Share

Part 4.Awal Corona.

Aku Bukan Menantu Impian

Part 4.Awal Corona.

Suamiku mendapat pekerjaan merupakan kabar yang menggembirakan bagiku. Setidaknya ada sedikit harapan untuk membayar utang bank tiap bulannya, juga untuk ongkos sekolah kedua anakku, dan untuk kami makan sehari hari.

Beberapa bulan kemudian memang mas Ridwan kerja di kandang ayam seperti yang telah di katakan padaku. Sementara aku masih tetap menekuni usahaku buka salon potong rambut.

Usaha kecil kecilan.Kadang ada langganan datang satu atau dua orang.Tapi kadang tak satupun yang datang. Bahkan sampai berhari-hari.

Tak apalah.Namanya juga baru buka usaha, apalagi di tempat yang baru juga.

Cobaan belum selesai.

Wabah Corona datang menimpa seluruh penjuru dunia. Usaha kandang ayam di mana suami ku bekerja tutup. Katanya untuk sementara waktu saja. Karena ayam hasil panen tak bisa terjual ke luar daerah, akibat PPKM. Akhirnya merugi. Hasil panen di jual dengan harga yang sangat murah untuk menutupi biaya operasional. Itupun tidak tertutup semua.

Suamiku kembali menganggur. Sementara akibat dampak Corona, warga desa menerima dana BLT. Bantuan Langsung Tunai dari pemerintah.Setiap KK yang terdampak mendapat uang 600 ribu tiap bulan.Begitu juga Ibu Mertua.

Tapi tidak dengan ku. Aku belum menjadi warga desa di mana aku bertempat tinggal saat ini, karena belum selesai pengajuan pindah KK.

Bertepatan dengan bulan Ramadan, keluargaku benar benar berpuasa. Jangankan untuk membeli makanan berbuka puasa, untuk membeli sekilo beraspun kadang tak ada.

Jangan di tanya rasanya, saat ekonomi keluarga ku benar benar ada di titik nol. Sementara keluarga lain mendapatkan bantuan dari pemerintah, aku tidak mendapatkan apapun dan dari manapun. Kesulitan yang luarbiasa, yang harus keluarga kecilku alami.

Penduduk warga desa yang lain, dengan penuh semangat dan berseri seri mendatangi Balai Desa untuk mengambil uang bantuann. Kapan lagi mendapat uang sebanyak itu. Tunai dan gratis lagi. Setelahnya, mereka berbondong bondong pergi ke pasar membeli sembako dan keperluan yang lain. Begitu juga Ibu Mertua.

Tapi, Ibu tidak membawa apapun ketika pulang. Ku lihat sekilas ada yang berkilau di jemarinya.Yang berarti Ibu hanya membeli cincin dengan uang bantuan itu, karena memang Ibu tidak kekurangan kalau hanya soal sembako. Sangat kontras dengan kehidupan keluargaku.

Ya Allah, seandainya aku dapat uang sebesar itu, pasti aku akan membeli beras, minyak goreng, bawang merah, bawang putih dan keperluan makan untuk anak-anak ku. Sederhana.Tapi begitu mustahil untuk terwujud.

Aku masih terus berhayal.Tak terasa air mataku mengalir.

'Ya Allah, berilah aku kekuatan dan kesabaran menghadapi cobaan ini, doaku.

Beberapa hari kemudian, kulihat Ibu mertua membereskan dapur. Membawa meja kecil dan membawa kompor satu tungku. Juga sebuah tabung gas ukuran tiga kilo.

"Saya mau masak sendiri," ujarnya.

"Namanya juga satu orang ngelawan kalian berempat ya saya yang kalah."

Rasa tak enak kurasakan.

Bagaimana kalau tetangga melihat ini. Orang tua yang sudah cukup renta, masak aja harus sendiri, batinku. Apa yang dipikirkan orang tentang aku, menantu seperti apa aku.

Tapi sebodo amatlah. Itu maunya kok. Bukan mauku.

Tapi bilang apa dia tadi.Orang satu lawan empat ya kalah. Kalah apanya? Kalah banyak makannya? Ya Allah Bu bu. Ibu juga ngga pernah beli apa apa semenjak Mas Ridwan bekerja.Bayar listrik dan sebagainya ibu tidak pernah mau tau. Mungkin Ibu takut uangnya termakan aku atau anak anakku.

Lagi pula mereka cucumumu Nek, pikirku. Apa Kau merasa rugi?

"Ya ga papa Bu. Yang penting Ibu seneng," jawabku.

Beberapa hari kemudian, Dewi keponakan Mas Ridwan menghampiriku.

"Di beliin apa Mba sama Bu De?" tanyanya.

"Beli apa sih Wi?" aku balik bertanya.

"Kan Bude abis terima uang sewa sawah. Masa ngga di beliin apa apa?"

"Oooo. Mungkin abis buat beli kompor dan gas. Sekarang masak sendiri Wik."

"Yahhhh. Masa duit lima juta ngga ngasi cucunya. Ini bulan puasa lagi. Emang dia super pelit Mba orangnya."

" Biarlah Wik. Aku dah mulai terbiasa ngadepinnya,"jawabku.

Itulah mungkin yang di katakan para tetangga ketika aku baru tinggal di sini. Pelitnya sudah pasti. Bahkan jajanpun di umpetin di balik bajunya. Kalau makan di dalam kamar.Tapi aku tak pernah ambil pusing. Aku tak pernah memikirkan nya. Bahkan anaku pun sepertinya sudah sangat biasa dengan kelakuan Neneknya.

Walau aku berfikir, tidak seharusnya Ibu berbuat seperti itu. Boleh benci bahkan pelit padaku. Tapi tidak dengan anak anakku. Mereka cucunya. Masih darah dagingnya. Aku takut mereka akan membenci neneknya, hingga kelak nanti dewasa.

Tapi, kembali aku ingat Ipah anak bontotnya, yang pergi meninggalkannya. Minggat kekampung suaminya karena selalu bermusuhan dengan Ibunya. Ipah anak kandungnya. Lahir dari rahimnya.

Apalagi cuma aku dan anakku, yang mungkin tak pernah ada artinya atau tak pernah di anggap siapa siapa baginya.

****

Pagi ini Ku lihat Ibu sibuk mematut baju. Sepertinya Ibu habis belanja baju baru. Ada beberapa potong. Ada juga sepasang sandal yang di kenakan sambil berjalan jalan di depan kaca lemarinya.

Sedikit banyak, aku cukup mengenal siapa mertuaku. Duniawinya masih menguasai diri.. Emosinya masih tak bisa di jaga. Sedangkan usianya telah senja. Tak ku temukan sedikit pun sifat seseorang yang punya fikiran bijaksana layaknya orang tua.

Memang. Dulu Ibu termasuk orang yang cukup berada. Orang tuanya punya banyak tanah di mana mana. Walaupun kebanyakan tanah itu di jual untuk modal nikah. Memang ayahnya Mertuaku dulu punya istri banyak. Sampai akhirnya beliau meninggal, tapi masih mewariskan rumah ini dan dua petak sawah yang kini di sewakan oleh Ibu.

Bersambung,,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status