Share

AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH
AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH
Penulis: ERIA YURIKA

Bab 1

“Bisa enggak sih bilangin sama istrimu kalau mau nyuci jangan pakai banyak air. Boros tahu enggak, sudah tahu air mahal. Besok-besok kalau cuci sedikit, pakai tangan aja. Heran enggak bisa banget diajak susah! Apa-apa pengennya pakai mesin.”

Aku baru saja datang dari warung tetangga, tetapi suara ibu yang lantang bahkan terdengar dari tetangga yang jaraknya dua rumah. Sekarang orang-orang yang saat itu tengah berkerumun di rumah Endah, tetangga sebelah rumah jadi menatapku dengan canggung, aku hanya tersenyum mengangguk sebentar, lalu kembali meneruskan langkah.

Sudah hal biasa Ibu mertuaku berteriak-teriak menyindirku. Namun, meski begitu tetap saja rasanya sakit.

“Lain kali aku akan cuci manual, maaf,” ucapku yang membuat Ibu mertuaku terdiam.

Sambil menata beberapa sayuran yang baru saja aku beli. Kang Dadan menghampiriku dan mulai memberikan pengertian untuk ke sekian kali.

“Ngalah aja ya Dek, ibu sudah tua. Kadang apa aja dikomplen, aku aja dulu begitu dari kecil sampai tua segini masih aja kena omel.”

Masalahnya aku dan kamu berbeda. Kamu darah dagingnya. Sedang aku hanya  menantunya, orang yang baru-baru ini tinggal serumah dengan kalian.

“Dek kamu marah, ya?”

Aku hanya menggeleng, bukan marah. Kalau memang aku bisa marah tentu saja sudah kubanting peralatan di sini. Namun, apalah daya jika rasa hormat padamu jauh lebih besar dibandingkan amarahku kali ini. Hanya saja aku malu pada tetangga kita. 

Apa salahnya mencuci dengan mesin? Aku membelinya, karena memang untuk menghemat waktu. Aku bekerja di luar dan hanya punya sedikit waktu untuk pekerjaan rumah tangga yang seperti tak pernah ada habisnya.

“Lain kali aku akan bilang sama Ibu, untuk jangan seperti itu lagi.”

“Lain kalinya kapan? Kamu selalu enggak bisa menyanggah pernyataan ibumu bukan? Sudahlah lupakan saja, lagi pula aku enggak mau membuat Akang jadi anak yang durhaka.”

“Dek kok ngomongnya begitu? Tolong jangan bikin Akang jadi serba salah, bukannya enggak mau belain kamu, tapi tahu sendiri kalau Ibu semakin disanggah malah makin menjadi-jadi. Dia akan semakin menyalahkanmu, membuat keadaan makin parah.”

Hal itu memang benar adanya, dulu Kang Dadan pernah membelaku, tetapi yang terjadi Ibu ngambek sampai tidak mau makan sama sekali. Dia mengunci dirinya di kamar selama itu. Padahal, jelas-jelas ia memfitnahku mencuri uangnya. Padahal, ia yang lupa menaruhnya. Ia bilang ke semua orang, kalau akulah pencurinya.

Bukannya minta maaf padaku, ia malah marah dan mengunci diri saat Kang Dadan menegurnya. Ia menuduhku mengadukan banyak hal yang tak ada buktinya. Ia ingin aku minta maaf. Saat itu aku memang bertahan untuk tak minta maaf, bukan apa-apa aku hanya tak tahan menjadi gunjingan setiap kali aku lewat di sekitaran kompleks.

Lagi pula untuk apa aku mengambil uang yang jumlahnya tak seberapa padahal, uang hasil jualanku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahkan keinginanku. Kalau saja bukan Kang Dadan yang menangis di depanku, rasanya aku ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga.

Namun, tak ada yang lebih menyakitkan dari semua itu saat ia selalu saja mengataiku menantu sampah, hanya karena di awal pernikahan aku tidak bisa melakukan beberapa pekerjaan rumah yang dianggapnya tidak benar. Ada kalimat yang sampai hari ini masih kuingat. Kupikir rasanya sudah tertanam di benakku. Suatu hari aku mendengar ibu tengah bergosip di warung sayur, hingga kemudian aku datang untuk membeli beberapa bumbu masak yang kurang, wanita itu berkata dengan lantangnya sambil bekacak pinggang.

“Duh saya punya menantu kayak sampah!” ucap ibu kala itu. sontak saja semua orang di sana tercengang, tetapi bukannya meminta berhenti. Mereka malah semakin memancing ibu untuk bercerita banyak hal.

“Loh kok bisa,Bu ? Eh, orang cantik gitu, dibilang sampah, bagaimana sih Bu!”

“Alah cantik doang buat apa kalau nyapu enggak bersih, mana ngepel aja maju! Keinjek lagi dong lantainya! Haduh saya tuh tiap hari saya sampai pakai koyo, punya mantu bukannya tambah enak. Malah capek, rumah saya yang bersihin, masak aja sama saya. Dia mana bisa masak? Sekalinya masak malah nyuruh suaminya. Ih najis banget! Bisa-bisanya si Dadan nyari istri yang enggak bisa ngapa-ngapain. Padahal, saya berharapnya Dadan nikah sama Nining, dia juga cantik, pintar masak. Bisa nandur di sawah, angon bebek juga tuh lihat anakannya sudah besar-besar. Lah ini, malah dapet orang kota, saban hari kerjanya maen hp!”

Kau tahu aku sampai mengurungkan niatku membeli beberapa bumbu masak yang masih kurang. Padahal, saat itu aku bahkan sedang memasak hidangan untuknya. Lucunya suamiku justru kerap kali memuji masakanku yang jauh lebih enak dari buatan ibunya yang selalu keasinan. Aku juga tidak sepolos itu sampai-sampai tak tahu cara membersihkan lantai dengan benar. Entah kenapa dia memfitnahku sampai seperti itu. 

~

Sekarang 1 masalah selesai, suamiku malah mengikutiku sampai ke dapur lagi. Entah kenapa dia tak bisa mengertikan posisiku yang serba salah ini.

“Aku sibuk, mau masak. Bisa enggak kalau Akang tunggu di depan aja?” pintaku

“Kamu enggak mau Akang bantuin? Kenapa? biasanya juga Akang bantuin, sudahlah mana yang harus dibersihkan, sini biar cepat selesai. Akang sudah lapar!”

Tanpa memedulikan celotehku. Pria itu dengan sigap membuka kantong plastik dan mulai mengeluarkan ikan segar. Namun, entah kenapa denganku yang saat itu tengah dilanda emosi, langsung saja menarik paksa ikan-ikan segar itu. Hingga membuat sebagian menggelepak di lantai keramik. 

Kang Dadan tampak sangat terkejut dengan aksiku kali ini. Biasanya aku memang tak pernah berbuat sekasar ini, apalagi sampai membuat dapur menjadi berantakan.

“Sudah kubilang ‘kan Akang pergi aja!”

Saat itu entah kenapa aku begitu emosional. Emosiku bergemuruh, bahkan saking cepatnya degup jantungku rasanya sesak sekali. Di saat aku masih berusaha mengatur degup jantung, sambil menangkap beberapa ikan yang menggelepak di lantai Ibu Een, mertuaku datang ke dapur.

“Apa sih kalian ini? udah masak dibantuin masih aja berantakan. Ya Allah itu ikan malah dibiarin ke bawah. Kotor! Jorok banget sih kamu, Yasmin!”

Aku baru saja menarik napas perlahan, ketika ikan-ikan itu telah berhasil aku masukkan ke dalam wadah yang besar. Namun, teriakan ibu lagi-lagi kembali menyulutkan amarah.

“Sudah kubilang ‘kan, seharusnya kalau Akang dari tadi pergi. Enggak akan kejadian kayak gini!” bisikku pelan. 

Saat itu memang Kang Dadan masih membantuku membereskan kekacauan di dapur. Entah kenapa ia menjadi bebal, tak mau mendengar apa yang kuminta. Tak bisakah ia mengerti kedekatannya padaku, hanya akan memancing rasa cemburu ibu.

Justru hal itu hanya kana mempersulit keadaanku di sini.

“Biar Akang yang ngomong!”

Aku lekas mencengkeram tangannya kuat-kuat. Sambil menatapnya dengan mata yang menggenang, bahkan kini pandanganku sedikit kabur karenanya. Bagaimana mungkin aku membiarkan seseorang terus menginjakku, padahal dulu bahkan 1 orang pun tak akan kubiarkan bisa tenang jika berani menyinggungku sekali saja. 

“Enggak perlu! Pergi dan jangan dekat-dekat aku lagi!” bisikku.

“Kalian bisik-bisik apa? Bukannya cepat dibereskan. Ituloh air bekas ikannya amis ke mana-mana!”

Entah sejak kapan, Ibu yang semula ada di ambang pintu dapur. Sekarang malah sudah ada di dekatku. Entah kapan dia akan berhenti ingin tahu semua hal, sungguh rasanya aku tak tahan lagi. Menumpahkan semua amarah yang sudah lama sekali aku pendam sendirian.

“Biar aku yang bereskan!” kata Kang Dadan.

Dia ini ingin melakukan apa? Kau tahu, bukan aku tak mau dibantu suami. Namun, jika konsekuensinya 1 kompleks ini jadi tahu apa yang dia lakukan. Wajahku harus ditaruh di mana?

Ibu selalu saja menggosipkanku dengan berlebihan. Jengah, tapi kalau aku berontak itu sama saja dengan mengakhiri pernikahan, karena kurasa memang tak ada solusi bagi kami selain perpisahan.

Kang Dadan dengan sigap mengepel lantai. Dalam sekejap saja lantai sudah menjadi bersih dan wangi, tetapi ibu masih saja menatapku dengan pandangan yang penuh dengan kebencian.

“Laki-laki kok mau-maunya disuruh-suruh istri.”

“Aku enggak pernah minta Kang Dadan bantuin, ibu bisa lihat sendiri Kang Dadan yang mau melakukannya sendiri.”

“Harusnya kamu larang dong! Kamu punya tangan sama kaki, masih sehat wal afiat. Bagaimana kalau sudah tua, kasihan banget anakku masih muda harus ngurusin istrinya yang enggak bisa apa-apa.”

“Bu, sudahlah masalah kecil enggak usah digede-gedein. Orang Dadan cuma ngepel. Lagian Yasmin juga enggak santai-santai aja, dia kan lagi masak.”

“Masak apanya? Orang dari tadi kalian cuma ngobrolin ibu! Emangnya ibu enggak tahu?”

“Memangya ibu dengerin kami bicara apa?” tanyaku.

“Hm, ya enggak gitu toh. Namanya serumah ya pasti tahu. Apaan sih kamu? Mau nuduh ibu nguping? Buat apa juga ibu lakuin itu?”

Saat itu bahkan aku bisa melihat ibu yang sedikit salah tingkah, karena ketahuan mencuri dengar. Namun, nyatanya ia selalu punya cara untuk memutar balik keadaan. Entah kenapa saat melihat perubahan ekpresi ibu yang mendadak sendu dalam sekejap saja, membuatku sangat tidak nyaman.

“Tuh lihat Dan, kamu bagaimana sih? Kok diam aja ibumu dituduh nguping pembicaraan kalian? Hiks, lagian buat apa ibu lakuin itu. Istrimu dari dulu emang enggak pernah suka sama ibu, hiks. Kalau, begini mendingan ibu mati aja, biar kalian bisa bebas. Enggak ada yang gangguin lagi, hiks. Lagian kamu lebih peduli sama orang lain yang baru kamu kenal dari pada ibu yang melahirkan dan merawatmu dari kecil, hiks.”

Wanita itu setengah berlari menuju kamarnya, meninggalkan kami yang kini hanya saling menatap dalam diam.

“Kejar Kang, jangan jadi durhaka hanya karena orang lain yang baru kamu kenal!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
suami lembek kayak bubur dan si istri juga sama aja. ujung2nya g tahan cerai. berbakti sama orangtua dan mertua itu bukannya menerima aja semua perkataan dan tindakan kotornya.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status