BAB 4
Indira masuk kamar mandi, membasahi tubuhnya di bawah guyuran shower. Terisak, hanya itu yang bisa dia lakukan. Wanita yang berkulit kuning langsat itu hanya memendam semua rasa yang menyesakkan dada. Ingin berteriak sekeras mungkin, agar beban pikirannya sedikit berkurang. Sebenarnya dia sudah mulai bosan dengan hubungan rumah tangga yang tidak sehat ini. Ingin menyerah tapi dia memikirkan nasib anaknya. Kalau mereka berpisah, Manaf akan kehilangan sosok ayah, dan kurang kasih sayang dari ayahnya. Istri dari Revan ini berpikir dua kali untuk mengakhiri pernikahannya. Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara pintu kamar mandi diketuk, Mas Revan memanggil. “Indira, kamu sedang apa di dalam kenapa lama banget? Mas sudah tak tahan,” panggilnya dengan suara yang terdengar manja.“Sudah tak tahan?” Ia Mencoba mengulang ucapannya. Menerka apa maksudnya. “Mas mau apa? Kalau mau buang hajat, sana ke kamar mandi belakang saja, aku belum selesai mandinya,” umpatnya sambil tertawa geli. “Bukan yang itu, Sayang!” jawabnya terdengar sambil terkekeh.“Terus apa?” timpalnya pura-pura tidak paham maksudnya.“Kita sudah seminggu, tidak ...,” Mas Revan menjeda ucapannya, malu hati mau mengutarakan hasrat bercintanya kepada Indira, karena akhir-akhir ini dia sering marah tak jelas kepada istrinya.Tak lama, Ibu dari Manaf ini keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk yang dililit ke tubuh jenjangnya. Kulit yang bersih, paha yang mulus, membuat lelaki yang bertubuh tinggi itu membulatkan matanya dengan mulut terbuka. Mas Revan menelan salivanya melihat pemandangan yang menggiurkan. “Mas, kenapa bengong?” Indira menaik turunkan tangannya di depan wajah suaminya, lepas itu baru dia berkedip. Tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, tangan lelakinya langsung melingkar di pinggangnya. Lalu memeluknya, dan mulai melancarkan aksinya dengan mendaratkan bibirnya di bibir tipis istrinya hingga ke leher. Wanita cantik itu terdiam, sesekali m*ndes*h karena r*ngs*ngannya. Dia tidak bisa menolak, karena ini adalah kewajibannya sebagai istri yaitu melayani suaminya, meskipun hatinya sedang tidak baik-baik saja. “Tubuhmu harum dan s*ksi, Mas jadi tergoda,” bisiknya di telinga istrinya dan membuatnya terbuai.“Gombal,” balasnya.Diam, sunyi, hanya suara d*sah*n yang saling bersahutan menggema di kamarnya, hingga akhirnya mereka selesai menuntaskan aktivitas berc*nt*nya. Keesokan harinya, Mas Revan memulai aktivitas seperti biasa. Pagi-pagi sudah siap berangkat kerja dengan tubuh yang bugar. Sarapan sudah terhidang di meja, tidak ketinggalan segelas susu hangat. Manaf tak biasanya bangun pagi, kali ini dia bangun lebih awal untuk menemani orang tuanya sarapan. Setelah sarapan, suaminya langsung menyambar tas yang ada di nakas. Indira mengantar lelaki ganteng itu sampai teras hingga roda empat yang dikemudikannya keluar dari halaman rumahnya.***Hari sudah mulai senja, awan hitam tiba-tiba menutupi langit, pertanda akan turun hujan. Benar saja, tidak lama hujan turun begitu deras, hanya saja tak ada petir atau kilat. Tak berselang lama, ponselnya berdering. Mencoba melihat benda pipih berbentuk kotak itu di atas nakas, memastikan siapa yang menelefon. Apa mungkin suaminya yang mau mengabari kalau tidak bisa pulang cepat karena hujan lebat. Ternyata yang telefon Sinta, dia sahabatnya yang kerja di Restoran siap saji.[Halo, In, kamu baik-baik saja kan, sama suamimu?]Indira bingung, kenapa sahabatnya tiba-tiba menanyakan itu, apa maksudnya?[Sinta, memangnya ada apa?][Maaf In, sekarang aku lihat suamimu lagi sama wanita lain di Restoran ini][Ya, mungkin itu teman kerjanya, dan sekarang kan, hujan, jadi mereka berteduh][Kaya bukan sama teman, mereka mesra lho, sambil pegangan tangan segala, tatapannya juga beda In][Ya sudah, kalau kamu tidak percaya, aku video call ya?]Tidak lama, video call masuk, pikirannya tak menentu, aliran darahnya mengalir deras, dan degup jantungnya berpacu cepat. Lalu Indira menggeser tombol hijau di ponsel. Mulutnya menganga, tersentak, dibekapnya mulut itu saat di layar ponsel terlihat jelas suaminya sedang meminang teman wanitanya. Yang tak habis pikir, Mas Revan berlutut di hadapan wanita itu sambil menyematkan cincin berlian di jari manisnya. Indira tidak bisa berkata-kata melihat apa yang ada di depan matanya sendiri, meskipun melalui layar ponsel. [Kamu baik-baik saja kan?]” tanya Sinta cemas. Dia tidak menyahut, lidahnya kelu.[In, aku tutup ya, kamu tenangi diri dulu,” ujar Sinta. Video call pun dimatikan tanpa dia menunggu persetujuannya.[In, maaf, ya aku sudah membuatmu sedih, bukan maksudku ikut campur rumah tanggamu. Tetapi, sebagai sahabat aku tidak mau kamu dibohongi suamimu terus,” pesan dari Sinta setelahnya.[Iya, tidak apa-apa, dan terima kasih ya atas infonya,]” balasnya lagi.Sahabat dari Sinta ini begitu sedih, bingung harus berbuat apa. Lelaki yang begitu ia cintai dan hormati, tega menyakitinya. Bulir-bulir bening jatuh dari sudut matanya, dadanya terasa sesak seperti ada batu besar yang menindihnya hingga sulit tuk bernafas. Ibu satu anak ini mulai memikirkan, andai kejadian yang tidak diinginkan terjadi, yaitu perpisahan. Dia bingung, harus tinggal di mana, karena dia merasa tidak punya keluarga hidup di kota ini. Dulu Indira tinggal di panti asuhan , sebelum Mas Revan menikahinya. Dan lagi, Indira tidak mempunyai u*ng tab*ng*n. Semua urusan dapur, keperluan rumah tangga, tersedia semua. Indira tinggal memakainya saja. Jadi, pikirannya dulu tidak perlu men*bung, kalau pun ada yang mau dibeli, tinggal ngomong sama suaminya, pasti dibelikan. Indira tidak berpikir jauh ke depan, kalau sesuatu yang buruk bisa saja terjadi, seperti sekarang ini. Suaminya memiliki wanita lain, bisa saja dirinya ditalak lalu di usir dari rumahnya. Hujan sudah berhenti, suara deru kendaraan Mas Revan masuk ke halaman rumah. Tidak lama kemudian suara bel berbunyi, ia bergegas membukanya. Dalam hatinya, ingin rasanya memaki dan menampar wajahnya untuk mengobati kekesalannya. Tetapi, urung dia lakukan. Dia ingin membicarakannya dari hati ke hati, menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Dia tidak ingin anaknya terus-terusan mendengar pertengkaran orang tuanya, takut jadi trauma. “Mas, kamu kenapa pulang senyum-senyum? Apa kamu lagi bahagia?” sindirnya.“Enggak, enggak apa-apa, cuma tadi di jalan ada Badut joget-joget,” kelitnya masih dengan senyum yang menyungging. Padahal dia lagi bahagia karena telah melamar wanitanya, Indira pura-pura tidak tahu. “Mas, kamu kenapa sekarang jadi suka bohongi aku? Padahal dulu kamu itu jujur, semua serba diceritakan, tanpa ada yang ditutup-tutupi,” batinnya menangis, melihat suaminya sudah menduakannya. “Memangnya lucu y! Garing banget sih!” Nadanya agak kesal sambil komat- kamit mulutnya.“Kenapa kamu yang sewot? Sudahlah, Mas mau mandi dulu.” Dia berlalu menuju kamar mandi. Sebenarnya, Indira sudah tak sabar ingin menanyakan soal perempuan itu, dan meminta kejelasan tentang hubungan rumah tangganya yang renggang. Setelah suaminya duduk santai di depan TV, Indira menyuguhkan secangkir kopi. “Mas, ak_aku ma_mau nanya sesuatu,” ucapnya gugup, takut suaminya marah.“Mau tanya apa, bicara saja!” balasnya santai karena hatinya lagi berbunga dan mengira istrinya nggak tahu.Sambil menunjukkan video yang sudah dikirim sahabatnya.” Ini maksudnya apa? Apa Mas serius?” “Kamu dapat video ini dari mana? Apa kamu memata-matai, Mas?” bentaknya dengan volume naik satu oktaf.“Jawab saja Mas, aku tidak akan marah walaupun itu benar,” timpalnya dengan sendu, ada gurat kecewa yang tersirat dari senyumnya. “Maafkan, Mas, Indira. Mas mencintainya, dan Mas juga mencintaimu. Mas ingin memiliki keduanya,” lirihnya dengan menatap ke arahnya. “ Jangan serakah kamu, Mas! Sekarang kamu pilih, aku atau dia?!“Tuh, cewek kasihan banget ya, jidatnya sampai berdarah gitu,” cerita cewek yang lewat ke temannya.“Siapa suruh jadi pelakor, gue aja kalau jadi istrinya sudah kucakar-cakar wajahnya. Pake jilbab tapi kelakuan minus,” celetuk yang lainnya menimpali.Abi menajamkan pendengarannya agar suara mereka terdengar jelas. Dia takut kalau yang mereka ceritakan itu Indira karena sudah 15 menit ke toilet tapi belum kembali.Lalu lelaki tampan nan mapan itu bergegas ke toilet untuk mengecek kebenarannya. Ternyata memang benar, di toilet wanita terjadi keributan. Abi langsung menerobos kerumunan sambil netranya memutar mencari keberadaan kekasihnya.“Hentikaaaan!” teriaknya sambil memeluk tubuh kekasihnya dari belakang dan satu tangannya ke atas sebagai tanda menghalangi dari amukan mereka yang terprofokasi Kamila. Indira kini berada di pelukan sang kekasih sambil digandengnya keluar dari kerumunan.
“A—bi, ma—af, bu—kan mak ...,” Panji tak melanjutkan ucapannya karena Abi segera memotongnya.Abi tersenyum menatap Panji, wajahnya terlihat santai. Tak ada gurat emosi atau kecewa. Hari ini entah dapat angin dari mana, Abi menunjukkan sikap yang penyabar. Tak seperti biasanya yang gampang terpancing emosi dan cemburu. Justru sebaliknya, Indira begitu tegang dan gugup terlihat dari guratan dahinya serta netranya yang fokus memantau situasi.“Udah, santai aja. Aku gak marah, kok. Yang penting nanti kalau aku dan Indira sudah menikah, kamu jangan coba-coba meng-go-da-nya!” Abi menatap lekat wajah kekasihnya sambil tersenyum, tapi wanita cantik itu membalasnya dengan memasang wajah penuh tanya.“Ada apa dengan dia? Tumben banget sok bijak kayak gitu, apa jangan-jangan dia kesambet?” dalam hatinya penuh teka-teki.“Ma—af, Ji. Aku menganggapmu sebagai sahabat baikku, tidak lebih karena aku hanya menc
“Pi ..., kenapa anak kita belum pulang juga, ya? Apa di kantor lagi banyak kerjaan?” Wajah Mami terlihat tegang, netranya menyisir ke arah ruang tamu berharap putrinya muncul dari situ.“Eng—gak, hari ini gak terlalu sibuk. Apa mungkin dia pergi sama Abi, ya?” Papi berjalan mendekat ke arah istrinya sambil menyisir rambutnya yang terlihat tinggal separo tersisa di kepalanya.Mereka berdua panik, padahal malam ini mau ada pertemuan dua keluarga dari pihak Abi mau datang ke rumah Indira. Namun, sampai detik ini putrinya belum kunjung pulang dari kantornya.“Coba Papi telefon anak kita, dia lagi di mana?” Nyonya Sukma sambil berjalan bolak balik seperti Siti Hajar yang lagi mencari air dari bukit sofa ke bukit marwa dengan pikiran limbung.“Iya, tunggu sebentar,” Tuan Presdir mencoba menghubungi putrinya , tapi berkali-kali tak di angkat. Kemudian langsung menelefon Abi untuk menanyakan
Revan menatap Abi dengan tatapan gak suka, dia begitu cemburu saat melihat kebersamaannya seakan tak rela ada lelaki lain mendekati mantan istrinya. Lalu Revan mengajak berbicara empat mata di depan ruangan ibunya dirawat. Mereka berdiri berseberangan.“Gue mau loe jauhi Indira, karena gue mau mengajaknya rujuk demi Manaf!” Wajahnya begitu serius dan netranya nanar menatapnya.“Kalau gue gak mau, gimana?” Abi tersenyum tipis menanggapi ucapannya tanpa menatap ke arahnya.“Jangan nunggu gue berbuat kasar sama loe, gue gak main-main!” Matanya melotot ke arahnya dengan wajah merah menahan emosi seraya menunjuk satu jari ke wajahnya.“Dasar cowok aneh!” Abi tersenyum getir sambil menyalakan rokok yang ia keluarkan dari saku celana lalu menghisapnya.Buugg!!Seketika bogem mentah melayang ke wajah Abi, membuatnya terhunyung ke samping. Tak terima dengan sikap kasarnya, lalu Abi me
“Mas A_ bi? “ sapanya dengan menarik kedua ujung bibirnya ke atas.Abi hanya tersenyum membalas panggilannya. Rona bahagia terpancar dari sorot mata dan wajah keduanya. Sekian minggu tak bertemu membuat keduanya memendam rindu yang membuncah, begitu tersiksanya karena terbelenggu oleh rindu.“Mas, kenapa ke sini? Kalau Papih sampai tahu bagaimana?” tanyanya dengan perasaan takut dan khawatir.“Tenang saja, tadi Mas sudah menemui papihmu dan ngomong baik-baik. Lalu Beliau sudah mengizinkan Mas untuk selalu menjaga dan mendampingimu, wanita cantik yang Mas sayangi,” balasnya seraya mencolek dagunya lalu menggenggam erat jemarinya dan netranya tak lepas menatapnya.Membuat wanita yang berhijab nan cantik itu tersipu malu hingga pipinya merona. Tak berselang lama, Pak Presdir lewat kemudian melihatnya dan langsung menghampirinya.“Ehemm .... “ Beliau tersenyum melihat keakraba
Tuan dan Nyonya Gunadi datang bersamaan ke kamar putrinya. Mereka hendak menanyakan sikapnya yang begitu cuek dan jutek tiap kali bertemu Revan. Kemudian mereka masuk setelah diizinkan olehnya. Lalu duduk bersama di sofa kamarnya.“Nak, kami mau tanya, apa kamu masih mencintai Revan, dan ingin kembali rujuk demi Manaf?” tanya mereka seraya menatap lekat putrinya.“Maaf, Mih, Pih, rasa cinta itu perlahan pudar seiring sikapnya yang sudah keterlaluan sama aku. Aku tidak bisa rujuk dengannya, hati ini masih sakit atas pengkhianatannya. Perlu kalian tahu, pipi ini sudah sering jadi sasaran kemarahannya. Dan aku berapa kali hampir diperk*s* oleh majikanku saat kerja jadi ART. Tak ada yang menolongku saat itu, aku menangis sendirian dalam ketakutan dan kepedihan hidup,” terangnya dengan linangan air mata dan netranya menyiratkan kesedihan yang mendalam.“Astaghfirulla