Aku menatap dalam wajah itu di cermin. Sebuah pantulan yang kelam ㅡlayu seperti mawar hitam di musim kemarau. Alis cokelat yang dipulas, lipstik merah, serta leher telanjang dengan tali dari gaun yang dikenakan. Sepasang netraku seakan tak ingin berpaling dari diriku sendiri yang melamun menyedihkan, menemukan tubuhku yang sedang kembali akan diperjualkan, dan bahkan tidak tahu kepada siapa aku bakal dipertemukan. Aku ingin mencoba bersikap tidak peduli lagi, karena meskipun aku menolak, semua akan tetap sama. Gerry tidak akan berubah pikiran untuk membebaskanku, atau pun mengotori tangannya untuk membunuhku. Namun, satu pernyataannya beberapa jam lalu hanya masih terus mengisi hampir seluruh benakku, bahwa, aku juga akan bercumbu dengan perempuan. “Jika kau terus menerus secantik ini, bagaimana bisa aku melepaskanmu?”Sepenggal senyumnya muncul dari belakang badanku. Gerry mengusap rambutku, dan beralih ikut memandangku di cermin. Aku mengejap. Jakarta terasa panas malam ini, kontras
“Kenapa aku harus hidup seperti ini?” Aku berbaring di sofa dengan Gerry yang berada di samping betisku, mengoleskan obat merah dan melilitkan kain perban di telapak kakiku. Aku tidak sadar kalau aku telah menginjak pecahan beling dari kekacauan yang disebabkan oleh lelaki berengsek itu, dan baru sekarang merasakan sakitnya yang menyatu di dalam tubuhku. Seolah memberiku jawab jika alasan sebenarnya aku dilahirkan adalah untuk menanggung segala jenis kepedihan ini sendirian. Luka sobek yang besar, darah segar yang mengalir, dan air mataku yang kembali kering. Pada kenyataannya, Tuhan memang belum mengizinkanku untuk mati ㅡtidak dengan cara konyol iniㅡ dan aku tidak akan pernah bisa keluar dari tempat ini. Sama sekali.Secara cepat, Gerry meletakkan obat itu di meja, dan aku mulai menertawakan diriku sendiri lagi hari ini. Ditampar oleh lelaki yang membayarku, namun, aku tidak pernah menerima uangnya, mencoba untuk bunuh diri, dan pada akhirnya justru terlempar kembali ke tempat ini, be
Badanku benar-benar seperti remuk. Hancur menjadi serpihan-serpihan paling kecil. Aku terbangun di sofa dengan kepala yang masih pening ketika mampu kusaksikan apel itu sama sekali belum berpindah dari meja, dan membuatku tersadar kalau semalam aku mungkin pingsan setelah Gerry pergi dari ruangan ini, karena aku ingat kalau kali terakhir aku dapat merasakan punggungku yang kembali menabrak alas sofa saat aku menekankan kakiku ke lantai, mencoba berdiri dan berjalan ke ranjang. Serta pandanganku yang seketika hanya berubah menjadi hitam. Bertemu satu kegelapan yang panjang.Aku tidak percaya kalau aku masih menjadi orang yang sama pagi ini; perempuan malang dalam kenahasan itu lagi, dengan tiada kemujuran yang mau menghampiri. Mataku sayu, dan kantungnya kelihatan amat besar. Satu tanda mujur bahwa penderitaan sedang menggantung tepat di kedua pundakku. Terlebih tubuhku yang kini sudah jelas kurus, dan tampak ringkih kala kutatap lekat cermin di hadapanku ㅡmengasihani diriku sendiri.K
“Aku menyadap ponsel Gerry. Jadi, aku tahu kapan dia akan pergi, dan apa rencanaku.” Pandangannya meloncat ke kakiku di mana sekarang aku sedang berbaring di ranjang dengan Daniel yang mengganti perbanku. Di separuh perjalanan, kami sempat mampir ke sebuah apotek kecil meskipun aku hanya menunggunya di dalam mobil, dan membiarkan dia kemudian kembali datang bersama sekantong obat-obatan di sela jemari kirinya.Sebenarnya sudah cukup banyak yang dia jelaskan kepadaku soal hutang-piutang yang dia miliki setelah kami sukses memarkirkan mobil, dan masuk ke rumah asing ini. Namun, aku cuma terus diam sampai berikutnya dia mengatakan kalau telah terjadi sebuah masalah besar di dalam bisnis haram yang Gerry jalankan. Daniel bilang beberapa orang kurir narkoba miliknya ditangkap polisi, dan sebagian sudah memberikan kesaksikan bahwa mereka tidak lebih dari sekadar pengantar barang itu.“Aku sudah memastikan jika pagi ini tidak akan ada orang di sana, selain pelacur-pelacur yang betah untuk me
Jasmine tidak pernah berniat untuk mengatakannya, atau meminta tolong kepadanya, namun Daniel menjadi orang pertama yang menawarkan diri untuk mengambil semua barang-barang itu, dan membawanya ke rumah itu dua hari lalu. Pakaian, tas, sepatu, buku rekening. Semuanya kembali bersama perempuan itu lagi dengan utuh, dan lengkap. Bahkan, ponsel milik Bu Sinta yang turut dia masukkan ke dalam kardus, membuat Jasmine bersyukur kalau itu ternyata tidak rusak. Sama sekali. Hanya batreinya yang kosong, dan Daniel tidak punya pengisi daya yang jenisnya cocok dengan itu.Jakarta hari ini terang seharian. Pohon-pohon yang sempat kedinginan oleh hujan semalam tampak sedang terus tersenyum lebar bersama senandung kecil tak terdengar. Disinari matahari, dan diselimuti udara-udara yang menari. Jasmine ikut bahagia walau luka di kakinya belum sembuh. Dia masih menggunakan perban yang diganti secara rutin oleh Daniel, dan kadang-kadang terlihat tidak seimbang sewaktu berjalan. Mungkin memang perlu wakt
Setelah beberapa hari, Jasmine sudah mendapatkan kartu identitasnya lagi, dan kartu ATM baru yang kembali dicetak dari buku rekening lamanya. Daniel memang banyak membantunya meskipun kekacauan itu sendiri disebabkan oleh lelaki itu. Satu kesialan paling mengerikan yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Tidak mudah untuk memaafkan. Jasmine hanya kerap berpikir kalau luka di hatinya akan sukar untuk kering, dan api kebencian yang tumbuh di dalam jiwanya tidak akan padam. Sebuah noda fatal sudah tercoreng di tubuhnya ㅡhidupnya tidak akan sama lagi.Dia tersenyum ketika Daniel sudah selesai dengan dua piring nasi goreng olahannya di atas meja. Sesungguhnya itu manis. Namun, Jasmine tidak lagi terkesan. Sama sekali. Setelah hari itu, perasaannya kepada Daniel juga benar-benar ikut menghilang. Seperti bayangan di penghujung senja, yang kemudian lenyap ketika malam mulai menampakkan diri.“Sarapan pagi hari ini.”“Terima kasih.”Jasmine mengambil sendok di samping tangannya, dan mengaduk ma
Jasmine menyelonjorkan kakinya di ranjang, menyapukan iris ke pemandangan kamarnya yang sekarang benar-benar beres. Sembilan belas novel tebal yang dia bawa dari apartemen sudah tertata rapi di rak buku, dan beberapa foto serta sejumlah lukisan juga telah menempati sebagian dinding baru. Sejujurnya terasa seperti seluruh kehidupannya memang sudah dimulai sejak dia pergi meninggalkan Daniel dengan semua perasaan yang dia tuang dalam selembar kertas putih, dan tinta hitam.Penyesalan, dan kesakitan. Jasmine menuliskan semua kekhawatirannya tentang hidup yang tak pernah mengharapkannya bahagia. Bahkan bayangan akan setiap datangnya hari esok dalam kepalanya yang tampak selalu gelap. Tanpa penerang. Seakan dia memang hanya ditakdirkan untuk berenang dalam kepedihannya seorang diri, namun dipaksa untuk bertahan. Berjuang dengan sisa napas.Sebungkus roti berukuran besar mengintip dari dalam tangannya, dan sebotol minuman menanti. Alih-alih pingsan di jalan, alangkah lebih baik bagi Jasmine
Pagi pertama di dalam kehidupan Jasmine setelah mimpi buruk agaknya berhenti menyambangi tidurnya. Dia bangun lebih cepat meski badannya terasa letih, dan punggungnya hampir patah. Satu rencana sudah mengisi kepalanya sejak semalam. Hari ini, dia ingin pergi ke supermarket, dan beberapa tempat lainnya. Ada beberapa kebutuhan yang kemarin belum sempat dia beli. Dia juga ingin mengganti lampu kamarnya yang menurutnya tidak terlalu terang. Sejak kecil, Jasmine tidak bisa tidur dengan lampu yang redup. Napasnya akan sesak, dan perasaannya hanya menjadi gelisah. Seolah seseorang mencekiknya dalam kegelapan.Pukul enam kurang lima belas menit. Senyum tipisnya muncul di dalam cermin ketika dia menatapi dirinya di sana sesaat usai melirik ke jam yang tergantung di dinding kamarnya, dan membawa tungkai kakinya melangkah ke luar kamar, pergi ke kamar mandi yang berada tidak begitu jauh dari kamarnya, di sebelah dapur mini. Jakarta benar-benar terkesan keras pada saat kakinya harus berhenti sebe