Share

Pov Revan

Bab 5

Pov Revan

Siang  hari di kantor

“Kenapa kamu, kusut amat itu muka?” Rendi  menepuk  pundakku, dia teman satu kantorku.

 

Aku dan Rendi sedang istirahat. Memilih warteg depan kantor, yang terkenal enak dan ramah di kantong. Semalam karena ribut besar dengan Indira, hingga wanita yang   sudah memberiku satu anak itu lupa tak membawakanku bekal makan siang.

 

“Pusing  mikiri hidup! Tiap hari ribut terus dengan Indira.” Kuhela napas panjang,  kemudian kuraih secangkir kopi susu dan menyeruputnya.

 

“Memangnya ada masalah apa? Coba kamu cerita sama aku siapa tahu aku bisa bantu!” Tatapan matanya begitu serius.

“Indira sudah tahu hubunganku sama Kamila, entah siapa yang mengadu?  Semalam Indira cemberut dan memberiku pilihan yang sulit.” Aku menatap balik wajahnya dengan sedikit mendongakkan kepalaku karena dia berdiri, sedangkan aku duduk.

 

“Eiittss,!  Tunggu ... kamu bilang apa barusan? Ka_Mi_La!” Rendi mengeja ucapannya.” Mantan kamu yang waktu SMA bukan?” Matanya tajam menatapku hingga badannya condong ke depan.

 

“Iya, kamu benar.”  Aku mendorong wajahnya dengan telapak tanganku.

“Wouww, cinta lama bersemi kembali, dong?” Rendi sambil terkekeh, ia makin menggeser tubuhnya agar semakin dekat denganku.

 

“ Gimana enggak bersemi kalau dia makin kelihatan anggun dan mempesona.” Selalu membela diri dengan senyum bahagia.

 

Terlalu  sayang   kalau aku harus buang permata demi batu kali. Kamila sekarang  tambah oke, punya karir yang bagus, cantik, pintar. Ya, pokoknya sempurna,  deh. Tidak ada laki-laki yang menolak pesonanya, kalaupun ada itu lelaki b*d*h.

 

“ Kamu jangan ngomong gitu! Kamu kan, baru tahu luarnya, belum tahu dalamnya ? Semua itu indah dilihat kalau masih pacaran. Tapi nanti, kalau sudah resmi menikah. Semua akan tahu  baik

buruknya pasangan.” Rendi menepuk lenganku mencoba menasehati.

 

“Dan kalau Indira, kamu pasti sudah tahu karakternya,  karena kamu sudah lima tahun menikah.” Dia kemudian menyeruput kopi hitam kesukaannya.

 

“Tapi aku sudah lama mengenal Kamila, sedari SMA lho, bahkan kami sudah  dua tahun pacaran. Meskipun sekian lama kami lost contack  dan baru sekarang kami dipertemukannya lagi, dia belum menikah atau  pun memiliki kekasih.” Tatapanku semakin tajam  ke arahnya.

“Berarti dia didatangkannya lagi oleh Tuhan untuk kembali padaku.” Suaraku makin ditekan berharap dia  mau  membelaku.

“Sudahlah,  kamu jangan bermain api, nanti kamu sendiri yang akan  menanggung akibatnya!  Jangan sampai kamu menyesal nantinya.”  Dia  bangun  dari duduknya  kemudian  sambil berlalu  pergi.

 

Obrolan kami harus berhenti setelah jam istirahat usai. Dan kami melanjutkan tugas kantor hingga jam kantor berakhir.

 

Menjelang   jam kantor selesai Dreett ..., ponselku  bergetar. Sebuah pesan WA tertera di layar, kubuka dan ternyata itu pesan dari ibuku.

 

[Van, nanti pulang kerja mampir ke rumah Ibu ya!  Ada yang mau Ibu bicarakan sama kamu]

[Iya, Bu, nanti aku pulang kerja langsung ke rumah Ibu]

[Oke, Ibu tunggu]

 

“Huuftt, apa yang mau Ibu bicarakan ya. Apa Indira mengadu sama Ibu? Sampai-sampai ibu Wa dan menyuruhku ke rumahnya, batinku.

 

Pulang  kerja aku langsung  menyambar tas di atas meja kerjaku. Bergegas menuju parkiran mengambil kendaraan roda empatku. Kunyalakan mesinnya lalu melajukannya melesat membelah jalanan Ibu Kota yang ramai.

 

Dari kantorku ke rumah Ibu butuh waktu tiga puluh menit perjalanan. Lebih cepat dari pada berangkat dari rumahku. Setelah setengah jam mengemudi, sampailah aku ke rumah Ibu. Dengan langkah penuh tanya, aku masuk.

 

Terlihat dari luar, Ibu duduk sendiri di ruang tamu. Terpaku, tertunduk lesu seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

 

“Assalamualaikum, Bu!” ucapku pada Ibu sambil melangkah masuk. Kucium punggung tangannya dengan takzim.

“Waalaikum salam.  Mari masuk, Ibu sudah menunggumu dari tadi,” balasnya dengan tersenyum menyambutku.

“Ada apa, Bu?” tanyaku penasaran.

“Ya, Ibu kangen sama kamu, memangnya tidak boleh?” pekiknya dengan mengerutkan dahinya.

“Ya, bolehlah, Bu. Masa nggak boleh. Tapi kenapa tidak nunggu aku libur kerja saja. Kan, aku bisa sekalian bawa cucu Ibu!” seruku  menimpali.

“ Ah, kelamaan. Dan juga Ibu mau nanya sesuatu  sama  kamu. Sebelumnya  kamu makan dulu sana, pasti kamu belum makan kan? Ibu sudah masak banyak sengaja buat anak kesayangan Ibu,”  balasnya sambil berjalan menuju meja makan.

 

Ibu mengambilkan piring dan menyendokkan nasi dan lauknya  untukku. Lalu Ibu duduk di seberang meja makan. Ibu memang baik, perhatian, dan penuh cinta. Ibuku  tiada duanya.

 

Usai makan, Ibu mengajakku salat Magrib berjamaah. Ibu mau aku yang menjadi imamnya. Ah, aku jadi ingat Indira. Sudah lama aku tidak bisa menjadi imam dalam salatnya, padahal Indira selalu mengajak dan memaksaku, tapi aku tidak pernah mau. Dengan berbagai alasan aku lontarkan.

 

“Nak, sini duduk, Ibu mau bicara sama kamu!” Matanya tersirat sejuta tanya  di benaknya.

 

Kuhampiri Ibuku yang sudah duduk di ruang  keluarga, dan aku duduk di hadapannya.

 

Ibu menatap dalam iris mataku, seolah beliau hendak menyelami isi hatiku. Mata wanita yang  sangat aku hormati ini begitu teduh.

 

“ Ada apa, Bu?”  tanyaku  sambil kupegang erat tangan yang penuh kasih.

 

“Kamu sedang ada masalah ya, sama istrimu?” tanya  Ibu penuh dengan kekhawatiran.” Coba kamu cerita sama Ibu, jangan ada yang dirahasiakan biar semuanya jelas,” sambungnya lagi.

 

“Iya, Bu .... Aku sudah

 tidak mencintai Indira lagi, aku sudah bosan. Dan aku ingin berpisah dari dia,” ucapku  penuh drama berharap mendapatkan dukungannya.

 

“Coba kamu kasih alasan yang logis pada Ibu!”  desaknya,  tatapannya  begitu sendu seakan beliau tidak rela aku akan menceraikannya. Ibu begitu menyayangi Indira seperti anaknya sendiri.

 

“Dia  sudah tidak menarik lagi, dan juga dia tidak punya penghasilan, Bu.  Aku  pengen  punya istri yang bekerja, punya pengh*si*an agar hidup kami seimbang, kebutuhan kami sehari-hari banyak,”  terangku  dengan lesu  sambil mendengkus.

 

“Buat bay*r cicilan mobil, cicilan rumah, belum lagi kebutuhan dapur, susu dan pampers Manaf. Pusing, Bu, aku memikirkannya sendiri. Dengan g*jiku yang segitu-segitu  aja, tanpa ada uang lembur. Mana cukup, Bu!” belaku dengan sedikit emosi.

 

“Nak, Ibu kasih tahu ya, dengarkan Ibu!” pintanya.

 

“Kalau soal istrimu tidak menarik lagi, itu tergantung bagaimana kamu memperlakukannya. Indira di rumah sendirian mengurus semuanya tanpa pake jasa ART, itu semua menyita waktunya untuk sekedar memakai make_up, apalagi untuk perawatan,” petuahnya sambil memegang pundakku.

 

“Masa sih, Bu, tidak bisa. Kan, sebentar agar terlihat cantik di depan suaminya? Ah, bisa-bisanya dia aja, bilang aja kalau dia malas,” protesnya dengan membuang muka ke samping.

 

“Terus yang kedua tentang istrimu yang tidak punya pengh*si*an. Suami itu kepala rumah tangga yang   bertanggung   jawab atas semuanya. Jadi, istrimu tidak wajib kerja. Dan soal kebutuhanmu yang banyak, kamu bisa bicarakan berdua dengan istrimu baik-baik,” sambungnya lagi, aku masih mendengarkan meskipun tak sepenuh hati.

 

“Bu, aku mencintai wanita lain, dari setahun yang   lalu dan ingin segera menikahinya,”  terangku sambil  tertunduk.

 

“Siapa wanita itu?”  tanyanya  dengan   netra matanya mengembun.

 

“Di_dia Kamila, Bu. Dia mantan pacarku waktu SMA,” jawabku sedikit gugup.

 

“Apa yang kamu suka dari dia,  Nak?”  berangnya  dengan  menatapku tajam.

“Dia cantik, mempesona, dan wanita karir.  Kamila wanita yang mandiri dan sudah mapan secara fin*nsial. Kalau aku nikah sama dia,  aku nggak akan pusing soal ke*ang*n, Bu,”  belaku  dengan  serius. Namun, Ibu berlalu meninggalkanku  sendiri tanpa  sepatah kata pun.

 

“Bu ....  Berarti, Ibu tidak merestui hubunganku sama Kamila?” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status