Share

Bab 3

Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. 

“Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”

Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.

“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”

“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”

Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.

“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”

“Mas aja yang cuci, kamu istirahat saja. Dari pagi kamu bulak-balik terus, Mas aja lihatnya capek.”

“Kamu lagi, kebiasaan loh Dan, manjain istrimu terus. Jadinya dia seenaknya sama kamu.”

Aku memilih meneruskan langkah. Sambil tersenyum miris.

Apakah seiring waktu berlalu aku juga akan berubah menjadi seperti itu? semoga saja tidak. Aku tak ingin menjadi tua yang menyebalkan.

Di ruang tengah Kang Dadan sepertinya masih berdebat dengan ibunya. Sedang aku, lebih baik menulikan diri. Kurasa itu lebih baik untuk kesehatan jiwa. Sekarang masih pukul 10 pagi, tetapi aku malah ingin mandi lagi.

Niat hati ingin beristirahat di akhir pekan, kenyataannya justru harus bekerja dua kali lipat dari biasanya.

~

Tok tok!

Apa lagi baru saja bersantai sebentar di kamar mandi sudah diketuk dari luar.

“Dek, Akang pikir kamu kenapa-napa di dalam?”

Kang Dadan melihatku dengan wajah paniknya.

“Dah lihat ‘kan sekarang? Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah Abang sempat panik, kamu lama banget di toiletnya.”

“Aku luluran dulu.”

Dia malah tersenyum.

“Ke mana ibu? Enggak ada suaranya.”

“Ke luar?”

Entah kenapa saat itu senyumku tak bisa ditahan.

“Kenapa kamu malah senyum, Dek?”

“Akang janjiin apa sama Ibu?”

“Akang cuma janji akan nasehatin kamu.”

“Kalau begitu lakukanlah. Aku akan duduk di sini sambil mendengarkan nasihatmu!”

“Maafkan aku, lagi-lagi aku enggak bisa membelamu di depan Ibu.”

“Hm.”

“Dek, soal ucapan Ibu yag tadi, enggak perlu dipikirin ya?”

“Aku memang bukan terlahir dari keluarga besar, tapi haidku bahkan masih datang setiap bulan dan tepat waktu.”

“Aku tahu, kamu enggak mungkin mandul.”

“Tapi, di mata ibumu beda. Dia enggak akan peduli, kebenarannya seperti apa, yang penting anaknya enggak pernah salah.”

“Jadi, maksud kamu Akang yang mandul?”

“Aku enggak bicara begitu.”

“Tapi, kalimatmu barusan merujuk padaku.”

“Jadi bagaimana rasanya, Kang? Dituduh mandul tanpa bukti? Enggak enak ‘kan, itu yang setiap hari aku rasakan. Sudahlah aku mau istirahat sebentar, mungkin sebentar lagi ibu akan datang dan meminta banyak hal untuk aku kerjakan.”

“Yas, kamu yakin baik-baik aja?”

“Hm, hanya pusing sedikit, mungkin karena kurang tidur.”

“Aku bikinin teh manis mau?”

“Jangan! Laki-laki dilarang pergi ke dapur!”

Aku tersenyum saat itu, tetapi sepertinya Kang Dadan tersindir dengan ucapanku.

Sejatinya dia pria yang baik, hanya saja Tuhan tidak akan menciptakan kehidupan yang sempurna di dunia. Selalu ada celah, seperti ibunya yang kerap kali merasa cemburu padaku.

Saat itu entah sudah berapa lama aku tertidur, sampai kudengar suara gaduh di ruang tengah. Sepertinya ibu mengundang teman-temannya kali ini.

Dan benar saja begitu keluar kamar, semua pasang mata menatap dengan sinis ke arahku. Kau tahu hal-hal seperti ini bagai dejavu, jadi bukan sekali dua kali ibu mengundang teman-temannya. Sengaja bergosip keras-keras agar aku yang di dalam kamar mendengarnya.

Andai tak harus salat ashar, rasanya aku juga ingin di dalam saja dari pada memunculkan diri tapi hanya dijadikan bahan gibah. Namun, aku tetaplah orang yang tahu diri, entah sudah berapa lama mereka mengobrol, tapi Ibu bahkan tak menyuguhkan apa pun pada tamu-tamunya itu.

Aku kembali dengan sekeranjang air dan beberapa stoples camilan ke atas meja. Lantas, setelah itu memilih untuk kembali masuk ke kamar. Tampak, jika beberapa dari mereka terlihat canggung, begitu aku memilih menyambut mereka dengan ramah di mana seharusnya orang lain justru akan bersikap tak peduli.

Selesai menunaikan salat ashar Kang Dadan malah mengajakku keluar rumah. Saat itu kebetulan malam minggu. Di alun-alun kecamatan biasanya ada pasar malam. Hiburan murah yang digandrungi masyarakat setempat.

Di kota ini juga ada pusat pembelanjaan modern. Hanya saja terlalu melelahkan untuk pergi ke sana. Apa lagi sejak pagi bukan hanya fisikku, bahkan batinku rasanya lelah sekali. Terkadang aku pengen tidur seharian, tapi entah apa yang akan terjadi nantinya. Mungkin akan geger satu kampung.

~

“Kamu enggak suka ya, lain kali Akang ajak kamu ke mall deh!”

“Suka kok, buat apa ke mall. Dingin tahu keluar malam-malam pake motor!” ucapku.

“Maafin Akang ya, adanya baru motor aja.”

“Lagian kita belum perlu mobil.”

“Dulu kamu pasti kalau ke mana-mana pakai mobil, ya?”

“Karena, memang punyanya cuma mobil.”

Kang Dadan malah tersenyum.

“Mobil kok dibilang cuma?”

“Kalau ada motor, aku juga akan lebih suka naik motor. Cepet sampai, bisa nyelip-nyelip juga.”

“Kamu selalu bisa membesarkan hatiku, Yas. Padahal, kamu bisa saja mengatakan dengan jujur, kalau aku memang payah. Sudah 6 tahun menikah, tapi belum bisa belikan kamu apa-apa?”

“Memangnya Akang mau beliin aku apa?”

“Hmm, maunya apa?”

“Rumah.”

Saat itu suasana malah mendadak canggung.

“Andai saudara Akang ada yang mau gentian sebentar aja. Sayangnya, mereka banyak banget alasan. Sibuklah ini itu.”

“Aku tahu Akang pasti berat sama ibu, tapi boleh enggak aku minta sesuatu, kebetulan sebentar lagi aku ulang tahun?”

“Bilang aja kamu mau apa? Akang janji apa pasti bakal kasih permintaan. Adek tahu sebenarnya tabungan kita sekarang sudah lebih dari cukup buat beli mobil. Rencananya Akang mau beliin—”

“Akang aku bahkan belum mengatakan apa yang aku mau.”

“Oh, maaf. Akang terlalu bersemangat.”

“Akang ‘kan maunya tinggal terus sama Ibu.”

“Iya, kalau ada pilihan Akang juga maunya pisah. Kasihan sama kamunya.”

“Bisa enggak kasih aku waktu 3 bulan aja buat pulang?”

“Pulang ke Bali?”

Orang tuaku tinggal Bali, meski sebenarnya kami bukanlah orang Bali asli. Hanya saja sejak Ayah dipindahtugaskan ke kota itu, keluargaku jadi menetap di sana.

“Iya.”

“Kenapa lama banget, Akang enggak mungkin bisa ninggalin selama itu.”

“Akang enggak usah ikut.”

“Enggak bisa Dek, maaf kalau Akang egois, tapi Akang enggak tenang jauh-jauh dari kamu. Kamu boleh minta kado yang lainnya, mau kalung emas baru? Atau mobil, kalau perlu enggak harus nunggu ulang tahun kamu besok aja kita ke dealer. Bagaimana?”

Aku menggeleng pelan.

“Kamu capek ya rumah tangga sama Akang?”

Capek banget Kang, capek sampai aku enggak mau meneruskannya lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si yasmin juga senang dimaki2 mertuanya, itu makanya dia tetap bertahan. klu istri waras mana sanggup
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status