Share

Bab 2

Saat itu aku bisa melihat kebimbangan di wajah Kang Dadan. Aku hanya bisa mendecak, sambil membalikkan badan. Aku sudah tak peduli dia mau membelaku atau ibunya. Aku hanya ingin kedamaian walau hanya beberapa jam saja.

Saat itu aku memilih membalikkan badan, meneruskan memetik sayuran yang akan dimasak pagi ini. Sampai terdengar derap langkah seseorang yang semakin menjauh, aku hanya bisa tersenyum miris.

Entah siapa yang menciptakan kalimat, yang muda harus ngalah pada orang tua. Rasanya aku sangat tidak setuju dengan pernyataan itu.

Setengah jam berlalu, masakanku telah tersaji di meja makan. Namun, sepertinya Kang Dadan belum berhasil membujuk ibunya yang merajuk. Dari arah dapur saja, masih terdengar ketukan pintu yang terus menerus. Seperti biasa, jika salah dan tertangkap basah, jangan berharap ia akan meminta maaf. Bahkan mengakuinya saja, itu adalah hal paling mustahil.

Kau tahu siapa yang harus minta maaf? Akulah orangnya, lucu bukan? tapi, beginilah kenyataannya.

Hari itu tanpa menunggu Kang Dadan, aku memilih untuk makan duluan. Entahlah aku sangat lapar, mungkin terlalu banyak mengeluarkan emosi.

“Kamu kok makan sih, Dek?” tanya Kang Dadan, yang tiba-tiba saja sudah ada di depan meja makan.

Padahal, aku baru saja memasukkan satu suapan ke mulutku.

“Lapar.”

“Kok bisa-bisanya kamu enggak peduli, ibu lagi ngambek loh?”

Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum miris.

“Setelah makan, aku akan meminta maaf tenanglah. Enggak perlu Akang minta, aku udah ngerti kok.”

Tanpa peduli respons seperti apa yang akan ditunjukkan suamiku, melanjutkan makan adalah pilihan yang tepat. Bahkan, menahan amarah juga perlu energi bukan?

Saat itu, aku pikir Kang Dadan akan menegurku. Nyatanya, dia malah menarik kursi, lantas duduk di sampingku.

“Dek, lihat Akang!”

“Hm, katakan saja! Aku bahkan belum sempat sarapan tadi pagi,” ucapku cuek saja.

Aku sungguh tak ingin mendengarkan penjelasan apa pun. Aku sudah hafal bagaimana alurnya dan apa yang harus kulakukan untuk mengatasinya.

“Ibuku cerewet, ya?”

Uhuk!

Aku baru saja terbatuk. Entah kenapa ia mempertanyakan hal itu.

“Pelan-pelan makannya!”

“Maaf.”

“Kamu masih belum jawab pertanyaan Akang.”

“Apa pentingnya aku jawab, aku rasa Akang sudah tahu jawabannya. Sudahlah tembok di sini punya telinga, bisakah kita berhenti bicara yang enggak penting. Setidaknya izinkan aku makan dulu, setelah itu aku akan mengurus masalah ibu.”

“Aku tahu meskipun kamu tampak biasa-biasa saja, Adek pasti sakit hati ‘kan sama apa yang ibu lakukan?”

“Apa gunanya aku sakit hati? Enggak akan mengubah keadaan.”

“Maafin Akang ya, belum bisa bahagiain kamu.”

“Enggak bisa atau enggak mau usaha?”

“Aku janji sama kamu, ini cuma sementara. Ke depannya kamu enggak perlu ngalah lagi?”

“Bagaimana caranya?” tanyaku.

Bukannya langsung menjawab, Kang Dadan malah hanya diam dan tertunduk lesu.

“Sudah 6 tahun kita menikah, Kang. Jangankan keluar dari rumah ini, bahkan untuk berlebaran di kampungku aja. Akang enggak bisa ngomong sama Ibu. Jangan janji lagi ya, yang kemarin aja enggak Akang tepatin.”

“Dek Sayang, maafin Akang. Pokoknya lebaran tahun ini kita lebaran di tempat kamu.”

Entahlah aku hanya ingin tersenyum, karena faktanya selalu saja ada drama dari ibu mertuaku. Menangis, bahkan terkadang tak jarang marah-marah karena anak bungsunya memilih berlebaran di kampung istrinya. Belum lagi saat keluarga besarnya datang. Dari subuh buta sampai tengah malam, aku hanya akan sibuk di dapur.

Apakah suamiku hanya diam saja?

Tentu saja tidak, dia selalu berusaha membantuku, tetapi ajaibnya 2 kakak perempuannya malah mencegahnya untuk datang padaku. Dari pada membuat gaduh di hari lebaran, seringnya aku memilih untuk mengerjakan semuanya sendiri.

Jika kalian bertanya aku lelah atau tidak? Makanya jawabannya, entah. Aku terlalu terbiasa dengan kebiasaan seperti ini.

“Ayo ke kamar Ibu!” ajakku, sambil beranjak bangkit.

“Kamu yakin?”

Aku memilih untuk tak menjawab. Kembali meneruskan langkah ke kamar ibu yang kala itu masih tertutup.

Tepat saat aku akan mengetuk pintu, Kang Dadan malah mencegahnya. Ia menarik lenganku ia, bahkan turut memelukku.

“Kali ini kamu enggak salah, enggak usah minta maaf.”

“Salah atau enggak, yang muda harus ngalah ‘kan?”

“Sudahlah ayo, lakukan saja!”

“Jangan, aku yang salah. Terlalu memanjakan ibu. Sehingga. Mengabaikan perasaanmu. Aku yang egois, karena terus memaksamu untuk mengalah. Maafkan aku!”

“Kenapa kamu diem aja, enggak mau maafin aku?”

“Kalau begitu bisakah kamu meminta maaf padaku?”

Kang Dadan seketika tak bisa menjawab lagi pertanyaanku.

“Aku hanya bercanda.”

Ya, karena itu sama saja menunggu kiamat tiba.

“Kamu pasti sangat tertekan di sini.”

“Tertekan atau enggak, bukankah yang penting aku masih bisa hidup dengan baik?”

“Kamu tahu enggak sih, melihatmu seperti ini, aku sering merasa sudah jadi suami yang gagal. Bukan aku enggak mau keluar dari rumah ini Yas, tapi nanti siapa yang mau jagain ibu? Kamu tahu sendiri, ketiga saudaraku enggak ada yang mau serumah sama ibu. Ditambah lagi aku satu-satunya anak lelaki. Kewajibanku berat, Yas.”

Entah mengapa, aku paling tidak kuat saat seseorang membandingkan keutamaan bakti anak laki-laki pada ibunya.

“Yas, jangan nangis!”

Dia selalu saja mengagungkan hal itu, tanpa berpikir aku yang seorang anak tunggal di keluargaku. Bahkan, 3 tahun terakhir ayah dan ibu mengangkat seorang anak laki-laki. Namanya Azam, anak dari kerabat mamah. Terbayang, betapa kesepiannya mereka tanpa aku, tapi pernahkah mereka mengeluhkan hal itu? Bahkan sekali pun mereka tak pernah memaksakan kehendaknya.

“Apa kata-kataku barusan menyinggungmu?”

“Akang lupa kalau aku anak tunggal? Jika jadi aku, apa yang akan Akang lakukan?”

“Maafkan aku, Yak. Posisi kita memang serba salah, kamu tahu ‘kan. Ibu sering banget sakit-sakitan. Bukan sekali dua kali kita coba buat pulang, tapi baru sampai di tengah jalan. Ibu malah nelepon. Apa lagi dulu, ibu sampai pingsan enggak ketahuan. Untung ada tetangga ke rumah.”

Brakk!

Di tengah perbincangan kami tiba-tiba saja pintu kamar Ibu terbuka dengan begitu kerasnya.

“Jadi kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, Dan?”

Ya Tuhan, entah drama apa lagi kali ini. Rasanya kepalaku mendadak sakit. Tak hanya diringi isak tangisnya, wanita yang wajahnya sedikit sembab itu juga berteriak-teriak.

“Jawab Dan, tega kamu ninggalin Ibu yang udah sakit-sakitan sendirian?”

“Enggak ada yang mau pergi Bu, tenang aja!” ucapku setenang mungkin.

Sebisa mungkin aku menahan emosi, bukan apa-apa di akhir pekan ini aku hanya ingin istirahat. Namun, sejak subuh buta ada saja yang perlakuan ibu yang membuatku tak punya waktu bahkan untuk sekedar meluruskan badan.

“Yasmin, kamu kenapa? pusing? Kok dari tadi megang kepala terus?”

Ah, rupanya Kang Dadan memperhatikanku. Seharusnya ia perhatikan saja ibunya.

Aku menggeleng. Sungguh rasanya aku ingin menghilang saja dari sini.

“Dadan, bisa-bsianya ibu ngomong, kamu malah merhatiin istrimu. Apa sih yang bikin kamu masih aja perhatian sama dia.”

“Astaghfirrullah, Bu. Dia istriku, ya wajar ‘kan aku perhatian? Memangnya Ibu enggak seneng lihat rumah tangga anaknya rukun?”

“Lah, kalau istrinya bener ibu juga seneng. Ini berapa tahun coba kalian sudah menikah? Kenapa masih aja belum punya momongan?”

“Ibu bisa berhenti enggak sih? Kasian Yasmin, ibu juga perempuan kok ya tega ngomong begitu aja.”

“Biarin dia aja tega misahin kamu sama ibu. Ya, wajar kalau dia tega, orang namanya mandul, enggak pernah ngerasain jadi ibu enggak akan ngerasain bagaimana sakitnya dipisahin sama anak?”

“Aku enggak mandul, Bu,” ucapku.

Sialnya malah suaraku ikut gemetar.

Sakit sekali ya Allah, kenapa harus mengatai mandul di depan wajahku sendiri.

“Ya, terus menurutmu Dadan yang mandul. Dadan tuh turunan subur, anakku aja kalau enggak meninggal semuanya ada 7. Coba keluargamu cuma 1. Kamu anak tunggal, ‘kan?”

“Iya aku memang anak tunggal. Oh iya, sudah 6 tahun loh, Bu. Bahkan, satu kali pun aku enggak pernah pulang ke rumah. Seharusnya ibuku pasti juga merasakan sakit berpisah sama anaknya, walaupun cuma 1 anak. Ibu saja sampai menangis bukan saat Mbak Dewi, enggak mudik lebaran kemarin? padahal, anak ibu yang lain, masih ada di sini?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nunu Nana
please jngan sampai dapat mertua kaya gituu :(
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status