Share

vii. Sakit

Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?

Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justru, dirinyalah yang sungguh bakal menghabisi nyawanya sendiri.

Jasmine mengejapkan matanya, layu. Dunia kejam yang dia kenal persis seperti cerita dongeng yang pernah dia baca sewaktu kecil. Steorotip kekanakannya pada saat itu nyatanya tidak benar, bahwa, manusia dewasa pasti akan berbahagia dengan setiap lajur kehidupannya masing-masing sebab berani dalam berbuat sesuatu dan mengambil berbagai macam keputusan sekaligus, seakan-akan cukup hanya tekad kuat yang diperlukan untuk menjamin segala hal dengan pasti, dan sekarang, Jasmine memercayai itu salah. Dia dengan kehidupannya tidak begitu meski dia telah menjadi manusia dewasa yang berpegangan kepada dirinya sendiri. Semua kisahnya adalah lembaran-lembaran buku diari yang mengenaskan. Orang tuanya meninggal secara mendadak ketika hubungan mereka sedang renggang, membuatnya harus bekerja keras dalam mencari nafkah sendiri untuk dirinya, dan, kini, takdir tengah menyeretnya terjebak di tempat di mana seharusnya dia tidak pernah menginjakkan kakinya di sana.

“Ada tamu untukmu malam ini.”

Jasmine menolehkan kepalanya ke belakang. Pikiran kacaunya terlampau sibuk untuk sekadar bisa mendengar bunyi pintu yang dibuka. Gerry sudah berada di sebelah ranjang dan meletakkan sebuah paper bag besar berisikan pakaian seksi yang berbeda dari tadi malam ke atas kasur. Senyumnya meluncur seperti biasanya; nakal, dan terselip sepenggal arti kotor ketika dia mampu mendapati Jasmine tengah meneguk ludah sembari mengepalkan tangan di atas paha, meremas celana kain pendeknya ㅡtahu kalau perempuan itu sedang berusaha menghindarinya karena rasa takut.

“Apakah kau memang selalu kurang ajar?”

“Aku tidak mengerti maksudmu.”

Gerry menyeringai, duduk menyilangkan kakinya di pinggir ranjang seperti tadi pagi. Bola matanya memandangi liar Jasmine, bersandiwara, dan main-main. Apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan? Jasmine sudah menerkanya sebanyak seratus kali, dan dia benar-benar benci kala Gerry menghadirkan presensinya terlalu begitu dekat dengannya.

“Ah, tindakanku?”

“Semua hal.” Jasmine balas memandanginya, namun dengan tajam. Sorotnya runcing, dan kakinya memiliki hentakan marah di lantai ketika dia memilih untuk langsung berdiri, kemudian berjalan ke pintu. Menggerakkan kenop, berharap ada keajaiban dari Tuhan. Namun, kepalanya tiba-tiba pening, dan pandangannya buram. Jemarinya yang ringkih spontan meraba dinding, kendati, dia hanya temui warna hitam lagi. Jasmine... pingsan.

***

“Apa yang akan kaulakukan sekarang? Kita sudah kehilangan jutaan rupiah malam ini.”

Gerry menundukkan kepalanya, menahan udara keras di dadanya. Seorang lelaki tua yang Jasmine lihat saat kali pertama dia terbangun di tempat asing itu, sedang berdiri sembari mengacak pinggangnya, marah. Dia kesal karena menurutnya Gerry tidak memerhatikan perempuan yang dia pilih tersebut. Sama sekali.

“Aku berjanji akan menggantinya dengan dua tamu kaya raya sekaligus, besok malam. Sementara untuk saat ini, kita hanya bisa menunggunya sadar.” Suaranya lantang usai dia menarik panjang napasnya dan membuangnya melalui mulut.

Gerry pun tentu tidak mau kalau dia harus kehilangan lembaran-lembaran rupiah yang seharusnya akan menjadi isi dompetnya bulan depan hanya karena tidak berhasil dalam menjajakan Jasmine malam ini. Meski bisnis narkobanya sendiri selalu berada di puncak, dan usaha lainnya berkembang sukses di berbagai kota, namun, uang adalah uang. Segalanya. Dia tidak mau membiarkan itu lenyap begitu saja. Tidak bisa. Tidak boleh.

Simponi khas oleh gemuruh hujan kemudian terdengar sewaktu lelaki tua yang merupakan bos besar dalam pekerjaan tersebut memutuskan untuk pergi. Punggung lebarnya yang melambai dari belakang masih tampak gagah, dan sejujurnya, dia kelihatan memiliki usia yang kurang lebih sama dengan lelaki tukang pamer yang bersama Jasmine semalam.

Jemari Gerry naik ke atas, memijat dahinya di antara dingin yang kini mulai mengusik kemejanya. Langkah demi langkah terus menuntun kakinya untuk sampai di kamar Jasmine, dan, harapannya diberkati. Jasmine sedang duduk bersandar di punggung ranjang dengan permukaan gelas bening yang berada di bibirnya. Wajahnya pucat. Bahkan ketika Gerry refleks memperlaju langkahnya untuk segera menaruh punggung tangan kanannya di kening perempuan tersebut. Panas, juga napasnya. Keterkejutannya akan dunia baru miliknya yang mengerikan kenyataannya membuat kondisi dan mentalnya jatuh sakit. Jasmine tidak kuat.

“Syukurlah, kau sadar.”

“Aku ingin pulang.”

Jasmine kembali dengan pandangannya yang muram, dan kosong. Sementara Gerry mengambil gelas yang dia pegang dan meletakkannya di atas meja kecil, di samping ranjang. Tidak banyak yang dia lakukan selain berurusan dengan napasnya lagi, mendengar Jasmine mengatakan keinginan yang sama.

“Hujan,” ujarnya. Gerry menunjuk ke langit yang kelihatan dari jendela ㅡawan pekat dari balik tirai yang sedikit terbuka dan menampilkan banyak momen pilu yang bertanggar samar di sana dalam bayangan Jasmine, namun juga seperti sebuah harapan untuknya kalau Gerry akan membiarkan dirinya pulang setelah hujan berhenti jatuh membasahi seluruh hatinya yang terluka. “Beristirahatlah dahulu. Hujan hanya akan membuatmu bertambah sakit. Aku tidak mau itu.”

“Aku hanya ingin pulang.”

Jasmine menatap ke langit, dan Gerry mengambil ponsel dari dalam kantong jaketnya.

“Beri tahu aku apa yang ingin kaumakan.”

“Aku tidak selera.”

“Apakah sakit adalah keinginanmu?”

Gerry memutar bola matanya sekilas, dan menemukan Jasmine yang mengejap lamban menatap ke matanya. Tergambar jelas bagaimana kedua iris lemah itu sedang berteriak seorang diri. Gerry ingin mengasihaninya, barang semenit. Akan tetapi, perasaan kejam di sudut terdalam di hatinya lebih mendominasi perasaannya dengan kemauan jahat yang begitu kuat, tekad sinting yang mendadak datang. Dia tidak rela kalau Jasmine sungguh pergi, dan justru ingin meyakini bahwa mungkin Jasmine adalah perempuan yang sebenarnya ditakdirkan untuknya. Dengan status, atau pun tidak, mengatasnamakan cinta, atau pun sekadar nafsu. Gerry bahkan tidak peduli jika Daniel akan membunuhnya dalam tiga belas hari mendatang kalau sampai tahu bahwa dirinya ingin merebut apa yang lelaki itu miliki.

“Terserah.” Jasmine menyerah. []

POMME, 2022.09.04.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status