Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah