Share

v. Bertemu Pelanggan

“Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”

“Apa yang harus kulakukan?”

Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.

Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pelan.

“Buka gaunmu.”

“Apa?”

Aku membelalak, kaget.

“Bukaㅡkembaliㅡgaunmu. Aku ingin memastikan.” Suaranya terdengar memerintah, dan mengundang tungkaiku untuk spontan mundur ke belakang, merasakan benturan punggungku yang menabrak dinding ketika Gerry maju sembari menatapiku tanpa ekspresi.

“Apaㅡapa yang kaulakukan?!”

“Diam.”

“Tidak. Jangan!”

Aku berteriak, namun, sepertinya apa yang Gerry katakan benar. Suara yang kulantunkan barusan hanya memantul, dan aku bisa mendengarkan nadaku yang bergetar.

Gerry mengambil kasar kedua tanganku, kemudian mengangkatnya ke atas kepalaku dan menjadikan satu. Terbentang lurus di dinding bersama tangan kanannya yang mencengkeramku dengan begitu kuat, dan membuatku segera menilai kalau dia bahkan bisa mematahkan tulang belakang dan pinggangku dengan hanya menarik leherku, dan membantingku dalam sekali gerakan.

Basah. Air mataku gugur, mengalir ke pipiku ketika aku cuma sanggup untuk memejam, membiarkan Gerry menggunakan tangan kirinya menurunkan resleting belakang gaunku dan melucuti pakaianku. Aku menggelengkan kepalaku berulang kali, menangis dengan suara yang nyaris menghilang kala sedetik langsung kurasakan kelima jemarinya masuk ke dalam celana dalamku, mengusap kemaluanku, dan mencoba menusukku, kendati, suara kerasnya kemudian tiba-tiba justru mengejutkanku.

“Berengsek!” pekiknya.

Aku mendekatkan kepalaku ke bahuku, masih memejam rapat. Seolah bersembunyi.

Gerry menarik tangannya, mengambil daguku untuk dihadapkan lurus ke depan lagi, dan membuatku secara perlahan membuka kembali mataku meski dengan ragu, mendapati wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. Bahkan, rasanya bak kami sedang berbagi napas. Semerbaknya, aroma pakaiannya, dan aku harus menelan pilu ludahku lagi, menghadapi sepenggal kenyataan memalukan yang belum pernah kualami oleh diriku sebelumnya, bahwa, saat ini aku cuma punya pakaian dalam yang menempel lekat di tubuhku, serta riasan jelek karena air mata yang terus jatuh mengalir ke pipiku, tanpa henti, di hadapan Gerry ㅡlelaki yang baru kukenal kemarinㅡ yang tampak siap menerkamku.

“Jangan menangis. Pakai lagi gaunmu. Seseorang... akan datang kepadamu.”

Aku merasakan pedih di kedua pergelangan tanganku ketika dia lantas melepaskan cengkeramannya, dan mendadak berpaling dari mukaku. Tenggorokanku kering. Tidak. Aku tidak bisa memahami ini, aku tidak mampu membaca karakternya. Aku ketakutan.

***

“Cium milikku, Sayang.”

Malam paling gelap mendatangi hidupku. Bibirku kebas, dan mataku pedih. Gerry yang kukira akan sedikit berbaik hati padaku, nyatanya tidak. Bersama ketidakberdayaanku, aku sungguh berakhir di sini, di sebuah kamar besar yang menghadirkan seorang lelaki tua berusia lima puluh tahunan, berdiri di hadapanku sekarang, sementara, aku sedang duduk menahan kedua lututku di lantai. Sambil memegangi paha sampingnya yang celananya sudah melorot dan jatuh sampai ke tumit.

Mungkin, sudah setengah jam semua berlalu usai Gerry mengantarku menuju ruangan ini, dan meninggalkanku pergi dengan selembar senyum masam yang dia sanjung kepada lelaki ini. Entah, apa maksudnya. Pada akhirnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain menjadi perempuan hina dalam satu malam panjang, daripada merelakan badanku dihajar oleh Gerry, atau aku malah disekap lagi dan tidak akan pernah diizinkan 'tuk rasai hari esok.

Aku mengejap, menahan rasa mau muntahku ketika kukecup kemaluannya untuk kali terakhir, dan sesuai kesepakatan, kemudian kami usai. Aku benar-benar muak dengan semua kesombongan yang dia pamerkan padaku. Tentang hartanya, tentang usaha kafenya, bahkan tentang keahliannya dalam berselingkuh. Mengkhianati istrinya.

“Oh, kau sungguh polos.” Dia terkekeh, menaikkan lagi celananya yang bergaya usang ketika aku sungguh selesai dengan itu dan buru-buru berdiri, menjauhkan badanku sebanyak dua langkah selayaknya yang selalu aku lakukan sejak aku datang dan perlu menenangkan napasku sendirian.

Jemariku yang basah bekas spermanya terasa menjijikan. Aku mencoba menghilangkan aromanya dengan meremas kain gaunku. Sebuah bau yang menyengat, dan asin saat cairan tersebut sempat sedikit mengenai lidahku. Nyaris membuatku meludahkannya ke wajahnya, dan mengambil vas bunga dari keramik untuk kuhancurkan di kepalanya, walaupun, semua cuma khayalan yang terkurung dengan apik di benakku. Aku justru harus mendengarkan suaranya yang mengerang, dan mengucapkan nama palsuku, tepat di telingaku ketika kami masih sama-sama berdiri.

Beberapa lembar kertas berwarna merah kemudian terbanting ke kasur ranjang. Aku langsung mengangkat wajahku, dan secara bersamaan, bisa kusaksikan lelaki tua itu sedang tersenyum ke arahku sembari menengadahkan lengannya, dan menunjuk ke uang-uang tersebut yang kuperkirakan mencapai hampir delapan ratus ribu rupiah.

“Ambil untukmu. Pastikan kau membeli makanan lezat setelah ini.”

Aku menganga. Tidak yakin.

Suara sabuk yang dia tarik di pinggangnya terdengar. Aku masih berdiri, tercekat. Ada ketidakmengertianku yang ingin kupertanyakan, namun, kepergiannya yang tanpa basa-basi menjadi alasan di mana aku lantas cuma menutup mulutku lagi dengan rapat, dan menemukan presensinya telah lenyap.

Sekelebat getaran mendadak mengisi kepalaku. Aku mulai menyadarkan diri untuk melangkahkan kaki ke ranjang, dan itu benar, ada uang delapan ratus ribu rupiah yang telentang menghadap diriku di kasur. Apa ini? Apakah aku sudah menjadi seorang pelacur sungguhan? Setitik air mata yang sudah kukantongi di pelupuk mataku kembali hampir jatuh manakala bunyi pintu mendadak mengganggu lamunanku, dan sosoknya yang selanjutnya kulihat sedang berjalan ke diriku.

“Apa kau tidak suka uang? Jika benar, itu menakjubkan.” Gerry terkekeh, membenarkan letak jam tangannya, dan mengisi ruang di depanku. “Ambil. Itu milikmu. Semua yang pelangganmu beri untukmu adalah milikmu.”

Aku hanya memandangi matanya tanpa berbicara, namun, tiba-tiba dia hanya mengambil uang itu untuk diselipkan ke dalam gaunku dengan lancang, melalui bagian dadaku.

“Gerry...”

“Itu tidak seberapa, kau bisaㅡoh, hei,” Dia membulatkan matanya, dan itu, kian meninggalkan kesan kuat kalau Gerry adalah orang yang senang berkuasa, atau memang dia tipe yang tidak mau kalah. “Apa? Apa itu tadi? Kau menyebut namaku untuk pertama kali?”

Satu napas dalam. Aku memejam, dan berkawankan keinginan hebat yang meledak ketika kubuka kembali mataku, menengadahkan wajah, menatap tegas Gerry dengan berani.

“Aku, ingin pulang.” []

POMME, 2022.09.02.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status