“Aku tanya! Apa kamu suka sama dia? Kamu cinta kan sama wanita itu!” Alina terus berteriak-teriak sambil menarik-narikku.Aku menepis tangan Alina yang berusaha menarikku untuk terakhir kalinya. “Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku akan bicara denganmu setelah kamu menenangkan diri.”Kulihat wajah Alina menjadi merah karena marah. Ia tampak sangat tidak terima dihentikan dengan cara seperti ini. Baru saja aku bermaksud melangkah meninggalkan aula depan, Alina berteriak layaknya orang gila dan menerjang ke arah Ayu.Muni melindungi Ayu dengan tubuhnya. Tetapi, dengan luapan kemarahan Alina, tubuh Muni hanya terhempas jauh saja. Kemudian tangan-tangan Alina mulai menjambak Ayu.Tidak. Jika aku tidak bertindak Ayu akan terluka. Dan aku mungkin saja akan kehilangan anakku.Segera aku berlari ke arah Alina. Dengan kekuatanku Ayu bisa terselamatkan dan bersembunyi segera di belakangku. Keadaanna kacau. Selain beberapa luka gores di leher dan pipi, pakaian Ayu sedikit robek.“Kadang aku piki
Aku sama sekali tidak tenang. Setelah mandi dan kemudian turun ke bawah kembali, aku pergi ke kamar yang diberikan Oma. Perabotannya masih perabotan lama saja. Sepertinya aku harus mengisinya juga dengan perabotan bayi jika mau tempat itu jadi sedikit lebih padat.“Apa sebaiknya aku bertanya pada Ayu?” Aku bergumam saat melangkah ke ruang kerja setelah meninggalkan kamar hadiah itu.Dan langkah kakiku langsung berbelok. Seolah disetir oleh sesuatu yang tidak tampak dan kemudian berakhir di depan kamar Ayu. Hah? Aku sendiri terkejut dengan diriku yang berakhir di sana. Ya, Tuhan. Ada masalah dengan otakku.Aku tahu kalau Ayu pasti sudah tidur saat ini. Kamarnya tidak dikunci kalau aku tidak ada di dalam. Hanya saat aku masuk dan melakukan aktivitas suami istri saja kamar ini mendadak menjadi terlarang bahkan untuk didekati.“Aku tidak akan menganggunya tidur. Akan kulihat sebentar saja dan kembali ke ruang kerja!” Begitu aku menegaskan kepada diriku sendiri apa yang harus kulakukan.Ku
“Kenapa wajahmu begitu? Astaga … akhirnya tiba juga saat di mana aku bisa melihat wajah seorang Gatra yang lempeng mendadak penuh kerutan.” Erlan berseru tampak sangat bersyukur.“Kalau cuma mau membuatku bertambah pusing saja, toong pergilah! Aku sedang tidak mau berbicara denganmu saat ini.”Erlan tertawa terbahak-bahak dan kemudian menepuk pundakku. Namun, aku sama sekali tidak merasa terhibur dengan tawanya. Malahan aku semakin kesal saja dengan sikapnya itu.“Masalah yang kemarin ya?” Erlan kemudian mengedikan bahu seolah sama sekali tidak peduli.“Bukan!” Aku menjawab.“Bukan? Lalu apa?” Gatra memandangku dengan cara mendongak cukup tinggi dari tempatnya duduk. Cukup lama ia melakukannya, tetapi karena aku tak kunjung menjawab kembali diturunkan pandangannya.“Aku merasa aneh, Erlan!” Aku akhirnya menemukan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada Erlan. Memang itu yang aku rasanya sejak bersama dengan Ayu. “Aku memaklumi semua tindakan yang dilakukan Ayu, entah itu sesuatu yan
Aku pernah pergi ke kelurahan saat menemani Paman mengurus kartu keluarga dulu. Yang disebut kantor adalah sebuah bangunan satu lantai yang berisi banyak meja dan kursi tunggu di bagian depan dan beberapa ruangan yang berisi karyawan kelurahan.Akan tetapi, bukan berarti aku tidak tahu jenis kantor yang semacam ini, sebuah gedung tinggi yang tak ketahui jumlah lantainya, menjulang hingga membuat bayang-bayang rasaksa ketika ditimpa matahari dari sisi barat atau timur.“Nyonya!” Muni menegurku.Aku menunduk, tetapi tak bisa mengusir ekspresi kagum dari wajahku sedikit pun. Erlan tergopoh-gopoh keluar dari pintu yang otomatis terbuka dan tertutup saat orang-orang mendekat.“Dia menyuruhku sini tanpa memberitahuku siapa yang datang, ternyata si cantik. Apa kabar?” Erlan mengulurkan tangan, mengajakku bersalaman.Bukannya aku menyukai Erlan, ia sama saja dengan semua orang di rumah Gatra. Semuanya mengharapkan sesuatu dariku. Akan tetapi, dibandingkan yang lainnya, Erlan menatapku layakny
Wanita itu menggodanya dengan cara seorang penjahat wanita yang sering kulihat di televisi akhir-akhir ini. Bukan aku yang menonton, tetapi Muni. Ia heboh sekali setiap si penjahat wanita itu muncul dan mewanti-wanti.Pokoknya nyonya jangan biarkan yang begitu muncul di antara Nyonya dan Tuan! Begitu katanya padaku dengan intonasi tinggi dan kemarahan yang menyala-nyala.Yang tidak aku pahami adalah kenapa aku harus mewaspadai orang seperti itu. Aku jelas telah menjadi musuh untuk Alina. Setidaknya Alina telah menganggapku sebagai musuhnya saat ini. Aku tidak menyukai Gatra. Aku menyangkalnya setengah mati walau pun merasa kalau sikap penyangkalanku sangat memalukan.Perasaan tidak enak saat kulihat wanita yang dipanggil itu datang menyodorkan dadanya secara terang-terangan padahal ada aku di sana benar-benar mengesalkan. Aku ingin melakukan sesuatu untuk memberitahunya keberadaanku.Namun, pertanyaannya adalah apakah boleh aku merasa seperti itu. Aku memalingkan wajah dan wanita itu
Telepon di tengah malam itu mengagetkanku. Alina mencoba bunuh diri, katanya. Kantukku langsung lenyap dan aku bergegas meninggalkan rumah hanya menggunakan pakaian tidur yang kugunakan.Namun, rumah Alina sepi-sepi saja. Sama sekali tidak terjadi euforia kepanikan. Bukankah itu aneh mengingat Alina adalah anak semata wayang mereka? Aku turun dengan sandal tipis dan pakaian tidur yang langsung membuatku mengigil karena udara malam.Bel bergema di dalam rumah. Tak lama pembantu rumah tangga yang tampak mengantuk membuka pintu. Ia tak mengatakan apa-apa padaku. Kesadaranku kalau ini adalah sebuah tipuan langsung muncul.“Mana Alina?”“Nyonya muda ada di atas, di kamarnya, Tuan!”Aku memaki di dalam hati. Dengan langkah cepat-cepat aku menaiki tangga menuju kamar Alina semasa gadis. Di depan pintu kamarnya ada mami Alina yang tampak setengah mengantuk, melemparkan senyum yang memintaku untuk maklum.Setelah membuatku hanya berkendara dengan separuh jiwa sama sekali tidak ada permintaan m
“AYU! AYU!”Suara itu mengema di rumahku. Aku yang meringkuk di atas tempat tidur dengan seprai usang yang pada tepinya sedikit robek sejak tadi langsung meloncat sambil berdiri. Di wajahku segera muncul senyuman paling lebar. Aku bisa merasakan kalau pipiku sakit saat ini.“Ayah!” seruku sambil turun dari tempat tidur.Aku tersungkur karena kakiku tersangkut seprai yang sobek. Tapi secepat kilat pula aku bangun. Ayahku yang tampan berada di depan pintu masuk, sedikit kotor, dan tampak agak oleng.“Ada apa, Yah?” tanyaku ingin tahu.Salah satu tangan pria itu disembunyikan di belakang tubuhnya. Ia tersenyum-senyum dan kemudian menjatuhkan diri di kursi rotan reyot di ruang tamu.“Kemarilah! Lihat apa yang aku bawa untukmu!” katanya menyeringai.Ayah berbau asam. Matanya selalu merah kapan pun aku bertemu dengannya. Sesekali kalau ia sedikit saja tampak lebih baik, ia akan bersikap buruk pada ibuku.Setiap kali itu terjadi, aku akan bertanya kenapa. Dan Ayah akan menjawab sambil menaik
“Saat kami sampai di rumah hanya Mayat ayahnya Ayu saja yang ada di ruang tamu. Tapi ibunya sudah pergi! Parang yang digunakannya untuk menusuk ada di dapur, masih bersimbah darah!”Perkataan itu disampaikan secara bisik-bisik antara para bapak-bapak yang berkumpul. Maksudnya mungkin supaya aku tidak dengar. Tetapi sayang sekali, pendengaranku lebih tajam. Aku menarik kakiku sedikit lagi supaya bisa menyembunyikan kepalaku di sana. Aku bagaikana seekor kucing yang ketakutan saat ini.“Terus bagaimana?”“Aku sudah panggil kepala desa! Beliau sudah datang dengan polisi ke sana!” Mereka semua berhenti sebentar bicara dan menoleh padaku secara serempak. “Polisi sudah membawa mayatnya. Ayu jelas ndak mungkin kita suruh pulang ke sana!”Kalau pulang ke rumah dan seluruh polisi itu meninggalkan Ayu sendiri, bisa jadi ibunya kembali. Aku tak mau menyusul ayahnya seperti yang dikatakan Ibu. “Ayu boleh tidur di sini hari ini kan, Kak?” Aku menguncang tangan kakak perempuan temannya Wis, gadis i