Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.
Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku.Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari wajahku, selain tak bergemingnya aku sembari terus mengatupkan bibir, menahan amarah di seluruh tubuh. Ini tidak cuma pelecehan, tetapi juga penculikan. Aku sudah dijual, dan disekap di tempat yang aku tidak tahu sama sekali di mana. Apakah ini masih di Jakarta, atau malah ini adalah kota besar lainnya yang jauh dari apartemenku, karena, setelah Gerry membiusku saat itu, aku hanya sudah terbangun dalam keasingan ini dengan diriku yang kutemukan siuman di hadapan para orang-orang kriminal.“Mau kusuapi?”“Bisakah kau memberi tahuku semuanya?”Gerry masih harus menjelaskan kepadaku, sekaligus rahasia tentang Daniel yang tidak kuketahui padaku. Berapa banyak dia berhutang, kepada siapa dia berhutang. Aku ingin semua menjadi jelas agar aku bisa membuat perkiraan tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya di dalam hidupku.Napasku agak tersendat di tenggorokan ketika Gerry kemudian memiringkan kepalanya dan mengembuskan napas di antara malam yang kupastikan tidak akan pernah bisa kulupakan seumur hidupku, di mana aku sudah menjajakan mulutku untuk seorang lelaki tua yang usianya kurang lebih seperti usia almarhum Papa, kendati sebenarnya aku cukup lega karena aku tidak diminta untuk melakukan hal kotor lebih daripada itu, atau pun jika diminta, aku akan benar-benar memecahkan vas bunga di kepalanya dan melihatnya mati berlumur darah.Gerry menyeringai, “Pacarmu, ketagihan berjudi. Dia memenangkan beberapa ronde, dan kemudian menjadi orang sinting. Dia meminjam uang seratus juta kepada teman kami untuk kembali bertaruh, tetapi, kalah. Nasibnya menjadi tragis karena pikiran pendeknya yang tolol. Sangat kasihan, bukan?” Sejemang tawanya mengundang bibirku untuk membuat sedikit celah kala lantas kulihat dia menggelengkan kepalanya sembari berdecak menghina. “Daniel, adalah orang paling gegabah yang pernah kukenal. Dia bahkan menjualmu dengan harga yang begitu murah, hanya untuk menyicil sedikit dari keseluruhan hutangnya.”Dadaku mulai bergerak turun naik. Aku mencoba menahan diri dengan penjelasannya barusanㅡtidak, dengan fakta yang mendadak merobek sangat lebar jantung hatiku bak pecahan beling yang disayatkan dengan paksa.“Sepuluh juta pertama untuk servis pembuka. Apakah kauingat perkataanku waktu itu? Dua minggu. Itu... adalah kesepakatannya. Kau harus bekerja di sini selama itu, melayani setiap tamu yang datang untukmu, namun, belum diizinkan untuk seks. Itu, harga yang berbeda.”“Dua... minggu?”“Kauingin lebih lama dari itu, Manis?”Aku ingin menangis lagi, kali ini dengan sangat kencang, akan tetapi, rasanya mendadak seperti air mataku sudah kering, dan yang tersisa hanya mataku yang kembali panas. Serta perasaanku yang hancur. Bagaimana bisa lelaki yang kucintai tega melakukan itu padaku?***Gerry sebenarnya sangat senang setiap kali menemukan Jasmine harus menaruh ekspresi ketakutannya di dalam sorot rapuh ketika lelaki itu menggodanya ㅡseperti tiada hal lain yang lebih menarik daripada membuat Jasmine melangkahkan mundur kakinya begitu Gerry maju mendekat untuk mengatakan berbagai kalimat nakal, dan tindakan kurang ajar.Instingnya sebagai kaum Adam jelas normal. Gerry bukanlah orang baik. Sikapnya nyaris selalu tertata dengan buruk sebab narkoba dan alkohol yang kerap menjadi hidangannya. Pikirannya kotor, bahkan setelah dia memercayai bahwa ucapan Daniel waktu itu benar : Jasmine, masih perawan. Mereka berdua sama sekali belum pernah berbagi suara desahan, mencicipi kenikmatan yang dalam.Kicauan burung menyanjung ㅡJasmine membuka matanya untuk malam sialan yang telah berlalu, masih berharap kalau dua minggu yang dia dengar adalah omong kosong tak masuk akal. Itu tidak nyata. Itu tidak benar. Namun, sebuah simponi lawas pun seketika menyambut rungunya, dan sebilah senyum dari Gerry yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.“Selamat pagi, Manis.”“Apa yang kaulakukan di sini?!” Nadanya meninggi dengan cepat. Begitu terkejut.Jasmine langsung bangun, tetapi Gerry menangkap lengannya. Lelaki berengsek itu memang sudah berada di sana semenjak sekitar sembilan belas menit yang lalu, meski sesungguhnya itu tidak dia rencanakan. Dia hanya ingin mengantarkan sarapan kepada Jasmine mengingat makanan yang dia bawa tadi malam hanya diabaikan begitu saja dan dibuang ke bak sampah, namun ternyata perempuan itu masih sedang berbaring dengan pakaian semalam, dan tanpa selimut yang menutupi kaki, paha, serta merta dadanya.“Kenapa kau selalu marah kepadaku?” Gerry memalingkan bola matanya sebelum kemudian dia cuma melempar kesal napasnya dan melepaskan cengkeramannya. Berjalan ke meja dan mengambil nampan panjang. “Aku tidak hanya bertugas atas kehebatan para pelacurku, namun aku juga bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan mereka. Makan.”Nasi dengan kuah sop, ayam goreng dan beberapa sayuran yang ditumis menjadi satu. Gerry mencoba mengumpulkan semuanya di dalam sendok yang kini berada di ujung jemarinya, lalu mengangkatnya. Tepat di depan bibir Jasmine yang masih punya sedikit warna merah bekas lipstik yang dia pakai tadi malam. Bahkan, riasannya masih kelihatan bagus, dan rambut yang tidak begitu berantakan walaupun sebenarnya Jasmine merasa kalau dirinya sakit.“Buka mulutmu.”“Tidak.”“Buka, atau aku yang akan memakan.”“Aku tidakㅡ” Bunyi kecil, namun jelas mendadak muncul untuk menghentikan ucapannya. Jasmine merengutkan wajahnya dan kontan memegangi perutnya. Bohong kalau mengatakan dia tidak lapar setelah sehari semalam memikirkan banyak hal dengan tanpa menelan sebutir nasi pun ke kerongkongannya.Gerry tertawa, dan itu masih menjadi panorama menyebalkan yang paling dibenci oleh Jasmine.“Buka mulutmu, Manis.”“Aku bisa melakukannya sendiri.”Jasmine berujar dangan sangat cepat dan menjauhkan wajahnya, menghindari tatapan yang Gerry sajikan untuknya. Pada akhirnya, dia merampas sendok tersebut dengan hati-hati, dan menyuapkan makanan itu sendiri ke mulutnya sambil kemudian mengambil nampan yang ada di atas paha Gerry untuk dipindahkan ke pahanya. Pikirannya jelas terguncang, sehingga dia hanya kembali melamun, dan melamun. Mengulangi penjelasan Gerry semalam lagi, dan bersumpah untuk menghapus semua cinta yang dia miliki seutuhnya kepada Daniel. Dia tidak mau cuma karena sikap manis yang dahulu sering lelaki itu berikan, hidupnya menjadi bak sebuah boneka. Tidak untuk semuanya. Jasmine tidak ingin dirinya dikendalikan. Terlebih, masa depannya. []POMME, 2022.09.03.Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose
“Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya
Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m
Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan
Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k
Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa