Judul: AKU BUKAN WANITA PENGHIBUR.
Part: 1.
***
Sejauh mana aku berjalan, setiap detiknya tetap saja aku merasa kehampaan.Dunia mencibirku dengan sebutan anak haram. Hingga di suatu senja Ibuku meregang nyawa setelah mendengar umpatan dari Kakak beradiknya.
"Sakitmu ini adalah azab," ujar Bibikku.
"Selama Anak haram ada di rumah ini, maka selama itu pula kehidupan kami akan sial," lanjut Pamanku pula.
Ibu semakin berat menarik napasnya. Wajah tua yang sudah tampak begitu lemah itu seketika menjadi tegang. Tubuhnya bergetar hebat dan kejang-kejang.
"Bu," lirihku mendekatkan diri memeluknya.
Tak berapa lama mata Ibu tertutup setelah napas terakhir yang ia hembuskan terlihat begitu sakit.
"Ibu!" teriakku histeris.
Paman dan Bibik tidak bersedih sama sekali. Keduanya sangat membenci Ibuku. Bukan tanpa alasan.
.
Waktu berjalan, pemakaman jasad Ibu sudah selesai.
Aku termenung di teras rumah milik Bibikku ini. Sedari kecil, aku memang sudah berada di sini.
Ibuku tak memiliki rumah sendiri. Semua keluarga tak ada yang mau menampungnya, kecuali Bik Ratna.
Walaupun setiap hari Bibik mencaci maki Ibu dengan perkataan kasar, tapi dia adalah satu-satunya yang sudi memberikan tumpangan tempat tinggal.
-
-Sebulan setelah kepergian Ibu. Salah satu penyalur tenaga kerja masuk ke kampung kami.
Pak Handoko namanya. Ia menawarkan sebuah pekerjaan di kota pada Bik Ratna.
"Bagaimana? Saya akan memberikan uang muka sebanyak gajih 3 bulan bekerja. Apa anda setuju?" tanya Pak Handoko.
Aku yang duduk di dekat Bibik mendengar semua percakapannya.
Pak Handoko menghendaki agar aku ikut bekerja di cafe miliknya.
Mata Bik Ratna dan Paman Toni berbinar-bindar mendapat tawaran uang yang begitu besar.
"Saya setuju, Pak. Keponakkan saya ini pasti bisa bekerja dengan baik. Bawa saja dia ke kota!" ujar Bik Ratna antusias.
"Aku takut, Bik. Tolong izinkan aku tetap di sini. Aku akan mengambil upah di sawah lebih giat lagi, Bik. Aku tidak mau pergi ke kota," sahutku.
"Sayang, kau harus ke kota. Di sini tak ada masa depan untukmu, Nak." Bibik berkata dengan lembut, tapi dibalik itu sebelah tangannya mencubit punggungku.
Sakit.
Selembar kertas yang berisikan kontrak kerjasama sudah ditandatangani oleh Bibik dan Paman. Keduanya menyetujui tanpa mengetahui apa isi perjanjian dalam kertas tersebut. Bibik dan Paman tidak bisa membaca. Tandatangan pun hanya asal-asalan saja.
-
-Aku sampai di kota dengan dibawa hari itu juga.
Dua tas kumuhku menemani langkahku yang gemetar karena takut.
Pak Handoko mengantarku ke sebuah tempat.
Tidak seperti cafe yang ia jelaskan pada Paman dan Bibik. Tempat ini begitu bising dan ramai.
Banyak botol minuman, dan lampu warna-warni. Aku pusing dengan cahaya yang mati hidup berulang-ulang itu.
"Mi, saya bawa satu gadis muda yang masih sangat polos," ujar Pak Handoko membawaku pada seorang wanita paruh baya yang menor dandanannya.
"Kucel sekali. Di mana kau menemukannya?" tanya wanita itu.
"Di kampung, Mi. Hanya perlu dipolesin make up, pasti dia akan bersinar."
"Kamu benar. Jika diperhatikan kecantikan gadis ini sungguh luar biasa. Saya jadi teringat seorang primadona di desa pada zaman dahulu."
Pak Handoko dan wanita itu tertawa. Setelah itu aku ditinggal berdua saja dengan wanita yang belum aku tahu siapa namanya itu.
"Panggil saja saya dengan sebutan Mami Mery! Ikutlah bersama saya! Dengan sekejap mata, saya akan menyulapmu menjadi cantik," ujarnya.
Aku mengikuti langkahnya dengan ragu-ragu.
Hingga sampai di sebuah kamar yang cukup besar dan mewah. Ada 5 wanita di dalamnya. Mereka semua berpakaian seksi dan berdandan sungguh cantik.
"Anak baru ya, Mi?" tanya salah satu dari mereka.
"Iya. Cepat kamu rubah penampilannya secantik mungkin!" perintah Mami Mery, kemudian ia keluar.
Aku duduk di kursi empuk yang menghadap ke arah kaca.
"Maaf, sebenarnya tugas saya di sini sebagai apa? Mencuci piring, atau mengantarkan makanan dan minuman saja?" tanyaku menyelidik.
Semua yang berada di kamar ini tertawa mendengar pertanyaanku.
"Tugasmu di sini melayani sepenuh jiwa. Semua harus kau kerjakan," ujar wanita yang sedang merapikan rambutku.
Aku tidak mengerti, tapi aku mulai takut. Tempat ini sepertinya tidak aman.
.
Satu jam kemudian. Aku berputar-putar di hadapan cermin besar. Penampilanku sungguh berubah. Rambutku yang panjang sudah menjadi sebahu saja. Wajahku bersinar dengan sedikit polesan.
"Kau sempurna," puji Mami Mery.
"A-aku harus apa setelah ini?" tanyaku dengan takut-takut.
"Duduk manis saja, sayang. Kau spesial, dan akan menjadi harga tertinggi malam ini," ujar Mami Mery.
"Ma-maksud Mami? Aku tidak mengerti."
Sebenarnya aku sudah sangat risih dengan dres tanpa lengan yang aku pakai. Selama ini aku tak pernah menggunakan pakaian yang terlalu terbuka.
"Jadi Handoko tidak memberitahumu?" tanya Mami Mery menatapku tajam.
"Katanya, aku akan bekerja di cafe jadi pengantar makanan dan minuman para pelanggan," jawabku seadanya.
Mami Mery dan yang lain kembali tertawa.
"Dengar, Luka. Kau di sini bekerja sebagai wanita penghibur."
Detak jantungku seolah terhenti saat mendengar pengakuan Mami Mery.
Wanita penghibur ....
Sebutan itu sering aku dengar di kampung. Tetangga bahkan keluarga menyebut Ibuku sebagai mantan wanita penghibur. Hingga tidak ada satu pun yang tahu siapa Ayahku.
Hidupku bagai di neraka, semua mencerca aku karena dosa masa lalu Ibu itu.
.
Di kamar khusus, aku ditugaskan. Di dalamnya ada seorang lelaki yang menungguku.
Tenagaku telah habis untuk berontak. Sedari awal setelah tahu pekerjaan kotor ini, aku mencoba kabur dan menentang perintah Mami Mery. Namun, apa daya. Aku kalah tenaga, dan tak bisa berbuat apa-apa.
Anak buah Mami Mery sangat banyak. Dua tamparan pun sudah melayang ke pipi kanan dan pipi kiriku.
Aku pasrah dengan derai air mata yang kian basah.
"Siapa namamu?" tanya lelaki yang sudah membayarku pada Mami Mery dengan jumlah uang yang sangat besar.
"Namaku, Luka."
Lelaki itu mendekat ke arahku yang memang sedang membelakanginya.
"Nama yang langka," ujarnya.
Aku bergeming.
"Tunjukkan wajahmu! Kata wanita serakah itu kau sangat cantik."
Aku masih bergeming sembari mengusap air mata yang masih saja mengalir deras tanpa berani menimbulkan suara.
"Apa kau tuli?" bentaknya sembari membalikkan tubuhku agar menghadap ke arahnya.
Aku tersedu-sedu. Wajahku tentunya sudah berantakan.
Tidak sedikitpun aku berani mengangkat kepala. Tertunduk aku dalam penderitaan yang tiada akhir ini.
Perlahan satu telunjuk tangan lelaki itu mengangkat daguku. Matanya tajam berpadu dengan tatapan mataku yang sengaja menguatkan nyali untuk melihat.
Lelaki yang kutafsir usianya sekitar 30 tahunan. Lelaki yang sangat tampan. Aku sampai tak percaya jika yang berani membayarku mahal adalah seorang yang masih muda dan begitu rapi berwibawa.
Siapa sangka kalau ia adalah lelaki penikmat nafsu wanita tak berdaya.
"Kenapa kau menangis?" tanya-nya datar.
Aku mengalihkan kembali pandanganku ke bawah. "Apa lagi yang bisa aku lakukan selain menangis?"
Dia tertawa.
"Apa saya membayarmu hanya untuk melihat tangisanmu ini saja?"
"Aku tak tahu."
Aku semakin tergugu di hadapannya.
"Sepertinya kau harus mengganti namamu!"
"Itu nama pemberian dari Ibuku."
"Ibumu pasti sakit jiwa," cibirnya.
Aku semakin menangis dengan tersedu-sedu.
"Saya akan meminta pada wanita tua bangka itu untuk segera merubah namamu. Jika terus dibiarkan menggunakan nama Luka, maka sepanjang hidupmu tentunya hanya bisa menangis saja," paparnya.
Aku mulai mengusap air mata. Sedari tadi lelaki ini hanya bicara tanpa melakukan apa-apa.
Padahal aku sudah ketakutan setengah mati.
"Aku rela menangis seumur hidup untuk bersyukur jika bisa terbebas dari tempat ini. Tolong aku, Tuan. Kau boleh memintaku bekerja di rumahmu selamanya tanpa gajih asal aku bisa keluar dari tempat ini. Aku takut berada di sini." Memohon aku dengan gerakan cepat meraih kakinya.
Lelaki itu bergeming beberapa detik.
"Tolong aku, Tuan."
Pundakku perlahan diangkatnya. "Saya sudah membayar sangat mahal untuk dirimu."
"Biarkan aku menggantinya dengan pengabdian seumur hidupku. Aku akan melakukan apa saja, kecuali tidak dengan pekerjaan kotor ini, Tuan."
Hening.
Lelaki itu terdiam di sudut ranjang. Wajahnya begitu datar. Aku semakin gemetar menahan rasa takut yang kian mendalam.
Bersambung.
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke