Share

7. Kepala Ikan

last update Huling Na-update: 2022-07-23 10:48:27

Sumpah Al-Qur'an (7)

***

Setelah kejadian tersebut, kini setiap malam Pak Bahul mempekerjakan dua orang untuk menjaga kambing-kambingnya di malam hari. Hal itu membuatku tak nyaman, sebab tawa yang menggelegar dari mereka membuat tidur kedua anakku tidak nyenyak di malam hari. 

Aku masih mengingat wajah riang Nia saat kubelilan eskrim homemade di tetangga, yang hanya seharga dua ribu itu. Ia menikmatinya hingga bibir mungilnya itu belepotan dengan eskrim. 

Jika bekerja seharian penuh, maka gaji yang kudapat tiga puluh ribu. Itu pun hanya di hari minggu aku bisa bekerja seharian penuh. Ica tak memakai diapers, aku hanya menggunakan kain sebagai popok untuknya. Uang yang kudapat hasil buruh hanya cukup untuk makan, itu pun hanya pas-pasan. Sebab, tak setiap hari ada yang memintaku untuk bekerja di ladangnya. 

"As! Aku masuk, ya?" Suara Bu Ramlah terdengar setengah berteriak dari luar rumah. Gegas aku membuka pintu, ia pun masuk tanpa kupersilakan.

Jam delapan, tetapi cuaca begitu mendung. Sepertinya hujan akan turun.

"Ada apa, Bu Ramlah? Wadah Bu Ramlah ada yang kelupaan belum aku balikin, ya?" tanyaku heran. Sebab baru kali ini ia masuk ke rumahku. 

Dulu, saat lebaran. Saat semua orang maaf-maafan, silaturahmi dari satu rumah ke rumah yang lain, hanya Bu Ramlah dan Bu Ayu yang enggan masuk ke rumahku. Kakak beradik ipar itu justru mengolok. "Kandang ayamku saja masih jauh bagus sama rumahmu, As!" Begitu katanya saat kupersilakan mampir.

"Enggak. Cuma mau kasih ini sama kamu." Ia menyodorkan kresek hitam padaku. 

"Itu apa, Bu?" tanyaku, sebelum menerima bungkusan itu.

"Lah ini ambil dulu napa. Ngga ngehargain banget. Dikasihanin orang malah belagu!" ujarnya ketus, melengos saat aku melihat wajahnya.

"Nggak gitu, Bu. Saya terima kok." Aku meraihnya. Rasanya memang aku bersikap tak sopan. Bau amis menguar saat bungkusan itu kupegang.

"Itu di dalemnya ada ikan laut. Kepala bandeng, teri, sama ada ikan apa saya ngga tau namanya." 

Mataku berbinar mendengar ikan laut yang Bu Ramlah katakan. Namun, aku segera menepis rasa senang itu setelah mengingat pemberiannya yang tidak pernah bagus. Khawatir aku akan lebih kecewa bila terlalu berandai.

Aku membuka bungkusannya saat pandangan Bu Ramlah sibuk menyapu sekeliling rumah. Benar, di dalamnya hanya ada potongan kepala ikan teri dan kepala bandeng. Aku menggeliat geli saat melihat kepala-kepala ikan teri yang begitu banyak dengan mata melotot. Di ujung kepalanya terdapat kotorannya yang memanjang. 

Lalu ikan kecil-kecil dengan mulut yang tajam dan panjang. Dulu waktu kecil aku suka menangkapnya di kali. Di tempatku orang-orang menyebutnya ikan julung. Ikan dengan ukuran yang begitu kecil itu belum pernah kuketahui bisa dimakan. Aku segera menutup kembali bungkusan itu.

"As, kamu mau nggak kerja sama saya?" tanyanya menawarkan.

"Kerja apa, Bu?"

"Cari kayu bakar. Soalnya kayu bakar di belakang rumahmu itu sudah menipis. Setiap dapet satu gendongan kayu bakar aku bayar lima ribu. Gimana?" terangnya antusias.

Aku terdiam memikirkan upah yang Bu Ramlah katakan. Dengan satu gendongan kayu yang banyak dan berat itu hanya diupah lima ribu, menurutku terlalu murah.

"Ehmm ... maaf, Bu. Tapi saya lagi kerja sama Bu Surti," tolakku memberi alasan.

"Ah palingan juga nggak seberapa upah dari situ. Awas aja ntar kamu butuh. Penawaran tidak datang dua kali! Miskin kok pilih-pilih kerjaan!" ujarnya dengan ketus. Lalu berlalu tanpa pamit.

Aku menyusul keluar, mencari kucing liar yang tidak bertuan.

Aku membuka plastik hitam itu, lalu menaruhnya di teras rumah. Kucing-kucing liar pun berkumpul ketika kupanggil. 

Aku memang miskin, tapi aku juga tahu diri. Makanan itu bukan untuk manusia, melainkan untuk kucing. Kepala-kepala ikan yang sama sekali tidak ada dagingnya, pantasnya memang diberikan pada kucing. 

Aku bukan belagu, aku hanya memanusiakan diri sendiri. Walaupun tak berani menolak saat menerima pemberiannya yang sudah tak layak.

"Heh, As! Kamu tuh nggak tahu diri banget ya! Dikasihani malah sok tinggi. Aku kasih kamu ikan bukan untuk makan kucing. Kalau nggak mau ya bilang, ngga sudi juga aku sekarang kasih rezeki sama orang sok kaya. Pantes aja hidup susah, mlarat, wong seleranya setinggi langit." Aku terkejut saat Bu Ramlah tiba-tiba datang. Wajahnya memerah marah.

Ia mencecarku dengan banyak hal, tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan. Hingga Bu Ayu--istri Pak Bahul--turut kemari, menghakimi kesalahanku karena sudah memberikan makanan yang Bu Ramlah kasih untuk kucing.

"Ini kepala ikan, Bu. Tidak ada dagingnya. Yang ada nanti Nia ketusuk sama durinya. Makanya saya kasih kucing," ujarku membela diri. Namun, Bu Ramlah kalap. Ia masih menghinaku dengan berbagai olokan.

"Halah! Pada dasarnya kamu memang sok-sok'an. Selera makanmu terlalu tinggi padahal hidup miskin!" sahut Bu Ayu, membela iparnya.

"Coba lihat, Bu! Isi dalam plastik itu semuanya kepala ikan. Bu Ramlah saja tidak sudi memakannya, sebab itu memberinya padaku. Iya, kan?" Aku berkata dengan pelan. Ucapanku membuat Bu Ramlah terpojokkan.

Hujan tiba-tiba turun dengan deras. Bu Ramlah dan Bu Ayu bergegas balik ke rumah masing-masing. Aku sedikit lega bisa lolos dari amarah mereka. Tetapi juga cemas, sebab Nia belum juga pulang. Ia masih di sekolah.

Aku menutup pintu dengan rapat. Derasnya hujan merembes masuk dari genteng yang berlubang. Percikannya juga menembus celah-celah anyaman bambu. Aku kelimpungan, hujan turun begitu lebat disertai gemuruh angin yang begitu kencang.

Ica baru bisa tenang setelah sejak tadi histeris sebab amukan Bu Ramlah dan Bu Ayu. Aku menyusun kain berlapis untuk membalut tubuhnya. Percikan hujan begitu dingin, membuat tubuhku menggigil. Aku menatap atap rumah ini dengan perasaan takut, khawatir badai merobohkan rumah yang sudah reyot ini. Ditambah rasa khawatir sebab Nia belum juga pulang.

Ica terlelap. Aku beranjak menuju dapur. Dugaanku benar, dapurku sudah penuh dengan air. Bagian dapur tidaklah terlalu tinggi, bahkan tinggi lantai yang hanya dibuat dari semen ini tidak sampai sejengkal tangan. Membuat air mudah naik dan menggenang.

Bau kotoran kambing menyengat. Sebagian kotoran kambing milik Pak Bahul itu turut berenang dengan samar masuk ke dapur. Aku segera mengambil kayu tipis, dan mengganjalnya di depan pintu. Setidaknya kotoran dan kayu-kayu tidak ikut masuk.

Jika kalian bertanya mengapa aku hanya diam saja bila diperlakukan semena-mena, sudah kubilang 'kan? Di sini aku sendirian. Tidak ada saudara yang bisa membela. Sedangkan lawanku orang kaya. Pak Bahul dan Pak Bahri memiliki segalanya. Mudah menyewa orang untuk membela. Tempo hari saja, Pak RT tiba-tiba berpihak padanya. Tentu karena sebuah sogokan.

Bersambung.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    63. ENDING

    PoV ; Asti ***"Nak, gini. Ibu pengen kalau meninggal nanti, kita bisa sama-sama lagi di surga. Percaya deh, kebersamaan dan kebahagiaan di surga itu jauh lebih segalanya daripada di dunia." "Termasuk hingga saat ini Ibu tidak merenovasi rumah agar lebih besar, itu karena Ayah?" tanyanya menyelidik.Aku mengangguk."Iya. Ibu tidak mau mengubah apapun dari rumah ini. Rumah pertama tempat kita bersama. Setidaknya hanya tampilannya saja, tetapi tidak dengan bentuknya. Biarkan rumah ini menjadi kenangan.""Nia paham itu, Bu. Terima kasih, Ibu sudah setia sama Ayah. Nia juga mengharapkan hal yang sama seperti Ibu." ***Pagi hari, saat aku ke rumah Bu Ramlah, aku merasakan hal yang berbeda. Aku tak dibiarkannya bangkit untuk sekadar mencuci piring, bahkan membuatkan jamu untuknya. Tanganku tak dibiarkan lepas dari genggamannya.Aku membuang firasat buruk jauh-jauh. Meyakinkan diri, bahwa Bu Ramlah baik-baik saja. Ia hampir sembuh dan akan pulih. "Maaf, ya, As." Aku membelalakkan mata me

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    62. Kebaikan Asti

    Sumpah Al-Quran (62) Pov ; Asti *** "Nggak, As. Saya nggak mau. Saya cuma mau mati. Saya ini sudah nggak bisa sembuh. Allah mungkin hanya mau nyiksa saya. Dosa apa yang saya perbuat, As! Kenapa Allah segitu dendamnya sama saya," ucap Bu Ramlah meraung. "Istighfar, Bu. Allah bukan dzat yang pendendam. Allah memberi Ibu kesempatan untuk hidup, berbuat baik. Tidakkah Ibu tahu, bahwa setiap rasa sakit, bisa mengurangi nafsu makan, nafsu minum, bahkan dosa kita juga berkurang, Bu. Tapi, atas kebaikan Allah, ketika kita sembuh, Allah kembalikan nafsu makan dan minum itu. Tapi Allah tidak mengembalikan dosa-dosa kita. Dosa-dosa kita akan berkurang setiap rasa sakit yang kita rasakan." Aku mencoba memberi Bu Ramlah pengertian dengan panjang. Entah Bu Ramlah paham dan mendengarkan atau tidak, yang penting aku berusaha mengingatkannya. Agar tidak lagi-lagi berprasangka buruk pada Allah. Walau pada akhirnya juga tetap sama. Ucapanku seolah mental, lagi-lagi Bu Ramlah menyudutkan Allah setia

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    61. Penderitaan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (61)PoV ; Asti"Kalau sekarang, tidur di lantai pun Nia nggak ngeluh. Lantainya halus, nggak kasar nggak bikin sakit," celetuk Nia. Ia tampak begitu girang. Berguling di lantai dengan tawa lebar.Lalu, ia beralih ke kasur. Mengempaskan tubuhnya dengan kasar. Tertawa riang dengan sang adik. Kebahagiaan yang rasanya sudah lama tak kurasakan. Gema tawa yang sudah lama tak kudengar. Ini suasana yang kutunggu, yang kuimpikan sejak dulu.Terima kasih, Ya, Allah ....Terima kasih. Atas kemurahanMu, Kau permudah segalanya. Ini kebahagian yang sesungguhnya, yang kucari sejak dulu.***Tak ada setiap detik yang terlewat tanpa adanya cerita. Dari rangkaian minggu yang berganti bulan, lalu berguling menjadi tahun, tak ada masa yang terlewat tanpa adanya kenangan dan sebuah pengajaran.Pelajaran hidup. Ica gadis kecilku, kini ia sudah kanak-kanak. Ia bukan lagi anak kecil yang merengek ketika kutinggal. Yang harus kuberikan mainan agar bisa terdiam, ketika aku disibukkan dengan

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    60. Perlakuan Pak Bahri

    Sumpah Al-Qur'an (60)PoV; Asti***Aku bergeming sesaat, mengatur napas. Jika kubersihkan sekarang, waktunya mepet. Lagipun, ini sudah malam. Bukan waktunya beberes. Biarlah esok hari saja aku ke mari. Aku menghela napas panjang. Tak berpikir untuk menyalahkan Bu Ramlah juga atas kondisi rumah yang teramat kotor ini. Aku paham di posisinya.Yang tak habis pikir kenapa Pak Bahri bisa demikian tak peduli pada Bu Ramlah. Siapa istri keduanya, hingga membuat Pak Bahri tergila-gila?Ah, biarlah. Ini menjadi urusan keluarga Pak Bahri. Aku orang luar, tidak ada hak untuk itu. Aku kembali ke ruang tengah. Mata Bu Ramlah tarkatup rapat. Aku memperhatikannya dengan seksama. Betapa malangnya hidup Bu Ramlah kini. Wajahnya mulai kusam, tanpa bedak dan lipstik. Kurus."Dari mana, As?" Aku mengerjap saat Bu Ramlah tiba-tiba membuka matanya. Kupikir ia sudah lelap."Da-dari dapur, Bu," sahutku, "Kupikir Ibu sudah tidur.""Ngapain? Udah di sini aja. Saya hanya butuh teman.""Bu, makan, ya. Dikit

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    59. Pengakuan Bu Ramlah

    Sumpah Al-Qur'an (59)PoV; Asti***Bu Ramlah tersenyum. Masam. "Lama. Mungkin tiga bulanan. Anehnya saya nggak mati-mati. Padahal saya nggak berobat. Makan juga nggak teratur. Allah seakan dengan sengaja menyiksa saya seperti ini. Dia tidak puas melihat penderitaan saya, As!" Bu Ramlah tergelak.Astaghfirullah."Bu, istighfar. Jangan bicara seperti itu. Yakin, Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya." Aku berkata lembut. Mencoba memberi pengertian.Bukan maksud menggurui, atau sok pintar. Namun, aku tak mau Bu Ramlah berprasangka buruk kepada pencipta. Dia sang Maha, maha segalanya."Hidup kamu sudah enak, ya, sekarang. Tadi aja saya liat kamu mau bangun rumah lagi, kan. Selamat, ya. Kamu pasti tertawa liat kondisi saya sekarang kayak gini. Kamu di atas sekarang." Bu Ramlah tertawa. Seolah menertawakan dirinya sendiri.Dari sini aku dapat menangkap. Mungkin Bu Ramlah tadi terganggu dengan keramaian Ibu-Ibu dan pengangkut barang. Lalu ia berusaha mengintip dari pin

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    58. Bu Ramlah Dipoligami?

    Sumpah Al-Qur'an (58) PoV; Asti. _ "Mas Bahri membawa mereka, tinggal bersama istrinya." Deg. Jantungku, jantungku seolah berhenti berdetak sesaat. Apa maksud Bu Ramlah. Apa dia ngelantur. Istri? "Ma-maksud, Bu Ramlah?" Aku menatapnya dalam. Pandangan Bu Ramlah yang sebelumnya terpaku pada langit-langit ruangan, sontak menoleh padaku sesaat. Jelas, matanya memerah. Bukan hanya tangis yang terlihat. Namun, luka. Aku bisa melihat dari matanya, Bu Ramlah menyimpan luka yang dalam. Bu Ramlah mencoba bangkit. Aku membantunya, lalu menyusun bantal di balik punggung, agar ia nyaman duduk dengan posisi bersandar. Aku meraih jahe hangat yang sebelumnya kuletakkan di kepala ranjang. Ranjang di ruang tengah ini ranjang kuno. Bukan ranjang kekinian empuk yang aku tak tahu namanya, tetapi pernah kulihat di kamar Bu Ayu waktu memijat Pak Bahul tempo lalu. Di bagian kepala ranjang, terbuat dari kayu jati dan berupa semacam lemari kecil. Khas ranjang kuno. "Minum, Bu." Aku menyodorkan te

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    57. Miris Kondisi Bu Ramlah

    Sumpah Al-Quran (57)PoV ; Asti****Bu Ramlah.Ia terkapar di lantai. Tubuhnya sangat kurus. Bu Ramlah yang cantik dan anggun, kini terlihat tua tak terurus. Wajahnya pucat. Rambut hitam legamnya itu kini nampak kusut dan tak lagi lebatTak jauh dari Bu Ramlah terbaring, tepat di sebelah kirinya terdapat pecahan gelas serta cairan bening dan irisan jahe tercecer di lantai. Aku termangu menatapnya sebentar, sebelum akhirnya kesadaran menyergap."Buuu!" pekikku. Aku tergopoh menghampiri.Bu Ramlah mengangkat tangan, mengulurkannya padaku. Aku segera peka, ia hendak berdiri.Aku menyambut uluran tangannya dan membantu untuk berdiri. Tubuhnya yang dulu berisi, kini sungguh kurus. Bahkan aku tak merasa keberatan walau menopang tubuh Bu Ramlah sendiri"Ranjang, As," lirihnya.Aku menuntunnya untuk ke ranjang, di ruang tengah yang berada di depan televisi. Setelahnya, aku dengan tergesa keluar, untuk pamit pada Nia jika aku berada di rumah Bu Ramlah. Lalu segera kembali menghampiri Bu Ram

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    56. Tuduhan Orang-orang

    Sumpah Al-Qur'an (56)PoV; Asti.***Mobil pickup dengan bak berwarna hitam kombinasi hijau tosca memasuki halaman rumah, ketika aku baru saja tiba dari sungai. Aku hendak menjemur kain cucian di teras depan. Seorang lelaki turun dengan tergesa. Dia menghampiriku yang mematung di tempat."Benar ini dengan rumah Bu Asti?" tanyanya sopan. Aku menjawab dengan senyuman. "Iya, benar, Pak. Diturunkan di sini saja, ya!" pintaku menunjuk beranda rumah yang hanya beralaskan tanah.Dua lelaki itu mulai meletakkan barang-barang di bak pickup ke beranda rumah. Pintu terbuka, Nia keluar sembari menuntun Ica. Sedikit tergesa ia menghampiriku."Nia kaget. Nia pikir ada apa rame-rame kayak dibanting," celotehnya. Ia menguap, lalu segera ditutupinya dengan tangan.Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya. Ia baru saja bangun tidur. Beruntung Ica kecil tidak menangis. Aku meminta mereka untuk kembali ke dalam. Aku segera menyelesaikan menjemur kain, untuk kemudian membuat kopi. Khawatir mengangg

  • AKIBAT SUMPAH AL-QUR'AN    55. Kondisi Pak Bahul

    Sumpah Al-Qur'an (55) "Jadi Nia bohong?" tanyaku serius. Aku mengunci matanya dengan tatapanku. Nia sontak menghentikan tawanya, lalu menunduk. "Nia minta maaf." "Nia bilang kalau memang suka tidur di bawah, karena kasurnya panas." Aku terus memojokkannya dengan alasan yang selalu keluar dari mulutnya, ketika kutanya mengapa aku selalu menemukannya tidur di bawah setiap aku bangun di pagi hari, atau ketika malam saat hendak Tahajjud. Kasur lantai memang tak begitu luas. Beberapa kali kutemukan Nia tidur di bawah, di lantai semen tanpa alas apapun. Kasar, apalagi sebagian berlubang. "Gerah, Bu. Di bawah adem. Makanya Nia guling aja ke bawah." Begitu sahutnya untuk kesekian, ketika kutanya dengan perihal yang sama. Bukan hanya sekali, bahkan bisa dibilang setiap malam ia kutemukan tidur di bawah. Tidur meringkuk dengan menekuk lutut. Kedua tangannya bersilang memeluk lengan. Ketika aku bangun tengah malam, aku memindahkannya ke atas. Namun, esok harinya kutemukan ia di bawah

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status