Share

8. Roboh

Sumpah Al-Qur'an (8)

***

Aku mengemasi peralatan masak yang sebelumnya tergeletak di bawah. Bingung hendak bagaimana. Jika angin dan hujan terus berembus kencang, sudah pasti rumah ini akan roboh. Di luar juga tidak menjamin keselamatan, sebab tingginya pohon-pohon yang tumbuh di sekitar bisa saja roboh. Aku begitu menghawatirkan Nia. Semoga saja ia tetap di sekolah bersama teman-temannya. 

Tubuhku menggigil. Semoga saja Ica tidak kedingingan, dan juga hujan segera reda. Baru kali ini hujan turun dengan begitu dahsyat.

Aku tersentak kaget saat terdengar suara yang begitu keras di sebelah rumah. Seperti suara pohon yang tumbang. Aku gemetar hebat. Bagaimana nanti bila rumahku juga tertindih pohon. 

Ya Allah ... mohon lindungi kami semua.

Aku mandi dan segera shalat. Lalu mengaji di sebelah Ica yang masih terlelap. Beberapa kali ia terjaga sebab terkejut dengan kilatan petir yang memekkakkan telinga. Entah berapa lapis kain yang menimpa tubuhnya. Supaya ia tidak kedinginan.

Kilatan petir mulai reda. Gemuruh rintik hujan di atas genteng pun berangsur ringan, pertanda rintiknya tak lagi mengamuk. Namun, angin masih berembus dengan kencang.

Aku memikirkan suara yang begitu keras tadi. Hendak mengintip, namun tidak ada keberanian. Bahkan untuk sekadar membuka jendela saja aku takut. Aku terus mengaji untuk menenangkan diri.

***

Aku terbangun saat mendengar panggilan seseorang dari luar. Rupanya, aku tertidur dengan memakai mukena. Aku bangkit dengan tergesa saat menyadari keramaian dan teriakan orang-orang.

Aku menghela napas lega saat daun pintu terbuka, melihat Nia diantar pulang oleh Bu Dewi, ia tetangga jauh. Rumahnya di ujung gang. 

Bu Dewi tadi menjemput anaknya yang kebetulan sekelas dengan Nia, maka sekalian ia membawa Nia. Begitu katanya. Aku berterima kasih berkali-kali. Bu Dewi menolak saat kuminta untuk mampir. Ia terlihat tergesa berlari ke sebelah rumah.

Aku mendadak teringat pada suara pohon yang tumbang siang tadi. Setelah meminta Nia masuk, aku berpindah posisi di teras bagian kiri. 

Aku membulatkan mata melihat keadaan kandang ternak milik Pak Bahul. Pohon kapuk yang sangat besar, posisinya tepat di sebelah pintu masuk sungai. Pohon itu tumbang akibat hujan dan angin kencang, hingga menimpa kandang kambing.

Pohon yang kudengar siang tadi mungkin ini. Ya Allah ... tubuhku mendadak gemetar melihat kacaunya kandang kambing Pak Bahul. 

Ya Allah ... seandainya rumahku yang dirubuhi pohon sebesar itu, pastilah aku dan Ica tidak akan selamat. 

Ada rasa iba dan juga lega. Lega karena pohon sebesar itu sama sekali tidak mengenai rumahku, bahkan hanya sepucuk genteng pun. Padahal kandang Pak Bahul dengan rumahku teramat dekat.

Aku terhenyak mendengar teriakan dan raungan yang kuyakini Pak Bahul. Rumahnya dikerumuni banyak orang. Ia pasti teramat terpukul dengan apa yang menimpanya.

Ya Allah, astaghfirullah ....

Baru beberapa hari yang lalu ia mendapat musibah. Kini, ia kembali mendapat cobaan yang lebih besar. Padahal belum tentu Pak Bahul mendapat cuan dari bisnis yang ia mulai itu, kini malah hancur tak tersisa.

Butuh waktu lama untuk menyingkirkan pohon sebesar itu, yang usianya mungkin sudah puluhan tahun. Bahkan kandang Pak Bahul sama sekali tidak terlihat. Tertutup oleh rimbunnya daun dan ranting-ranting pohon.

Para warga segera membantu memotong ranting-rantingnya, lalu menyingkirkan dengan perlahan. Tak kudengar lagi suara teriakan dari kambing yang berada di dalamnya. Aku segera menepis pikiran buruk, jika semua kambing Pak Bahul sudah tewas. Semoga saja tidak. 

Kambing dengan ukuran besar, pun dengan jumlahnya yang tidak sedikit. Tentu banyak modal yang ia keluarkan. Belum lagi saat membangun kandangnya itu. 

Mulutku tak henti mengucap istighfar. Kembali berpikir seandainya pohon itu menimpa rumahku. Sudah pasti kami kehilangan nyawa.

Ya Allah! Terima kasih atas perlindunganmu.

Ada banyak orang di sekitar rumah, untuk melihat kondisi kandang ternak Pak Bahul. Sebagian menanggapi dengan rasa iba, ada pula yang mencibir. 

Aku ingin menghampiri, melihat kondisi pak Bahul. Teriakannya saling bersahutan dengan Bu Ayu. Mereka pasti begitu terpukul. Namun, panggilan Nia mengurungkan langkahku. Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah mengganti lebih dari apa yang hilang, batinku.

***

Aku sedang menyimak ngaji Nia, saat mendengar suara gaduh di luar sana. Menjelang Maghrib, para warga menyerah, sepakat untuk melanjutkan esok hari untuk memindahkan pohon kapuk yang tumbang itu.

Aku keluar rumah untuk memastikan. Pak Bahul berdiri di depan rumahnya, berteriak meminta warga untuk segera memindahkan pohon kapuk itu dari kandang kambingnya. 

Adi menarik paksa ayahnya itu untuk segera masuk. Para warga keluar rumah masing-masing untuk melihat Pak Bahul yang mengamuk. Padahal, ia tidak bisa menyalahkan siapapun. Ini kehendak Sang Maha Kuasa. 

Aku kembali masuk. Melanjutkan menyimak ngaji Nia. 

Apa yang didapat dengan cara yang tidak baik, maka hasilnya tidak akan berkah. Aku terkesiap saat tanpa sadar batinku berkata demikian. Tidak! Ini murni cobaan untuk Pak Bahul. Cobaan untuk akhirnya diganti dengan yang lebih dari apa yang hilang.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status