Share

part 3. Perdamaian yang hanya berjalan tiga bulan.

Aku Bukan Menantu Impian

part 3. Perdamaian yang hanya berjalan tiga bulan.

"Fara, kamu bawa uang tiga ribu aja ya," ucapku pagi itu ketika mereka akan berangkat sekolah." Ini tinggal dua ribu untuk adik mu."

Fara tidak menjawab, hanya saja mukanya masam dan ditekuk.

"Iya dah, Fara pergi, Assalamualaikum," pamitnya.

"Waalaikumsalam," jawabku.

Fara berangkat sekolah di antar Mas Ridwan, dengan motor butut, harta peninggalan kami yang tersisa.

Sementara si bontot sekolah dengan jalan kaki setelah aku beri uang jajan dua ribu rupiah, sekolahnya dekat.

Aku pandangi kepergiannya. Lima ribu rupiah memberi kehidupan dan cerita tersendiri dalam hidup baru kami.

Aku masih ingat sisa uang 15 ribu yang di pegang Ibu. Mungkin ibu sudah tak mengingatnya lagi.

****

Beberapa hari, aku berpikir keras. Aku tidak tega melihat anak anakku. Untuk mendapatkan uang jajan ke sekolah pun sangat sulit. Hingga aku berpikir untuk membuka kembali usaha salonku yang kebetulan alat alatnya masih lengkap. Aku ingin membantu suamiku, meringankan beban ekonomi keluarga kecil kami.

Aku membuka salon kecil-kecilan di ruang tamu. Entahlah, Mas Ridwan dapat ijin atau tidak dari ibunya. Yang pasti kaca sudah terpasang di sana dan juga sudah ada beberapa orang tamu, langganan baru.

Sudah ada sedikit rejeki yang kudapat. Ibu mertua mulai melirik dengan tatapan yang menurutku mengerikan. Aku tahu, tatapan itu mengandubg sebuah makna.

Sebisa mungkin aku memenuhi kebutuhan dapur, tanpa Ibu minta. Karena bila Ibu berucap, kalimat yang keluar dari mulutnya sangat tajam dan menyayat hatiku. Mulutnya sunggu berbisa, maka itu aku selalu melakukan yang terbaik. Agar dia tidak dapat berkata-kata lagi.

*******

Hari pun berganti,,

Pagi ini ketika Ibu akan pergi kepasar untuk membeli keperluan warungnya, aku menitip minyak goreng ukuran dua liter, sambil memberikan uang 100 ribu. Karena di warung Ibu tidak ada yang ukuran besar.

Tapi setelah Ibu pulang dari pasar, Ibu hanya memberikan minyak goreng yang ku pesan. Lagi-lagi ibu lupa dengan kembaliannya.

Kenapa aku lupa pengalamanku hari kemarin, ketika Ibu tidak memberikan uang kembalian,dan sekarang aku mengulanginya?

Padahal lagi-lagi uang itu untuk ongkos sekolah anak-anakku dan juga keperluan yang lain.

Ternyata Mertuaku adalah seorang yang matre, fikirku.

Dari bibirnya hanya ucapan dan sumpah serapah. Harusnya memberi semangat kepada anaknya yang sedang mengalami kesusahan ekonomi, tapi hanya caci maki yang ku dengar hampir setiap hari.

Aku menangis setiap mendengar kata kata pedas Ibu.

Genap tiga bulan aku tinggal di rumah mertua, entah sudah berapa ratus kali aku menangis. Sementara ketika aku merantau dan mengontrak dengan suami yang sudah hampir 15 tahun,sekalipun Mas Ridwan tak pernah membuat aku menangis.

Tiga bulan kehidupan yang hampir membuat aku stres. Waktu yang terbilang singkat namun sangat membekas.

"Jangan di dengerin kalo Ibu ngomong," begitu pesan suamiku.

"Kalo kedengaran gimana Mas, masa nggak didengerin?"

"Tinggalin aja. Pergi kemana kek."

Begitulah suamiku selalu berpesan. Akhirnya aku selalu ingat kata kata itu..Daripada aku stres mendengar cerocosan yang menyakiti hatiku, maka ku tinggalkan saja setiap Ibu ingin berbicara.

'Biarlah ngomong sama tembok, tembok kan nggak bisa sakit hati, ujarku dalam hati.

Kalau tak perlu sekali, aku hampir tak mau bicara. Aku menghindarinya. Sedang kalau Ibu yang mau bicara, langsung aku tinggal pergi. Biarkan saja. Yang penting aku tak berbuat dosa. Aku juga tak perlu sakit hati.

Tapi itulah mertuaku, surganya suamiku. Semakin ku jauhi, sepertinya makin keki. Dia semakin mencari cari kesalahanku, walau pun aku juga berusaha untuk tidak membuat kesalahan.

Aku sudah cukup rajin mengerjakan pekerjaan rumah. Sudah seperti seorang pembantu. Nyapu,nyuci, ngepel tiap hari.Tak lupa membersihkan kamar mandi. Sangat menguras tenaga karena rumah ini cukup besar. Kalau ukuran standar rumah, bisa bikin tiga atau empat rumah.

Tapi Ibu masih juga ngedumel. Jorok. Males. Jijik. Miskin. Nyusahin.

Kata kata itu yang hampir ku dengar tiap hari.

Tak ada kata kata bijaksana yang enak untuk di dengar.

Usianya sudah senja.Tubuhnya ringkih. Berdiri pun tak tegap lagi. Tapi nyatanya tidak juga mampu memberi kedamaian layaknya orang tua pada umumnya.

"Jijik!" teriaknya pagi itu ketika keluar dari kamar mandi. Padahal aku juga baru membersihkan lantainya.

Ada apa lagi ini?

Aku benar benar di tampar emosi. Kupingku panas. Aku mendekat.

"Kenapa Bu!?" tanyaku agak keras.

"Jijik!" jawabnya lebih angkuh.

"Apanya yang jijik. Bukannya aku sudah membersihkan lantainya. Pasti Ibu juga dengar aku gosrak gosrek tadi membersihkan kamar mandi."

"Itu tembok kamar mandi masih hitam, harusnya di sikat biar bersih. Nanti kalo ada tamu biar ngga malu!"

Dadaku naik turun menahan emosi. Apa sebenarnya keinginan ibu mertuaku ini? Apa tidak bisa jika sedikit saja membuatku tenang, tanpa makiannya.

"Kenapa ibu ga bersihkan sendiri. Itu ada sikat WC.Tinggal ibu sikat sendiri sudah bersih. Ga jijik lagi." aku membantah.

"Lha saya ini sudah tua. Ada yang masih muda masih kuat membersihkan. Kok malah nyuruh orangtua!" jumawanya keluar. Wajah tuanya memerah.

"Kalo Ibu merasa sudah tua, Ibu harus lebih nerima Bu,banyakin ikhlas. Ngga baik banyak menuntut,"ucapku sedikit menasehatinya. Saya tahu, saat ini dia pasti sangat kesal karena aku terus membalas ucapannya.

"Oh ya Bu, maaf saya bukan pembantu Ibu. Lagi pula selama saya ada di sini, saya belum pernah melihat ada tamu."

Memang aku belum pernah melihat saudara atau tamu jauh yang datang. Kecuali Dewi dan tetangga kanan kiri.

Wanita tua itu pergi meninggalkanku, sambil membanting pintu.

Dubrakkkkk!!!

Dia nampak sangat kesal.

'Dah biasa begitu, biarin aja. Mau di banting atau di bakar sekalipun toh ini rumahnya. Bodo amat. Suka suka dia. Emang gue pikirin.'

Bersamaan dengan itu,Mas Ridwan muncul.

"Ada apa ini?" tanyanya kecut. Mungkin ia tau kalo aku dan Ibu habis adu argumen.

"Ini Mas. Ibu kamu marah-marah. Katanya jijik. Kamar mandinya jorok. Padahal kan abis aku bersihkan. Katanya temboknya item minta di sikat.Tapi ngomongnya sambil marah. Emang aku pembantunya? Enak aja." Aku menggerutu.

"Sudah, yang sabar Dek," begitulah suamiku.

Hanya menenangkan, dan terdiam dengan berbagai fikirannya sendiri. Emosiku sedikit luruh demi melihat Mas Ridwan yang bertubuh kian kurus.

Sesaat kemudian,

"Oh ya Dek, Mas sudah dapat kerja," ucap nya penuh semangat.

"Kerja dimana Mas!?" tanya ku antusias. Ada rona merah di wajahku. Begitu juga Mas Ridwan.

"Di kandang ayam Pak Baron. Deket sungai kecil itu Dek. Gajinya lumayan."

"Oh ya?"

Sesaat kami sibuk membahas pekerjaan Mas Ridwan. Penuh semangat dan juga harapan. Aku juga sedikit melupakan perlakuan Ibu padaku barusan.

Bersambung,,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status