Share

7. Kepala Ikan

Sumpah Al-Qur'an (7)

***

Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. 

Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. 

Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. 

"As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.

Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendung. Sepertinya hujan akan turun.

"Ada apa, Bu Ramlah? Wadah Bu Ramlah ada yang kelupaan belum aku balikin, ya?" tanyaku heran. Sebab baru kali ini ia masuk ke rumahku. 

Dulu, saat lebaran. Saat semua orang maaf-maafan, silaturahmi dari satu rumah ke rumah yang lain, hanya Bu Ramlah dan Bu Ayu yang enggan masuk ke rumahku. Kakak beradik ipar itu justru mengolok. "Kandang ayamku saja masih jauh bagus sama rumahmu, As!" Begitu katanya saat kupersilakan mampir.

"Enggak. Cuma mau kasih ini sama kamu." Ia menyodorkan kresek hitam padaku. 

"Itu apa, Bu?" tanyaku, sebelum menerima bungkusan itu.

"Lah ini ambil dulu napa. Ngga ngehargain banget. Dikasihanin orang malah belagu!" ujarnya ketus, melengos saat aku melihat wajahnya.

"Nggak gitu, Bu. Saya terima kok." Aku meraihnya. Rasanya memang aku bersikap tak sopan. Bau amis menguar saat bungkusan itu kupegang.

"Itu di dalemnya ada ikan laut. Kepala bandeng, teri, sama ada ikan apa saya ngga tau namanya." 

Mataku berbinar mendengar ikan laut yang Bu Ramlah katakan. Namun, aku segera menepis rasa senang itu setelah mengingat pemberiannya yang tidak pernah bagus. Khawatir aku akan lebih kecewa bila terlalu berandai.

Aku membuka bungkusannya saat pandangan Bu Ramlah sibuk menyapu sekeliling rumah. Benar, di dalamnya hanya ada potongan kepala ikan teri dan kepala bandeng. Aku menggeliat geli saat melihat kepala-kepala ikan teri yang begitu banyak dengan mata melotot. Di ujung kepalanya terdapat kotorannya yang memanjang. 

Lalu ikan kecil-kecil dengan mulut yang tajam dan panjang. Dulu waktu kecil aku suka menangkapnya di kali. Di tempatku orang-orang menyebutnya ikan julung. Ikan dengan ukuran yang begitu kecil itu belum pernah kuketahui bisa dimakan. Aku segera menutup kembali bungkusan itu.

"As, kamu mau nggak kerja sama saya?" tanyanya menawarkan.

"Kerja apa, Bu?"

"Cari kayu bakar. Soalnya kayu bakar di belakang rumahmu itu sudah menipis. Setiap dapet satu gendongan kayu bakar aku bayar lima ribu. Gimana?" terangnya antusias.

Aku terdiam memikirkan upah yang Bu Ramlah katakan. Dengan satu gendongan kayu yang banyak dan berat itu hanya diupah lima ribu, menurutku terlalu murah.

"Ehmm ... maaf, Bu. Tapi saya lagi kerja sama Bu Surti," tolakku memberi alasan.

"Ah palingan juga nggak seberapa upah dari situ. Awas aja ntar kamu butuh. Penawaran tidak datang dua kali! Miskin kok pilih-pilih kerjaan!" ujarnya dengan ketus. Lalu berlalu tanpa pamit.

Aku menyusul keluar, mencari kucing liar yang tidak bertuan.

Aku membuka plastik hitam itu, lalu menaruhnya di teras rumah. Kucing-kucing liar pun berkumpul ketika kupanggil. 

Aku memang miskin, tapi aku juga tahu diri. Makanan itu bukan untuk manusia, melainkan untuk kucing. Kepala-kepala ikan yang sama sekali tidak ada dagingnya, pantasnya memang diberikan pada kucing. 

Aku bukan belagu, aku hanya memanusiakan diri sendiri. Walaupun tak berani menolak saat menerima pemberiannya yang sudah tak layak.

"Heh, As! Kamu tuh nggak tahu diri banget ya! Dikasihani malah sok tinggi. Aku kasih kamu ikan bukan untuk makan kucing. Kalau nggak mau ya bilang, ngga sudi juga aku sekarang kasih rezeki sama orang sok kaya. Pantes aja hidup susah, mlarat, wong seleranya setinggi langit." Aku terkejut saat Bu Ramlah tiba-tiba datang. Wajahnya memerah marah.

Ia mencecarku dengan banyak hal, tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Hingga Bu Ayu--istri Pak Bahul--turut kemari, menghakimi kesalahanku karena sudah memberikan makanan yang Bu Ramlah kasih untuk kucing.

"Ini kepala ikan, Bu. Tidak ada dagingnya. Yang ada nanti Nia ketusuk sama durinya. Makanya saya kasih kucing," ujarku membela diri. Namun, Bu Ramlah kalap. Ia masih menghinaku dengan berbagai olokan.

"Halah! Pada dasarnya kamu memang sok-sok'an. Selera makanmu terlalu tinggi padahal hidup miskin!" sahut Bu Ayu, membela iparnya.

"Coba lihat, Bu! Isi dalam plastik itu semuanya kepala ikan. Bu Ramlah saja tidak sudi memakannya, sebab itu memberinya padaku. Iya, kan?" Aku berkata dengan pelan. Ucapanku membuat Bu Ramlah terpojokkan.

Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Bu Ramlah dan Bu Ayu bergegas balik ke rumah masing-masing. Aku sedikit lega bisa lolos dari amarah mereka. Tetapi juga cemas, sebab Nia belum juga pulang. Ia masih di sekolah.

Aku menutup pintu dengan rapat. Derasnya hujan merembes masuk dari genteng yang berlubang. Percikannya juga menembus celah-celah anyaman bambu. Aku kelimpungan, hujan turun begitu lebat disertai gemuruh angin yang begitu kencang.

Ica baru bisa tenang setelah sejak tadi histeris sebab amukan Bu Ramlah dan Bu Ayu. Aku menyusun kain berlapis untuk membalut tubuhnya. Percikan hujan begitu dingin, membuat tubuhku menggigil. Aku menatap atap rumah ini dengan perasaan takut, khawatir badai merobohkan rumah yang sudah reyot ini. Ditambah rasa khawatir sebab Nia belum juga pulang.

Ica terlelap. Aku beranjak menuju dapur. Dugaanku benar, dapurku sudah penuh dengan air. Bagian dapur tidaklah terlalu tinggi, bahkan tinggi lantai yang hanya dibuat dari semen ini tidak sampai sejengkal tangan. Membuat air mudah naik dan menggenang.

Bau kotoran kambing menyengat. Sebagian kotoran kambing milik Pak Bahul itu turut berenang dengan samar masuk ke dapur. Aku segera mengambil kayu tipis, dan mengganjalnya di depan pintu. Setidaknya kotoran dan kayu-kayu tidak ikut masuk.

Jika kalian bertanya mengapa aku hanya diam saja bila diperlakukan semena-mena, sudah kubilang 'kan? Di sini aku sendirian. Tidak ada saudara yang bisa membela. Sedangkan lawanku orang kaya. Pak Bahul dan Pak Bahri memiliki segalanya. Mudah menyewa orang untuk membela. Tempo hari saja, Pak RT tiba-tiba berpihak padanya. Tentu karena sebuah sogokan.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status