Share

vi. Disekap

Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.

Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.

“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku.

Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari wajahku, selain tak bergemingnya aku sembari terus mengatupkan bibir, menahan amarah di seluruh tubuh. Ini tidak cuma pelecehan, tetapi juga penculikan. Aku sudah dijual, dan disekap di tempat yang aku tidak tahu sama sekali di mana. Apakah ini masih di Jakarta, atau malah ini adalah kota besar lainnya yang jauh dari apartemenku, karena, setelah Gerry membiusku saat itu, aku hanya sudah terbangun dalam keasingan ini dengan diriku yang kutemukan siuman di hadapan para orang-orang kriminal.

“Mau kusuapi?”

“Bisakah kau memberi tahuku semuanya?”

Gerry masih harus menjelaskan kepadaku, sekaligus rahasia tentang Daniel yang tidak kuketahui padaku. Berapa banyak dia berhutang, kepada siapa dia berhutang. Aku ingin semua menjadi jelas agar aku bisa membuat perkiraan tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya di dalam hidupku.

Napasku agak tersendat di tenggorokan ketika Gerry kemudian memiringkan kepalanya dan mengembuskan napas di antara malam yang kupastikan tidak akan pernah bisa kulupakan seumur hidupku, di mana aku sudah menjajakan mulutku untuk seorang lelaki tua yang usianya kurang lebih seperti usia almarhum Papa, kendati sebenarnya aku cukup lega karena aku tidak diminta untuk melakukan hal kotor lebih daripada itu, atau pun jika diminta, aku akan benar-benar memecahkan vas bunga di kepalanya dan melihatnya mati berlumur darah.

Gerry menyeringai, “Pacarmu, ketagihan berjudi. Dia memenangkan beberapa ronde, dan kemudian menjadi orang sinting. Dia meminjam uang seratus juta kepada teman kami untuk kembali bertaruh, tetapi, kalah. Nasibnya menjadi tragis karena pikiran pendeknya yang tolol. Sangat kasihan, bukan?” Sejemang tawanya mengundang bibirku untuk membuat sedikit celah kala lantas kulihat dia menggelengkan kepalanya sembari berdecak menghina. “Daniel, adalah orang paling gegabah yang pernah kukenal. Dia bahkan menjualmu dengan harga yang begitu murah, hanya untuk menyicil sedikit dari keseluruhan hutangnya.”

Dadaku mulai bergerak turun naik. Aku mencoba menahan diri dengan penjelasannya barusanㅡtidak, dengan fakta yang mendadak merobek sangat lebar jantung hatiku bak pecahan beling yang disayatkan dengan paksa.

“Sepuluh juta pertama untuk servis pembuka. Apakah kauingat perkataanku waktu itu? Dua minggu. Itu... adalah kesepakatannya. Kau harus bekerja di sini selama itu, melayani setiap tamu yang datang untukmu, namun, belum diizinkan untuk seks. Itu, harga yang berbeda.”

“Dua... minggu?”

“Kauingin lebih lama dari itu, Manis?”

Aku ingin menangis lagi, kali ini dengan sangat kencang, akan tetapi, rasanya mendadak seperti air mataku sudah kering, dan yang tersisa hanya mataku yang kembali panas. Serta perasaanku yang hancur. Bagaimana bisa lelaki yang kucintai tega melakukan itu padaku?

***

Gerry sebenarnya sangat senang setiap kali menemukan Jasmine harus menaruh ekspresi ketakutannya di dalam sorot rapuh ketika lelaki itu menggodanya ㅡseperti tiada hal lain yang lebih menarik daripada membuat Jasmine melangkahkan mundur kakinya begitu Gerry maju mendekat untuk mengatakan berbagai kalimat nakal, dan tindakan kurang ajar.

Instingnya sebagai kaum Adam jelas normal. Gerry bukanlah orang baik. Sikapnya nyaris selalu tertata dengan buruk sebab narkoba dan alkohol yang kerap menjadi hidangannya. Pikirannya kotor, bahkan setelah dia memercayai bahwa ucapan Daniel waktu itu benar : Jasmine, masih perawan. Mereka berdua sama sekali belum pernah berbagi suara desahan, mencicipi kenikmatan yang dalam.

Kicauan burung menyanjung ㅡJasmine membuka matanya untuk malam sialan yang telah berlalu, masih berharap kalau dua minggu yang dia dengar adalah omong kosong tak masuk akal. Itu tidak nyata. Itu tidak benar. Namun, sebuah simponi lawas pun seketika menyambut rungunya, dan sebilah senyum dari Gerry yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.

“Selamat pagi, Manis.”

“Apa yang kaulakukan di sini?!” Nadanya meninggi dengan cepat. Begitu terkejut.

Jasmine langsung bangun, tetapi Gerry menangkap lengannya. Lelaki berengsek itu memang sudah berada di sana semenjak sekitar sembilan belas menit yang lalu, meski sesungguhnya itu tidak dia rencanakan. Dia hanya ingin mengantarkan sarapan kepada Jasmine mengingat makanan yang dia bawa tadi malam hanya diabaikan begitu saja dan dibuang ke bak sampah, namun ternyata perempuan itu masih sedang berbaring dengan pakaian semalam, dan tanpa selimut yang menutupi kaki, paha, serta merta dadanya.

“Kenapa kau selalu marah kepadaku?” Gerry memalingkan bola matanya sebelum kemudian dia cuma melempar kesal napasnya dan melepaskan cengkeramannya. Berjalan ke meja dan mengambil nampan panjang. “Aku tidak hanya bertugas atas kehebatan para pelacurku, namun aku juga bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan mereka. Makan.”

Nasi dengan kuah sop, ayam goreng dan beberapa sayuran yang ditumis menjadi satu. Gerry mencoba mengumpulkan semuanya di dalam sendok yang kini berada di ujung jemarinya, lalu mengangkatnya. Tepat di depan bibir Jasmine yang masih punya sedikit warna merah bekas lipstik yang dia pakai tadi malam. Bahkan, riasannya masih kelihatan bagus, dan rambut yang tidak begitu berantakan walaupun sebenarnya Jasmine merasa kalau dirinya sakit.

“Buka mulutmu.”

“Tidak.”

“Buka, atau aku yang akan memakan.”

“Aku tidakㅡ” Bunyi kecil, namun jelas mendadak muncul untuk menghentikan ucapannya. Jasmine merengutkan wajahnya dan kontan memegangi perutnya. Bohong kalau mengatakan dia tidak lapar setelah sehari semalam memikirkan banyak hal dengan tanpa menelan sebutir nasi pun ke kerongkongannya.

Gerry tertawa, dan itu masih menjadi panorama menyebalkan yang paling dibenci oleh Jasmine.

“Buka mulutmu, Manis.”

“Aku bisa melakukannya sendiri.”

Jasmine berujar dangan sangat cepat dan menjauhkan wajahnya, menghindari tatapan yang Gerry sajikan untuknya. Pada akhirnya, dia merampas sendok tersebut dengan hati-hati, dan menyuapkan makanan itu sendiri ke mulutnya sambil kemudian mengambil nampan yang ada di atas paha Gerry untuk dipindahkan ke pahanya. Pikirannya jelas terguncang, sehingga dia hanya kembali melamun, dan melamun. Mengulangi penjelasan Gerry semalam lagi, dan bersumpah untuk menghapus semua cinta yang dia miliki seutuhnya kepada Daniel. Dia tidak mau cuma karena sikap manis yang dahulu sering lelaki itu berikan, hidupnya menjadi bak sebuah boneka. Tidak untuk semuanya. Jasmine tidak ingin dirinya dikendalikan. Terlebih, masa depannya. []

POMME, 2022.09.03.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status