Share

viii. Skenario

Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.

Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.

Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suara lembut milik sang Mama. Jabatan dalam pekerjaannya yang naik mendadak menjadikannya seorang perempuan karir yang sibuk. Begitu pun dengan Papa. Bandung dan Surabaya. Mereka berdua lebih banyak menghabiskan momen di luar kota, dan tanpa disadari, ihwal demi ihwal yang terjadi, bahkan hingga detik ini, sejatinya dimulai dari alasan klise tersebut. Hubungan manis yang terjalin tak lagi sekuat benang yang dirajut seperti ketika semula. Jarang bertemu dan lelah telah melenyapkan banyak kata yang seharusnya dibagi bersama. Orang tuanya hanya langsung tidur setiap kali sesampainya di rumah, dan keesokan harinya cuma meninggalkan sebuah amplop uang di atas meja makan. Tiada sapaan, dan obrolan panjang. Semua hal berubah.

Andai mereka masih hidup, barang kali sekarang Jasmine masih berada di rumahnya. Bukan apartemen, apalagi tempat ini. Jasmine pasti sedang menikmati kamarnya sembari membaca novel cetak sebelum tidur. Namun, tidak. Semenjak orang tuanya meninggal, ada banyak penagih hutang yang mendatangi rumahnya, serta Paman ㅡkakak dari Papaㅡ yang terus menuntut rumah itu untuk segera dijual, meminta sebagian uang penjualan dengan dalih kalau dia ingin kebaikannya kepada almarhum orang tuanya semasa masih bernyawa dibalas, dan itu membuat Jasmine merasa muak, di mana kemudian dia membiarkan dirinya diselimuti oleh jalan buntu, bahwa mungkin memang lebih baik jika dia menjual rumah tersebut, dan menggunakan uangnya untuk membayar hutang, membalas jasa yang pernah sang Paman berikan, dan sisanya, menghidupi dirinya sendiri, kendati ternyata itu tidak cukup.

Jasmine harus menggunakan uang tabungan yang dia kumpulkan selama hampir setahun untuk mencari tempat tinggal baru, merelakan kenangan-kenangan legit di dalam rumah itu yang kemudian cukup hanya bersarang di kepalanya saja, dan tidak akan ada hal baru; sesuatu yang akan dia catat di benaknya sampai mati, dan, Daniel menjadi orang pertama yang memeluknya, mengajaknya pindah sementara ke flatnya, sebelum pada suatu hari, dia tiba-tiba membawa Jasmine ke sebuah apartemen bagus yang sudah dia bayarkan sewanya untuk jangka setahun, tanpa memakai uang milik Jasmine sepeser pun. Sehingga berkat kebaikannya itu, Jasmine mengira kalau Daniel adalah lelaki tepat yang telah dia pilih.

“Sarapanmu, dan pakaian.”

Gerry kembali membawa kehadirannya dengan tiada keributan yang dia ciptakan di gagang pintu, atau mungkin karena Jasmine yang sedang membawa pikirannya menjelajahi dunia lamanya yang sudah hancur berkeping-keping.

Perempuan itu menoleh, dan menyaksikan Gerry tengah menaruh paper bag baru lagi di atas meja. Senyumnya tipis, tetapi jelas terlihat, mencolok di antara warna kelabu dalam pandangannya. Gerry mendatanginya, mengecek suhu tubuhnya lagi dengan punggung tangan yang kembali dia taruh di kening. Bunyi napasnya nyaring, dan aroma parfumnya tercium sama. Jasmine harusnya mendorong kursinya ke belakang dan bangun. Namun, kali ini, dia hanya diam, mengizinkan Gerry menyentuhnya. Menilai keadaannya.

“Aku senang demammu berkurang.”

Selain makanan, Gerry juga memberinya obat, dan memastikan kalau Jasmine memang meminumnya, dan itu membuatnya cukup lega.

“Terima kasih.”

“Apa kau mau menghargaiku, Manis?”

Jasmine spontan membelalakkan matanya, tetapi lantas tertawa. Pikirannya barusan seolah menjadi nyata. Apa yang pamannya lakukan terkesan mirip dengan apa yang lelaki itu lakukan padanya; meminta imbalan, bahkan ketika Jasmine tidak membutuhkan bantuannya.

“Berapa harga yang kauminta?” Jasmine menyilangkan kakinya, mengubah tawanya untuk kemudian dijadikan senyum yang dia balas kepada lelaki berengsek itu. “Aku punya delapan ratus ribu yang diberikan lelaki tua itu kepadaku. Aku bisa memberikan semua itu jika kau mau.” Jasmine mencoba membuat penawaran paling masuk akal walaupun dia tahu kalau itu bukanlah jawabannya.

“Ini bukan tentang uang, Manis.”

“Oh, ya?” Jasmine menaikkan alis sambil mengusap lambat bahu dan lehernya. Bergantian. Bolak-balik. Sorotnya yang tadi kelam kini berubah pekat. “Lalu, apa itu? Apakah sesuatu yang harus kukerjakan?”

Bau pepohonan basah menerpa ke hidungnya. Jasmine sadar bahwa selama ini dia hanya membantah, namun tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan dirinya sendiri, sebab takut kalau Gerry bisa saja mencekik lehernya seperti yang Daniel lakukan ketika dia marah besar kepada perempuan itu. Sekarang, Jasmine ingin mencobanya, meski akibatnya besar.

“Jika kukatakan, apakah kau akan kabur?”

“Tergantung. Tapi, mungkin tidak. Semalaman aku banyak berpikir kalau memang lebih baik aku berada di sini.” Jasmine menjilati bibirnya. “Aku sudah tidak punya orang tua, dan harus bekerja keras dengan gaji yang tidak seberapa.”

“Aku tidak akan memukulmu meski ternyata kau membohongiku, tapi, kau tahu, bukan, kalau aku bisa menjualmu kepada beberapa pria sekaligus?” Gerry menyeringai, mendekatinya.

“Aku tahu risikonya.”

Angin lembap bergelandang, menerobos masuk jendela ketika lelaki itu lalu melangkahkan kakinya ㅡsedetik setelah dia menggigit bibirnyaㅡ menjumpai Jasmine bersama kedua tangannya yang kemudian dia letakkan di kedua sisi kursi. Punggungnya membungkuk, dan sesungguhnya banyak menciptakan kekhawatiran dalam diri Jasmine kala Gerry benar-benar sudah berada dekat di depan wajahnya, menatapinya sambil mendorong lidah yang kelihatan di sela bibirnya yang bercelah.

Jakarta terasa semakin liar untuknya yang kini terjerumus ke dalam situasi sinting. Jasmine berusaha keras menahan dirinya untuk tidak menunjukkan skenario yang telah dia susun, mengambil peran paling berbahaya di mana dia berpikir bahwa mengelabui Gerry mungkin jalan satu-satunya untuk dia bisa melarikan diri. Sebab, di dalam kantong belakang celananya, Jasmine sudah memiliki sebuah alat suntik bekas yang sejam lalu dia temukan di bawah ranjang sewaktu dia mencoba menemukan apa pun di ruangan itu untuk bisa membuatnya sungguh berhasil kabur, dan dia yakin kalau benda itu mungkin adalah sesuatu yang dapat menyelamatkannya dari kehidupan barunya yang seperti mimpi buruk. Setidaknya, membawanya sampai ke lantai bawah, dan sisanya dia akan bersembunyi, kemudian kembali berlari kencang ke pintu keluar.

“Aku ingin tubuhmu, Jasmine. Bisakah kaumemberikannya hanya untukku?” []

POMME, 2022.09.05.

haii, pomme balik lagi hihi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status