Aku pun keluar dari rumah Mas Zaki, ternyata di depan pintu kamar ada Bu Ayu dan Yuni. Sepertinya mereka telah menguping pembicaraan kami.
"Huh ... dasar wanita murah*n!" ledek Yuni, aku tetap bergegas pulang ke rumah papa tanpa menjelaskan siapa aku sebenarnya.
"Ana!" teriak Mas Zaki menyusul. Namun, aku sudah tak peduli dengan panggilannya. Ia sudah menalakku. Semua sudah berakhir, Mas, tanpa kamu tahu kebenarannya lebih dulu. Aku tak habis pikir, kamu tak percaya bahwa aku ini anak orang kaya.
Aku setir mobil dengan kecepatan tinggi. Kulajukan ke rumah papa kembali. Tak ada air mata yang menetes di pipi. Entahlah, mungkin air mata ini sudah kering hingga tak lagi berurai.Mas Zaki, pria yang telah memintaku menjadi istrinya setahun lalu. Kini, ia menalakku. Memang baru sekali ia menalakku. Namun, aku tidak bisa kembali dengannya begitu saja, setelah apa yang ia katakan terhadapku tadi.
Kata-kata yang ia lontarkan akan menorehkan luka di hati. Mungkin baginya ini hanya sebuah emosi, tapi bagiku ini adalah jati dirinya, begitu rendahnya diriku di hadapannya.
Jadi teringat setahun silam, di saat Mas Zaki bertemu dan langsung menyuntingku.
***
Setahun lalu
Aku yang terbiasa bermain dengan anak-anak jalanan, sedang duduk di tepi jalan bersama-sama. Kami menyanyi bersenda gurau di pinggir jalan. Hingga akhirnya datang laki-laki yang tidak sengaja menabrak salah satu dari kami.
Brugh ....
"Au ...." Lita menjerit saat kakinya terlindas sebuah motor yang dikendarai oleh pria berjaket kulit.
"Eh, kamu tuh kalau naik motor liat ke jalan. Kita tuh dah di pinggir, tapi masih aja kamu lindas!" teriakku sembari menunjuk wajahnya yang tertutup helm. Kemudian, ia membuka helm dengan segera.
Setelah ia buka, laki-laki berjaket kulit itu mengucek matanya. Ia memang kesulitan membuka matanya. Sepertinya terkena debu di jalan.
"Maaf, Dek. Saya benar-benar tidak melihatnya. Maaf ya!" ucapnya sembari mengucek matanya. Kemudian ia terus menerus mengedipkan matanya. Hingga akhirnya bisa memperhatikan wajah kami.
"Jadi kamu itu tidak lihat ada kami di sini?" tanyaku lagi.
"Iya, Dek. Maaf ya. Ini uang untuk berobat ke rumah sakit." Ia menyodorkan uang sekitar satu juta rupiah.
Aku raih uangnya, kemudian kuberikan pada Lita yang sudah agak lebih mendingan.
"Maaf, Dek. Ada yang bisa antar saya dengan motor ini tidak, ya?" tanya laki-laki yang belum memperkenalkan namanya.
"Saya bisa antar," tunjukku. Kemudian, aku antarkan ia kembali ke tempatnya. Sebuah bengkel mobil yang lumayan besar dan ternama di kota ini.
Setibanya di sana, aku memberikan motornya kembali. Lalu aku berkenalan dengannya.
"Namamu siapa? Rumah di mana?" tanya Mas Zaki.
"Aku Ana Melissa, rumahku rahasia."
"Loh, kenapa rahasia?"
"Hanya laki-laki yang mau menyuntingku dengan segera yang boleh tahu alamat rumahku," pungkasku. Kemudian, ia meminta nomor kontakku untuk kenalan lebih lanjut.
"Kalau begitu, aku meminta nomer telepon selulermu, boleh?" tanyanya sembari memegang layar ponsel dan bersiap save kontak. Lalu aku sebut nomor kontak dan ia pun menyimpan kontakku.
"Aku pamit," tukasku.
"Hati-hati, terima kasih sudah mengantarkan aku ke bengkel. Ini bengkel milikku." Sombong sekali laki-laki ini, tapi boleh juga dengan tanggung jawabnya terhadap kecelakaan tadi.
Kemudian aku pulang, dan bertemu dengan papa dan mama. Ia sudah pulang dari kantor, seperti biasa aku dimarahi karena ketahuan bolos kuliah.
"Ana, dari mana kamu?" tanya papa.
"Pulang kuliah, Pah."
"Bohong, Papa tahu kamu bohong," cecarnya. Kemudian aku duduk di sampingnya.
"Papa akan menikahkan kamu dengan Roy, anak dari Pak Darun." Aku tersentak mendengar ucapan papa.
"Pah, aku belum siap. Lagi pula aku sudah memiliki calon laki-laki yang akan menjadi suamiku!" jawabku dengan percaya diri.
Tidak lama aku berucap seperti itu, telepon berdering. Dari nomor yang tak dikenal. Kemudian, aku mengangkatnya sebentar saat papa hendak membicarakan pernikahanku.
"Halo, Ana."
"Ya, ini siapa?"
"Aku Zaki, bisa bicara sebentar?"
Aku segera pergi meninggalkan mereka, bicara dengan Mas Zaki, si laki-laki yang tanpa sengaja menabrak Lita tadi.
"Ada apa?"
"Kamu bersedia menikah denganku?" Aku tersentak mendengar ajakannya. Ada apa ini? Papa memintaku untuk menikah dengan Roy. Di sisi lain, ada Mas Zaki yang menyuntingku secara tiba-tiba.
"Loh kenapa aku?" tanyaku terkejut.
"Mama memintaku menikah dengan wanita pilihannya. Aku tidak mau, karena tidak mencintainya. Bolehkah aku menjadikan kamu seorang istri?" Aku terdiam, tapi tak henti-hentinya berpikir. Kenapa bisa kebetulan seperti ini? Aku dan dia sama-sama dipinta untuk menikah dengan pilihan orang tuanya.
"Baiklah, aku setuju. Aku pun sama dengan kamu. Diminta untuk menikah cepat, tapi dengan pilihan orang tua."
"Oh ya? Berati kita jodoh, bisakah aku melamarmu besok?" tanyanya.
"Aku bicara pada orang tuaku terlebih dahulu. Nanti aku hubungi kamu kembali!" Telepon pun terputus. Aku kembali berkumpul dengan papa dan mama.
"Siapa?" tanyanya sinis.
"Pah, aku akan menikah."
"Syukurlah, akhirnya kamu mau menikah dengan Roy." Mama sebegitu bersyukurnya mendengar ucapanku yang baru setengah.
"Mama, aku menikah bukan dengan Roy. Ada laki-laki lain pilihanku."
Mama dan papa saling beradu pandangan sembari menggelengkan kepalanya.
"Ana, Papa tidak akan menyetujui. Khawatir laki-laki pilihanmu hanya memanfaatkan kamu, Ana!" tegasnya.
"Apa Roy tidak memanfaatkan Papa?" tanyaku.
Papa dan mama bergeming, tidak lama kemudian, papa melontarkan kata-kata yang mengejutkanku.
"Papa tidak akan merestui kamu, tapi Papa bersedia menjadi wali nikah untukmu!" tekannya. Ia menuturkan kata-kata dengan penuh ancaman.
"Maksud Papa?" tanyaku.
"Kamu boleh menikah, tapi jangan beri tahu pada keluarganya siapa jati diri kamu sebenarnya. Setelah kamu menikah pun ikut dengan suamimu!" Papa mengancam atau serius?
"Sesak dada Mama, Nak. Kenapa kamu memilih laki-laki itu?"
"Mah, aku baru bertemu dengannya sekali, tapi kok aku merasa kami jodoh."
"Sudah, Mah. Kita masih memiliki Sinta yang nurut dengan kemauan orang tua!" tegasnya.
"Baiklah, aku setuju dengan keinginan Papa." Aku menantangnya. Dari pada harus menikah dengan Roy, si laki-laki hidung belang, lebih baik aku menikah dengan Mas Zaki saja.
Kemudian, aku memberikan kabar kepada Zaki. Bahwa aku telah menyetujui ajakannya untuk menikah dengannya.
Perkenalan singkat dengan Mas Zaki telah menumbuhkan benih cintaku padanya. Begitu juga dengannya, yang lebih memilihku ketimbang gadis pilihan mamanya.
Acara lamaran dilakukan di rumah kecil yang papa sewa. Ia tidak mau memperlihatkan kekayaan kami karena belum mengenal Mas Zaki lebih dalam.
***
Aku melewati jalanan tempat kami bertemu dulu. Kemudian, aku turun dari mobil. Sedikit mengenang tempat ini, tempat awal mula Mas Zaki menabrak Lita. Kira-kira bagaimana kabarnya Lita sekarang ya? Sejak menikah dengan Mas Zaki, aku tak lagi bertemu dengannya.
Aku raih ponsel yang ada di tas, tapi ternyata kontak sudah tidak aktif lagi. Ah rasanya ingin cerita padanya bagaimana rumah tanggaku saat ini.
Aku kembali ke mobil dan hendak pulang ke rumah papa. Namun, papa sudah menghubungiku terlebih dahulu.
"Halo, Pah."
"Bagaimana?" tanyanya. Aku tahu ia sudah mengetahui jawabanku tapi berpura-pura menanyakan lagi padaku.
"Aku sedang on the way pulang, Pah."
"Jangan dulu, Papa punya tugas untukmu, tolong belikan bunga mawar berduri dan kirim ke alamat Jl. Tiga Dimensi nomer 5. Tolong Papa kirim bunga itu, ya!" suruhnya. Aku pun menyatukan kedua alis. Kenapa harus aku yang kirim? Bukankah papa memiliki banyak anak buah?
"Pah, kenapa aku? Males ah!"
"Ana, tolong Papa, ya!" perintahnya lagi.
"Baiklah, aku akan antar. Pengirim dari siapa?"
"Tak usah kasih nama pengirimnya," sahutnya. Kemudian telepon pun terputus.
Aku pun membeli bunga mawar berduri seperti perintah papa. Kemudian mengirimkan bunga itu ke alamat yang papa berikan.
Setelah sampai, di sebuah rumah minimalis, kelihatannya rumah orang berada. Di depan garasi juga ada sebuah mobil lumayan mahal terparkir. Entahlah, bunga ini papa kirim untuk siapa. Aku hanya mengikuti perintahnya.
Aku tekan bel rumah yang ada di depan. Kemudian keluarlah si pemilik rumah. Seorang wanita cantik yang berpakaian modis, wajah manis yang terpancar dari balik pintu itu tersenyum tipis kepadaku. Sepertinya aku kenal wanita itu?
Bersambung
Bab 39POV AnaKetika kami sedang berbincang-bincang, dan menyantap hidangan yang telah tersaji di hadapanku. Tiba-tiba Lita menghubungiku, ada apa ya kira-kira? Aku angkat teleponnya, sepertinya mereka sedang bertengkar. Buktinya Mas Zaki tak mau disebutkan sedang bersama dengannya."Halo, Lita, ada apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Pasti ini hal penting, bukan hal main-main."Ana, aku sulit menghubungi Mas Zaki. Ya Tuhan, anakku meninggal dunia barusan dokter mengabarkan, ia melemah tadi, lalu tidak kuat," tuturnya membuatku terkejut. Astaga, rupanya bayi prematur yang dilahirkan Lita sudah tak bernapas. Bibirku pun kaku, sulit untuk berkata apapun.Setelah Lita bercerita, aku pun sontak mematikan teleponnya. Mataku sedikit berair, merasa bersalah atas kejadian yang menimpanya ini."Ana, ada apa?" Mas Zaki terus menerus menanyakan apa yang Lita katakan."Mas, bayi itu meninggal," ujarku padanya.Aku menghela napas, begitu pun de
Bab 38POV Zaki"Maaf, Anda siapa ya? Ada keperluan apa ke sini?" tanyaku penasaran. Sebab, wajahnya tak pernah kulihat sebelumnya."Mas, ini laki-laki yang sudah beristri itu," jawab Yuni tertunduk. Dadaku bergetar hebat, tanganku tiba-tiba mengepal. Namun, saat melihat wajah Yuni, tak tega rasanya melakukan kekerasan di hadapannya."Jadi, kamu yang mempermainkan adikku?" selidikku."Ya, aku orang yang dirayu adikmu," sahutnya membuat darah ini semakin mendidih. Namun, lagi-lagi wajah Yuni yang memelas di hadapanku membuat tangan ini hanya mengepal tak kuat melampiaskan."Mau apa lagi kamu ke sini?""Aku ingin Yuni segera menggugurkan kandungannya, sebelum istriku dan keluarga besar mengetahuinya," terangnya.Plak ....Tak tahan lagi aku menahan emosi yang sudah meledak, tangan ini melayang ke pipi laki-laki songong itu. Bibirnya pun berdarah kala aku memukulnya dengan sekuat tenaga."Mas, tolon
Bab 37POV ZakiPonselku berdering kembali, kini kurogoh dengan cepat agar tidak keburu mati lagi. Kulihat ke arah layar ponsel, ternyata Ana yang menghubungi."Halo, Ana, ada apa?" tanyaku masih dalam keadaan gemetar. Sebab, belum berhasil lihat wajah di balik kain putih itu."Mas, Yuni bersamaku, ia sudah kuantar pulang," celetuknya membuatku bernapas lega. Berati wanita yang berada di balik kain putih itu bukanlah Yuni. Ia sudah dibawa pulang oleh Ana."Ana, kamu membawanya pulang ke rumahku, kan? Aku mohon, tolong jangan tinggalkan Yuni sendirian, please!" pintaku. Dengan amat sangat, aku mengharapkan Ana menemani Yuni di rumah."Maaf, Mas. Aku tidak bisa, sebentar lagi ada meeting dengan klien, tapi aku sudah suruh bodyguard Papa untuk berjaga di depan rumahmu sampai kamu dan Mama tiba di rumah," tolaknya. Aku tidak bisa berharap lebih padanya. Ana sudah mau menolong Yuni saja aku seharusnya berterima kasih."Maaf ya, Ana. Aku me
Bab 36POV ZakiBerita tentang Yuni kini tersebar di mana-mana. Akun sosial medianya pun ia tutup karena sudah meresahkan keluarga. Mama tak bisa bicara apa-apa, karena sejak berita itu muncul, Yuni pergi meninggalkan rumah."Mah, sebenarnya aku sudah tahu mengenai berita Yuni ini," ungkapku akhirnya membuka rahasia ini."Maksud kamu bagaimana?" tanya mama masih belum paham. Rupanya ia masih berharap bahwa berita ini adalah tidak benar."Mah, berita ini benar, dan saat ini Yuni sedang bersembunyi," sahutku lagi.Mama terdiam, matanya sudah berkaca-kaca saat mendengar penuturanku tentang Yuni. Lita yang baru pulih dari sakitnya pun menghela napas."Lalu bagaimana keadaannya?" tanya mama penasaran."Yuni hamil, Mah. Suami yang disebut-sebut menghamilinya itu memang pengusaha, tapi seenaknya ia meninggalkan Yuni, ini dikarenakan ia tak punya bukti apapun," sambungku membuat lutut mama tiba-tiba lemas. Ia mencari kursi untuk bersan
Bab 35Aku berusaha tenang, terus berjalan ke arah Lita. Hati ini berusaha melawan rasa sakit hati atas pengkhianatannya padaku."Ana, maafkan atas segala kesalahanku," ucapnya membuatku dan Sinta saling beradu pandangan. Seorang Lita yang tak pernah mengucapkan kata-kata maaf, kini kata-kata itu terdengar merdu di telingaku?"Aku tidak salah dengar? Lita, ini kamu?" Aku benar-benar tidak menyangka bahwa ia telah dibukakan pintu hatinya."Tidak, Ana. Aku sungguh menyesal telah mengkhianatimu, dengan merebut Mas Zaki dari sisimu," ujarnya dengan mata berkaca-kaca.Rasa bahagia pun sontak mengiringi pertemuanku dengan Lita. Tubuhnya yang masih terbaring di ranjang rumah sakit, membuatku yang harus mendekatinya lebih dekat lagi.Aku memeluknya erat, dan menangis sesegukan. Menyesal pasti ada, telah balas membalas rasa sakit hati yang telah ia torehkan. Begitu pula dengan Mas Zaki, aku yang memiliki dendam berapi-api kepadanya, kini menyesali ke
Bab 34"Angga, ternyata elo pengkhianat, kenapa lakukan ini pada gue?" teriak Mas Zaki tak menghiraukan tempat. Seharusnya ia bisa jaga emosi di rumah sakit."Jangan ribut di rumah sakit!" sentak Pak Farid saat melihat pertikaian Mas Zaki dengan laki-laki yang ternyata bernama Angga itu. Mereka pun menghentikan perkelahiannya.Aku menyaksikan kedua orang yang ternyata berteman. Lita memilih Angga agar ia bisa memiliki anak dan mengaku anak itu adalah benih cinta Mas Zaki. Kutepis pikiran buruk tentang Lita untuk sementara, karena ia sedang berjuang antara hidup dan mati.Seorang suster pun keluar dari ruangan observasi. Ia memberikan kabar terbaru kondisi Lita."Pak, Bu, alhamdulilah pasien Lita sudah melewati masa kritisnya, silahkan untuk keluarga, segera urus ruang rawat inapnya," ungkap suster seketika membuat kami yang berada di depan ruang observasi menghela napas panjang.Syukurlah kalau begitu, aku sudah tenang atas kabar yang telah