Judul: AKU BUKAN WANITA PENGHIBUR.
Part: 2.
***
Suara rintikan hujan gerimis menemani heningnya suasana kamar ini.Lelaki tampan dengan ekspresi datar itu cukup lama terdiam.
Hingga entah di menit keberapa ia kembali membuka suara.
"Saya sudah cukup sering ke tempat ini. Namun, sebelumnya saya hanya memesan minum saja. Wanita tua bangka itu selalu menawari saya dengan berbagai wanita cantik suruhannya. Saya tidak tertarik, bahkan dirimu pun sama. Sedari awal tadi saya tidak tertarik untuk mengeluarkan uang begitu banyak hanya demi seorang wanita rendahan," paparnya.
"Aku bukan wanita seperti itu, Tuan. Aku tidak tahu tentang tempat ini. Aku dari desa, sedikitpun aku tak pernah membayangkan untuk masuk di lembah yang hina seperti ini," ujarku kembali mengeluarkan air mata.
"Saya tidak percaya," sanggahnya.
"Terserah jika Tuan tidak percaya. Kalau memang Tuan tak tertarik denganku, maka tolong lepaskan aku!"
"Uang saya tidak akan kembali ketika sudah berada di tangan wanita serakah itu."
Aku terdiam lagi. Jumlah yang lelaki ini keluarkan memang sangat banyak.
500 juta, bagaimana bisa aku menggantinya agar lelaki ini mau melepaskan aku tanpa menyentuh sama sekali.
"Ikutlah dengan saya!"
Tanganku ditariknya kasar. Aku terseret mengimbangi langkahnya yang begitu cepat membuka pintu keluar.
Tanpa berani banyak bertanya, aku dan lelaki itu sampai ke hadapan Mami Mery.
"Tuan Abraham, apa ada masalah?" tanya Mami.
"Ya. Saya tidak suka dengan kamar yang tersedia di sini. Anda tahu sendiri siapa saya, bukan? Saya akan membawa Luka keluar mencari hotel mewah yang layak untuk saya tempati," ujarnya.
"Tidak bisa, Tuan Abraham. Luka baru di sini. Dia telah menjadi incaran tamu-tamu saya. Tuan Abraham cukup beruntung karena telah berhasil membooking pertama kali. Setelah Tuan selesai, yang lain sudah siap mengantri. Jadi saya tidak bisa memberikan izin Luka keluar dari area ini."
Aku menarik napas panjang. Sungguh sadis dan ngeri pernyataan dari Mami Mery.
"Saya akan membayar 500 juta lagi untuk menambah waktu kebersamaan saya bersama Luka. Tentunya harga Luka tidak akan setinggi itu lagi setelah lepas dari saya, bukan? Jika Anda tidak setuju, maka tidak masalah bagi saya. Kembalikan semua uang yang tadi sudah saya berikan. Saya serahkan Luka pada Anda. Silakan memberinya pada yang lain," papar lelaki yang ternyata bernama Abraham itu.
Dia juga kejam. Aku semakin ketakutan sekarang.
Bagaimana jika Mami benar-benar mengembalikan uangnya, dan menyerahkan aku pada lelaki lain?
Semua yang hadir tampak menyeramkan dengan perut yang buncit dan wajah sangar. Berbeda dengan Tuan Abraham yang tampan. Aku merasa sedikit lebih aman dengannya, karena dia masih bisa diajak bicara tanpa langsung menyentuhku.
"Tuan Abraham memang pemegang kendali jika membahas masalah uang. Silakan bawa Luka! Jangan lupa untuk dikembalikan. Waktunya hanya dua hari saja. Jika lebih, maka biayanya akan bertambah. Ingat, Tuan Abraham, mata-mata saya cukup banyak. Jangan berbuat curang!" ancam Mami.
"Baik."
Aku akhirnya menghirup udara bebas di luar.
.
Di dalam mobil.
"Kita mau ke mana, Tuan?" tanyaku.
"Ke Apartemen milik saya," jawabnya.
"Aku tidak mau kembali lagi ke tempat itu, Tuan. Biarkan aku selamanya ikut bersama, Tuan."
"Mana mungkin. Saya bisa bangkrut jika setiap harinya membayar tarif begitu besar pada wanita tua bangka itu."
"Tidak perlu membayar lagi, Tuan. Aku sudah bebas sekarang. Biarkan aku mengganti uang Tuan dengan bekerja selama hidupku untukmu, Tuan."
Tuan Abraham bergeming.
Hingga waktu terus berjalan. Tiga puluh menit sudah berlalu.
Mobil Tuan Abraham berhenti di sebuah bangunan mewah. Aku turun dengan kaki yang gemetar.
Apa iya lelaki ini bisa dipercaya?
Bagaimana jika dia melancarkan aksinya saat sudah berada di dalam sana?
Apa lagi dia sudah membayar dengan nilai yang seumur hidupku tak mungkin mencapai jumlah tersebut walau aku terus bekerja di sawah.
Ah, aku pasrahkan saja semuanya pada yang maha kuasa.
.
Namaku, Luka. Kata Ibu seharunya aku tidak akan pernah takut lagi dengan bagaimana rasanya sakit karena terluka. Sebab aku sendiri adalah Luka.
Dengan nyali yang sudah mengecil, aku melangkah masuk ke dalam kamar Apartemen mewah dengan fasilitas luar biasa yang membuat aku begitu takjub.
Brak!
Aku berlonjak kaget saat pintu ditutup dengan begitu kasar oleh Tuan Abraham.
Bibirku mengecap seiring menelan ludah yang terasa getir.
"Kau akan menjadi masalah baru dalam hidup saya," ucap Tuan Abraham datar.
Aku menatapnya cukup lama. Ia bahkan terlihat tak tertarik sama sekali dengan kecantikanku.
Syukurlah, setidaknya aku sedikit lebih lega.
"Maaf, Tuan. Aku berjanji tidak akan menyusahkan, Tuan."
"Hah! Kau bahkan sudah menyusahkan saya," cibirnya.
Aku berdehem pelan. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Pulang ke kampung bukanlah solusi yang baik. Pak Handoko terkutuk itu pastinya akan menemukan aku kembali di sana.
Satu-satunya tempat persembunyian yang aman hanyalah Tuan Abraham. Aku sungguh berharap kemurahan hatinya untuk bersedia menampungku walau menjadi budaknya.
Dering ponsel Tuan Abraham mengalihkan perhatian.
"Halo! Apa? Tidak pulang lagi? Keterlaluan!"
Entah lelaki itu bicara dengan siapa. Namun, ia tampak marah dan kesal.
Seketika ponsel di tangannya langsung ia lemparkan hingga pecah tak bersisa.
Mataku membulat melihat benda mahal itu rusak begitu saja.
Detik berikutnya Tuan Abraham meraih kedua pundakku dengan kasar. "Katakan apa yang kurang dari saya? Katakan!"
Mataku terpejam saat suara itu nyaring berteriak dengan jarak yang sangat dekat. Detak jantungku berdebar-debar kencang.
Mataku bertemu dengan mata tajam itu, tapi tergambar sebuah kesedihan yang mendalam di sana.
Apa sebenarnya yang tengah Tuan Abraham alami?
"Tuan kenapa?" tanyaku memberanikan diri.
Perlahan lelaki itu menjauh dariku dan mulai meremas rambut tebalnya sendiri.
"Saya sudah memiliki seorang istri," lirihnya sedih.
"Lalu?" tanyaku lagi.
"Namanya, Jelita. Seorang wanita cantik yang dijodohkan oleh orang tua. Saya jatuh cinta padanya saat pandangan pertama. Begitupun dirinya. Namun, sampai hari ini Jelita masih tak bisa merubah kebiasaan buruknya. Setiap malam dia masih suka keluyuran dan berkumpul hingga larut. Tak jarang pula Jelita pulang dalam kondisi mabuk. Hal itulah yang menyebabkan saya mengunjungi tempat terkutuk itu untuk melupakan kekesalan, amarah, kesedihan, bahkan kekecewaan," papar Tuan Abraham.
Aku terdiam. Ternyata masalah hidupnya cukup rumit. Ditambah lagi bertemu denganku, pastinya akan semakin rumit.
"Apa Tuan sudah bicara baik-baik pada istri Tuan? Mungkin saja dia akan mau mendengarkan," ujarku.
"Percuma. Jelita bilang, ia tidak akan menghentikan apa saja yang ia suka. Saya terus mengalah, karena sampai hari ini perasaan saya masih terlalu dalam untuknya."
Ditengah pembahasan tentang istrinya, tiba-tiba bel berbunyi.
Tuan Abraham terlihat enggan membuka pintu. Hingga akhirnya aku yang berdiri untuk melihat siapa yang datang.
Aku terpana menatap sosok wanita dengan tinggi semampai berdiri melemparkan sorot mata siap menerkam.
Plak!
"Argh!" Aku menjerit saat tamparan mendarat ke pipiku.
"Jelita, hentikan!" hardik Tuan Abraham.
Ternyata wanita cantik yang menamparku adalah istri Tuan Abraham.
"Perempuan murahan! Dibayar berapa kau untuk memuaskan nafsu suami saya?" teriak istri Tuan Abraham.
Aku menangis memegangi sebelah pipiku yang terasa perih.
"Cukup, Jelita! Kau salah paham."
"Salah paham Mas bilang? Saya sadar selama ini saya memang jarang bisa melayanimu, Mas. Namun, bukan berarti Mas bebas berzinah di luar!"
"Kenapa? Bukankah kau juga tak suka dilarang, Jelita? Saya seorang lelaki normal, jadi wajar saja jika saya mencari hiburan lain ketika dirimu tak bisa memenuhi kewajiban sebagai seorang istri."
Nyonya Jelita bergeming. Terlihat bulir bening mengalir di wajah cantiknya.
"Pulanglah, Jelita! Saya akan menemuimu besok pagi. Biarkan malam ini saya bersama wanita lain," ujar Tuan Abraham.
Nyonya Jelita semakin tergugu menangis. Detik berikutnya ia memeluk Tuan Abraham erat.
"Tidak, Mas. Saya tidak akan pulang sendirian. Mas harus ikut bersama saya."
Aku terharu menyaksikan adegan itu di depan mata. Nyonya Jelita sepertinya sangat mencintai Tuan Abraham. Namun, kenapa ia masih betah berada di luar ketimbang menemani suami di rumah?
Ah, entahlah.
Bersambung.
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke