“Bisa enggak sih bilangin sama istrimu kalau mau nyuci jangan pakai banyak air. Boros tahu enggak, sudah tahu air mahal. Besok-besok kalau cuci sedikit, pakai tangan aja. Heran enggak bisa banget diajak susah! Apa-apa pengennya pakai mesin.”
Aku baru saja datang dari warung tetangga, tetapi suara ibu yang lantang bahkan terdengar dari tetangga yang jaraknya dua rumah. Sekarang orang-orang yang saat itu tengah berkerumun di rumah Endah, tetangga sebelah rumah jadi menatapku dengan canggung, aku hanya tersenyum mengangguk sebentar, lalu kembali meneruskan langkah.
Sudah hal biasa Ibu mertuaku berteriak-teriak menyindirku. Namun, meski begitu tetap saja rasanya sakit.
“Lain kali aku akan cuci manual, maaf,” ucapku yang membuat Ibu mertuaku terdiam.
Sambil menata beberapa sayuran yang baru saja aku beli. Kang Dadan menghampiriku dan mulai memberikan pengertian untuk ke sekian kali.
“Ngalah aja ya Dek, ibu sudah tua. Kadang apa aja dikomplen, aku aja dulu begitu dari kecil sampai tua segini masih aja kena omel.”
Masalahnya aku dan kamu berbeda. Kamu darah dagingnya. Sedang aku hanya menantunya, orang yang baru-baru ini tinggal serumah dengan kalian.
“Dek kamu marah, ya?”
Aku hanya menggeleng, bukan marah. Kalau memang aku bisa marah tentu saja sudah kubanting peralatan di sini. Namun, apalah daya jika rasa hormat padamu jauh lebih besar dibandingkan amarahku kali ini. Hanya saja aku malu pada tetangga kita.
Apa salahnya mencuci dengan mesin? Aku membelinya, karena memang untuk menghemat waktu. Aku bekerja di luar dan hanya punya sedikit waktu untuk pekerjaan rumah tangga yang seperti tak pernah ada habisnya.
“Lain kali aku akan bilang sama Ibu, untuk jangan seperti itu lagi.”
“Lain kalinya kapan? Kamu selalu enggak bisa menyanggah pernyataan ibumu bukan? Sudahlah lupakan saja, lagi pula aku enggak mau membuat Akang jadi anak yang durhaka.”
“Dek kok ngomongnya begitu? Tolong jangan bikin Akang jadi serba salah, bukannya enggak mau belain kamu, tapi tahu sendiri kalau Ibu semakin disanggah malah makin menjadi-jadi. Dia akan semakin menyalahkanmu, membuat keadaan makin parah.”
Hal itu memang benar adanya, dulu Kang Dadan pernah membelaku, tetapi yang terjadi Ibu ngambek sampai tidak mau makan sama sekali. Dia mengunci dirinya di kamar selama itu. Padahal, jelas-jelas ia memfitnahku mencuri uangnya. Padahal, ia yang lupa menaruhnya. Ia bilang ke semua orang, kalau akulah pencurinya.
Bukannya minta maaf padaku, ia malah marah dan mengunci diri saat Kang Dadan menegurnya. Ia menuduhku mengadukan banyak hal yang tak ada buktinya. Ia ingin aku minta maaf. Saat itu aku memang bertahan untuk tak minta maaf, bukan apa-apa aku hanya tak tahan menjadi gunjingan setiap kali aku lewat di sekitaran kompleks.
Lagi pula untuk apa aku mengambil uang yang jumlahnya tak seberapa padahal, uang hasil jualanku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahkan keinginanku. Kalau saja bukan Kang Dadan yang menangis di depanku, rasanya aku ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga.
Namun, tak ada yang lebih menyakitkan dari semua itu saat ia selalu saja mengataiku menantu sampah, hanya karena di awal pernikahan aku tidak bisa melakukan beberapa pekerjaan rumah yang dianggapnya tidak benar. Ada kalimat yang sampai hari ini masih kuingat. Kupikir rasanya sudah tertanam di benakku. Suatu hari aku mendengar ibu tengah bergosip di warung sayur, hingga kemudian aku datang untuk membeli beberapa bumbu masak yang kurang, wanita itu berkata dengan lantangnya sambil bekacak pinggang.
“Duh saya punya menantu kayak sampah!” ucap ibu kala itu. sontak saja semua orang di sana tercengang, tetapi bukannya meminta berhenti. Mereka malah semakin memancing ibu untuk bercerita banyak hal.
“Loh kok bisa,Bu ? Eh, orang cantik gitu, dibilang sampah, bagaimana sih Bu!”
“Alah cantik doang buat apa kalau nyapu enggak bersih, mana ngepel aja maju! Keinjek lagi dong lantainya! Haduh saya tuh tiap hari saya sampai pakai koyo, punya mantu bukannya tambah enak. Malah capek, rumah saya yang bersihin, masak aja sama saya. Dia mana bisa masak? Sekalinya masak malah nyuruh suaminya. Ih najis banget! Bisa-bisanya si Dadan nyari istri yang enggak bisa ngapa-ngapain. Padahal, saya berharapnya Dadan nikah sama Nining, dia juga cantik, pintar masak. Bisa nandur di sawah, angon bebek juga tuh lihat anakannya sudah besar-besar. Lah ini, malah dapet orang kota, saban hari kerjanya maen hp!”
Kau tahu aku sampai mengurungkan niatku membeli beberapa bumbu masak yang masih kurang. Padahal, saat itu aku bahkan sedang memasak hidangan untuknya. Lucunya suamiku justru kerap kali memuji masakanku yang jauh lebih enak dari buatan ibunya yang selalu keasinan. Aku juga tidak sepolos itu sampai-sampai tak tahu cara membersihkan lantai dengan benar. Entah kenapa dia memfitnahku sampai seperti itu.
~
Sekarang 1 masalah selesai, suamiku malah mengikutiku sampai ke dapur lagi. Entah kenapa dia tak bisa mengertikan posisiku yang serba salah ini.
“Aku sibuk, mau masak. Bisa enggak kalau Akang tunggu di depan aja?” pintaku
“Kamu enggak mau Akang bantuin? Kenapa? biasanya juga Akang bantuin, sudahlah mana yang harus dibersihkan, sini biar cepat selesai. Akang sudah lapar!”
Tanpa memedulikan celotehku. Pria itu dengan sigap membuka kantong plastik dan mulai mengeluarkan ikan segar. Namun, entah kenapa denganku yang saat itu tengah dilanda emosi, langsung saja menarik paksa ikan-ikan segar itu. Hingga membuat sebagian menggelepak di lantai keramik.
Kang Dadan tampak sangat terkejut dengan aksiku kali ini. Biasanya aku memang tak pernah berbuat sekasar ini, apalagi sampai membuat dapur menjadi berantakan.
“Sudah kubilang ‘kan Akang pergi aja!”
Saat itu entah kenapa aku begitu emosional. Emosiku bergemuruh, bahkan saking cepatnya degup jantungku rasanya sesak sekali. Di saat aku masih berusaha mengatur degup jantung, sambil menangkap beberapa ikan yang menggelepak di lantai Ibu Een, mertuaku datang ke dapur.
“Apa sih kalian ini? udah masak dibantuin masih aja berantakan. Ya Allah itu ikan malah dibiarin ke bawah. Kotor! Jorok banget sih kamu, Yasmin!”
Aku baru saja menarik napas perlahan, ketika ikan-ikan itu telah berhasil aku masukkan ke dalam wadah yang besar. Namun, teriakan ibu lagi-lagi kembali menyulutkan amarah.
“Sudah kubilang ‘kan, seharusnya kalau Akang dari tadi pergi. Enggak akan kejadian kayak gini!” bisikku pelan.
Saat itu memang Kang Dadan masih membantuku membereskan kekacauan di dapur. Entah kenapa ia menjadi bebal, tak mau mendengar apa yang kuminta. Tak bisakah ia mengerti kedekatannya padaku, hanya akan memancing rasa cemburu ibu.
Justru hal itu hanya kana mempersulit keadaanku di sini.
“Biar Akang yang ngomong!”
Aku lekas mencengkeram tangannya kuat-kuat. Sambil menatapnya dengan mata yang menggenang, bahkan kini pandanganku sedikit kabur karenanya. Bagaimana mungkin aku membiarkan seseorang terus menginjakku, padahal dulu bahkan 1 orang pun tak akan kubiarkan bisa tenang jika berani menyinggungku sekali saja.
“Enggak perlu! Pergi dan jangan dekat-dekat aku lagi!” bisikku.
“Kalian bisik-bisik apa? Bukannya cepat dibereskan. Ituloh air bekas ikannya amis ke mana-mana!”
Entah sejak kapan, Ibu yang semula ada di ambang pintu dapur. Sekarang malah sudah ada di dekatku. Entah kapan dia akan berhenti ingin tahu semua hal, sungguh rasanya aku tak tahan lagi. Menumpahkan semua amarah yang sudah lama sekali aku pendam sendirian.
“Biar aku yang bereskan!” kata Kang Dadan.
Dia ini ingin melakukan apa? Kau tahu, bukan aku tak mau dibantu suami. Namun, jika konsekuensinya 1 kompleks ini jadi tahu apa yang dia lakukan. Wajahku harus ditaruh di mana?
Ibu selalu saja menggosipkanku dengan berlebihan. Jengah, tapi kalau aku berontak itu sama saja dengan mengakhiri pernikahan, karena kurasa memang tak ada solusi bagi kami selain perpisahan.
Kang Dadan dengan sigap mengepel lantai. Dalam sekejap saja lantai sudah menjadi bersih dan wangi, tetapi ibu masih saja menatapku dengan pandangan yang penuh dengan kebencian.
“Laki-laki kok mau-maunya disuruh-suruh istri.”
“Aku enggak pernah minta Kang Dadan bantuin, ibu bisa lihat sendiri Kang Dadan yang mau melakukannya sendiri.”
“Harusnya kamu larang dong! Kamu punya tangan sama kaki, masih sehat wal afiat. Bagaimana kalau sudah tua, kasihan banget anakku masih muda harus ngurusin istrinya yang enggak bisa apa-apa.”
“Bu, sudahlah masalah kecil enggak usah digede-gedein. Orang Dadan cuma ngepel. Lagian Yasmin juga enggak santai-santai aja, dia kan lagi masak.”
“Masak apanya? Orang dari tadi kalian cuma ngobrolin ibu! Emangnya ibu enggak tahu?”
“Memangya ibu dengerin kami bicara apa?” tanyaku.
“Hm, ya enggak gitu toh. Namanya serumah ya pasti tahu. Apaan sih kamu? Mau nuduh ibu nguping? Buat apa juga ibu lakuin itu?”
Saat itu bahkan aku bisa melihat ibu yang sedikit salah tingkah, karena ketahuan mencuri dengar. Namun, nyatanya ia selalu punya cara untuk memutar balik keadaan. Entah kenapa saat melihat perubahan ekpresi ibu yang mendadak sendu dalam sekejap saja, membuatku sangat tidak nyaman.
“Tuh lihat Dan, kamu bagaimana sih? Kok diam aja ibumu dituduh nguping pembicaraan kalian? Hiks, lagian buat apa ibu lakuin itu. Istrimu dari dulu emang enggak pernah suka sama ibu, hiks. Kalau, begini mendingan ibu mati aja, biar kalian bisa bebas. Enggak ada yang gangguin lagi, hiks. Lagian kamu lebih peduli sama orang lain yang baru kamu kenal dari pada ibu yang melahirkan dan merawatmu dari kecil, hiks.”
Wanita itu setengah berlari menuju kamarnya, meninggalkan kami yang kini hanya saling menatap dalam diam.
“Kejar Kang, jangan jadi durhaka hanya karena orang lain yang baru kamu kenal!”
Saat itu aku bisa melihat kebimbangan di wajah Kang Dadan. Aku hanya bisa mendecak, sambil membalikkan badan. Aku sudah tak peduli dia mau membelaku atau ibunya. Aku hanya ingin kedamaian walau hanya beberapa jam saja. Saat itu aku memilih membalikkan badan, meneruskan memetik sayuran yang akan dimasak pagi ini. Sampai terdengar derap langkah seseorang yang semakin menjauh, aku hanya bisa tersenyum miris. Entah siapa yang menciptakan kalimat, yang muda harus ngalah pada orang tua. Rasanya aku sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Setengah jam berlalu, masakanku telah tersaji di meja makan. Namun, sepertinya Kang Dadan belum berhasil membujuk ibunya yang merajuk. Dari arah dapur saja, masih terdengar ketukan pintu yang terus menerus. Seperti biasa, jika salah dan tertangkap basah, jangan berharap ia akan meminta maaf. Bahkan mengakuinya saja, itu adalah hal paling mustahil. Kau tahu siapa yang harus minta maaf? Akulah orangnya, lucu bukan? tapi, beginilah kenyataannya. Hari i
Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. “Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”“
“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”“Sama ibulah, sama siapa lagi?”“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”“Atuh kenapa enggak pulang?”“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”“Terus ibu sendirian?”“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”“Alasannnya apa?”“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu baga
“Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.“Kang, bangun dulu!”Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Yamemang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinyapulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e