Part 14Aku pulang ke rumah kontrakan. Karena jarak dari rumah mertua ke kontrakan lebih cepat dibanding ke rumah Ibu. Selain itu, aku ingin menenangkan diri. Tidak mau jika keluarga sampai tahu masalah ini. Meski belum mengetahui rahasia yang sebenarnya, tetapi setidaknya aku sudah melihat bahwa Ema diterima baik oleh keluarga itu. Kalaupun diantara kedua insan tersebut tidak ada hubungan apapun, seharusnya mereka menghargai perasaanku. Bagaimanapun, Ema adalah mantan pacar Mas Fahmi. Berbaring dan membungkus badan yang dingin karena kehujanan sambil menangis. Merasakan sungguh malang apa yang menimpa saat ini. Setelah membaca banyak dzikir, akhirnya mata ini bisa terpejam. Mas Fahmi sudah ada di rumah saat aku bangun. Sepertinya dia lewat jendela. Saat mataku terbuka ternyata sudah lewat Maghrib. Begitu lama aku terlelap. "Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Hanum!" Kalimat pertama yang diucapkan saat aku duduk dan kesadaranku kembali pulih. "Tidak bisakah kamu membuat a
Part 15POV FAHMIHanum Rahmadiyanti. Sebuah nama yang cantik seperti perilakunya. Pribadi yang santun, penyabar, lemah lembut dan juga dia perempuan yang mapan secara pekerjaan. Seseorang yang menerimaku sebagai suaminya meski saat ini aku masih berstatus sebagai guru honorer.Meski ia memiliki gaji, tetap saja, kebutuhan setiap bulan menjadi tanggunganku sebagai seorang suami. Aku tidak pernah membiarkan Hanum menggunakan uangnya untuk kebutuhan keluarga. Oleh sebab itu, selain mengajar, aku memiliki bisnis menjadi distributor kain jahit. Kakakku bekerja di sebuah perusahaan garmen, sehingga dengan mudah aku bisa mengambil barang yang akan kujual dari pabrik.Seringkali Hanum membahas soal Ema. Mantan kekasih yang sangat aku cintai dulu. Tidak. Bahkan sampai sekarangpun, aku masih mencintainya. Cintaku terbagi dua, untuk Ema juga Hanum. Kedua wanita itu memiliki arti yang berbeda dalam hidupku. Aku tidak bisa melupakan begitu saja Ema, meski kini sudah memiliki Hanum, istri yang te
Part 16POV Hanum"Saya minta maaf, Hanum. Saya panik karena kemarin kamu teriak-teriak. Setelah kejadian itu, saya memarahi Fahmi dan menyuruhnya pulang," kata Mas Wahyu.Mbak Santi duduk menengahi aku dengan Mbak Wanti sementara itu, Mas Fahmi dan Mas Wahyu duduk bersandar pada tembok beralaskan lantai.Meski sama-sama mengusap punggung menggunakan telapak tangan, tapi ucapan Mbak Santi terasa tidak nyaman. Tubuhku lebih mendekat pada Mbak Wanti yang ada di sebelah kanan. Kepalaku terus menunduk. "Kamu tahu, pada setiap keluarga pasti akan ada sebuah kesalahpahaman, akan ada sebuah perselisihan. Itu pasti. Seperti kata pepatah mengatakan, tak ada gading yang tak retak. Itu artinya bahwa tidak ada hubungan yang berjalan lancar tanpa ada sebuah konflik. Konflik itu bisa terjadi antara istri dengan suami, istri dengan saudara iparnya, istri dengan mertua, suami dengan mertua, suami dengan iparnya, istri dengan teman-teman suaminya juga sebaliknya, suami dengan teman-teman istrinya. N
Part 17"Hanum, kakakmu tidak bisa dihubungi. Bagaimana ini?" Aku mendengar suara itu, tapi aku tidak bisa berpikir apapun. Mereka pasti tahu, bagaimana cara menanganiku. Masalah tidak ada keluarga yang mendampingi, tak mengapa. Aku sudah merasakan yang jauh dari sekedar merasa hidup sendiri. "Pembukaan sudah tujuh," kata bidan yang memeriksa. Rasanya semakin sakit saja. Kontraksi hanya berselang beberapa detik. Tidak sampai setengah jam setelah pembukaan tujuh, rasanya seperti ingin buang air besar. "Tahan, jangan mengejar! Dicek dulu pembukaan berapa. Hasna, dokter ada 'kan?" ujar salah satu orang. Aku sudah tidak terlalu tahu itu siapa. Dalam hati terus berdzikir menyebut namaNya. Allah, Allah, Allah, Allah, Allah. Hanya itu yang terus terucap. Air mata sesekali jatuh membasahi pipi ini. Dengan tanganku sendirilah aku mengusap. "Pembukaan lengkap.""Keluarganya belum datang?""Gak ada yang bisa dihubungi,""Terus bagaimana ini?""Ya harus dilahirkan. Masa dibiarkan di dalam
Part 18Empat puluh hari sudah terlewati, kini keadaanku sudah lebih baik dari semula. Lelah. Berjuang sendirian mengatasi hati dan pikiran yang koyak. Seperti ini ternyata rasanya tertekan. Untung saja aku masih waras dengan tidak melakukan hal-hal apapun terhadap Abhi, anakku yang sudah terlihat gemuk--seperti cerita kebanyakan wanita tertekan di luaran sana. "Kita jadi pindah ke rumah kita, 'kan?" tanya Mas Fahmi tepat setelah Abhi habis dicukur rambutnya."Aku masih mau di sini," jawabku. Ini adalah kali pertama aku berbicara padanya. "Kamu boleh kembali ke sana kalau mau. Aku tidak melarang.""Hanum, akhirnya kamu bicara denganku," kata Mas Fahmi bahagia. Aku kembali diam. Bermain dengan bayiku. Selama ini, Mbak Hani, juga Mbak Rima--istri kakak pertama--sebenarnya sering bertanya tentang keadaanku. Mengapa aku seperti berbeda. Namun, aku hanya menjawabnya dengan kalimat, aku lelah setelah hamil sembilan bulan. "Hanum, maaf, kamu ada uang?" tanya dia lagi. "Uang buat apa?"Ma
Part 19Aku melirik jam di tangan. Sudah pukul sebelas siang. Sudah terlalu lama keluar rumah. Namun, hal yang sudah dimulai harus dituntaskan. Aku harus kembali ke daerah dimana tadi menemui Ema. Karena rumah Ema tidak jauh dari tempatnya mengajar. Jika mengendarai motor dari sekolah Mas Fahmi, maka jaraknya tidak sejauh dari rumah kontrakannya. Sebuah rumah yang tidak mewah. Aku memarkir kendaraan di halaman yang tidak luas. Sebelumnya, telah membeli cemilan untuk oleh-oleh. Dengan hati berdebar, aku mengetuk pintu yang tertutup. Seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Ema membukakan pintu."Cari siapa, Mbak?""Ah, saya cari Ema, Bu,""Ema belum pulang. Mau menunggu?""Iya. Bolehkah?" tanya Hanum sopan. "Boleh. Silahkan masuk, Mbak ...."Aku masuk dan mengamati ruangan yang sederhana itu. Ema bukan berasal dari keluarga berada. Secara ekonomi sepertinya lebih mending keluargaku. "Mbak ada perlu apa ya?" tanya ibu Ema. "Ah, mau main saja, Bu. Mau antar barang Ema yang ketingg
Part 20Malam itu Mas Fahmi tidak pulang. Aku menunggu dia datang dan marah-marah agar orang rumah tahu tanpa aku harus capek-capek menjelaskan dari awal. Namun nyatanya, batang hidung Mas Fahmi tidak kelihatan. Tidak ada lagi pesan marah-marah yang aku terima dari mereka berdua. Sesekali kutatap wajah polos Abhi yang terlelap. Sungguh aku pun tidak menginginkan hal ini terjadi. Bayi yang baru lahir yang seharusnya sedang mendapat perhatian dan kasih sayang dari banyak orang, tapi dia melalui hari dengan sendirian tanpa aku mengajaknya bermain. Pikiranku tersita dengan masalah Mas Fahmi juga Ema. Aku memeluknya erat. Merasakan detak jantungnya di dada ini. Seharusnya Abhi saat ini ditemani ibu dan ayahnya yang menimang dengan bahasa kasih sayang. Wahai Allah, apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua? Tunjukkanlah kebenarannya, agar aku tidak larut dalam situasi yang membingungkan seperti ini. *Tiga hari Mas Fahmi tidak pulang. Mbak Hani yang juga sudah curiga dengan keada
Part 21"Mau mengelak apa lagi kalian?" Dengan tertatih berusaha untuk berdiri, aku berkata demikian. "Ema, kamu datang sama siapa?" tanya Mas Fahmi. "Berhenti bersandiwara Fahmi! Aku muak!" kataku.Ema mematung di depan pintu yang sudah ditutup. "Benar apa yang dikatakan teman-temanku ternyata. Ada seorang perempuan yang sedang menunggu suamiku di ruangan ini. Perempuan murahan yang mengganggu suami orang. Perempuan gatel yang sepertinya sudah tidak laku lagi bila dijual. Perempuan yang tidak punya harga diri karena rela menjadi simpanan suami orang padahal dia masih perawan. Betulkan, Ema?" kataku sinis. Aku tahu, yang tadi terucap adalah bahasa yang sangat kasar. Namun, dengan hal ini barangkali Ema akan terpojok lalu berkata jujur. "Hanum! Jangan berkata seperti itu!" Mas Fahmi membentak. "Kenapa diam, Ema? Kamu mengakuinya 'kan? Kamu sadar bila kamu memang wanita murahan, wanita rendahan, perempuan tidak laku?" Aku masih membatasi volume suara karena takut terdengar dari l