Share

Bab 3

Author: ERIA YURIKA
last update Last Updated: 2023-01-03 15:31:02

Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. 

“Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”

Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.

“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”

“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”

Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.

“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”

“Mas aja yang cuci, kamu istirahat saja. Dari pagi kamu bulak-balik terus, Mas aja lihatnya capek.”

“Kamu lagi, kebiasaan loh Dan, manjain istrimu terus. Jadinya dia seenaknya sama kamu.”

Aku memilih meneruskan langkah. Sambil tersenyum miris.

Apakah seiring waktu berlalu aku juga akan berubah menjadi seperti itu? semoga saja tidak. Aku tak ingin menjadi tua yang menyebalkan.

Di ruang tengah Kang Dadan sepertinya masih berdebat dengan ibunya. Sedang aku, lebih baik menulikan diri. Kurasa itu lebih baik untuk kesehatan jiwa. Sekarang masih pukul 10 pagi, tetapi aku malah ingin mandi lagi.

Niat hati ingin beristirahat di akhir pekan, kenyataannya justru harus bekerja dua kali lipat dari biasanya.

~

Tok tok!

Apa lagi baru saja bersantai sebentar di kamar mandi sudah diketuk dari luar.

“Dek, Akang pikir kamu kenapa-napa di dalam?”

Kang Dadan melihatku dengan wajah paniknya.

“Dah lihat ‘kan sekarang? Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah Abang sempat panik, kamu lama banget di toiletnya.”

“Aku luluran dulu.”

Dia malah tersenyum.

“Ke mana ibu? Enggak ada suaranya.”

“Ke luar?”

Entah kenapa saat itu senyumku tak bisa ditahan.

“Kenapa kamu malah senyum, Dek?”

“Akang janjiin apa sama Ibu?”

“Akang cuma janji akan nasehatin kamu.”

“Kalau begitu lakukanlah. Aku akan duduk di sini sambil mendengarkan nasihatmu!”

“Maafkan aku, lagi-lagi aku enggak bisa membelamu di depan Ibu.”

“Hm.”

“Dek, soal ucapan Ibu yag tadi, enggak perlu dipikirin ya?”

“Aku memang bukan terlahir dari keluarga besar, tapi haidku bahkan masih datang setiap bulan dan tepat waktu.”

“Aku tahu, kamu enggak mungkin mandul.”

“Tapi, di mata ibumu beda. Dia enggak akan peduli, kebenarannya seperti apa, yang penting anaknya enggak pernah salah.”

“Jadi, maksud kamu Akang yang mandul?”

“Aku enggak bicara begitu.”

“Tapi, kalimatmu barusan merujuk padaku.”

“Jadi bagaimana rasanya, Kang? Dituduh mandul tanpa bukti? Enggak enak ‘kan, itu yang setiap hari aku rasakan. Sudahlah aku mau istirahat sebentar, mungkin sebentar lagi ibu akan datang dan meminta banyak hal untuk aku kerjakan.”

“Yas, kamu yakin baik-baik aja?”

“Hm, hanya pusing sedikit, mungkin karena kurang tidur.”

“Aku bikinin teh manis mau?”

“Jangan! Laki-laki dilarang pergi ke dapur!”

Aku tersenyum saat itu, tetapi sepertinya Kang Dadan tersindir dengan ucapanku.

Sejatinya dia pria yang baik, hanya saja Tuhan tidak akan menciptakan kehidupan yang sempurna di dunia. Selalu ada celah, seperti ibunya yang kerap kali merasa cemburu padaku.

Saat itu entah sudah berapa lama aku tertidur, sampai kudengar suara gaduh di ruang tengah. Sepertinya ibu mengundang teman-temannya kali ini.

Dan benar saja begitu keluar kamar, semua pasang mata menatap dengan sinis ke arahku. Kau tahu hal-hal seperti ini bagai dejavu, jadi bukan sekali dua kali ibu mengundang teman-temannya. Sengaja bergosip keras-keras agar aku yang di dalam kamar mendengarnya.

Andai tak harus salat ashar, rasanya aku juga ingin di dalam saja dari pada memunculkan diri tapi hanya dijadikan bahan gibah. Namun, aku tetaplah orang yang tahu diri, entah sudah berapa lama mereka mengobrol, tapi Ibu bahkan tak menyuguhkan apa pun pada tamu-tamunya itu.

Aku kembali dengan sekeranjang air dan beberapa stoples camilan ke atas meja. Lantas, setelah itu memilih untuk kembali masuk ke kamar. Tampak, jika beberapa dari mereka terlihat canggung, begitu aku memilih menyambut mereka dengan ramah di mana seharusnya orang lain justru akan bersikap tak peduli.

Selesai menunaikan salat ashar Kang Dadan malah mengajakku keluar rumah. Saat itu kebetulan malam minggu. Di alun-alun kecamatan biasanya ada pasar malam. Hiburan murah yang digandrungi masyarakat setempat.

Di kota ini juga ada pusat pembelanjaan modern. Hanya saja terlalu melelahkan untuk pergi ke sana. Apa lagi sejak pagi bukan hanya fisikku, bahkan batinku rasanya lelah sekali. Terkadang aku pengen tidur seharian, tapi entah apa yang akan terjadi nantinya. Mungkin akan geger satu kampung.

~

“Kamu enggak suka ya, lain kali Akang ajak kamu ke mall deh!”

“Suka kok, buat apa ke mall. Dingin tahu keluar malam-malam pake motor!” ucapku.

“Maafin Akang ya, adanya baru motor aja.”

“Lagian kita belum perlu mobil.”

“Dulu kamu pasti kalau ke mana-mana pakai mobil, ya?”

“Karena, memang punyanya cuma mobil.”

Kang Dadan malah tersenyum.

“Mobil kok dibilang cuma?”

“Kalau ada motor, aku juga akan lebih suka naik motor. Cepet sampai, bisa nyelip-nyelip juga.”

“Kamu selalu bisa membesarkan hatiku, Yas. Padahal, kamu bisa saja mengatakan dengan jujur, kalau aku memang payah. Sudah 6 tahun menikah, tapi belum bisa belikan kamu apa-apa?”

“Memangnya Akang mau beliin aku apa?”

“Hmm, maunya apa?”

“Rumah.”

Saat itu suasana malah mendadak canggung.

“Andai saudara Akang ada yang mau gentian sebentar aja. Sayangnya, mereka banyak banget alasan. Sibuklah ini itu.”

“Aku tahu Akang pasti berat sama ibu, tapi boleh enggak aku minta sesuatu, kebetulan sebentar lagi aku ulang tahun?”

“Bilang aja kamu mau apa? Akang janji apa pasti bakal kasih permintaan. Adek tahu sebenarnya tabungan kita sekarang sudah lebih dari cukup buat beli mobil. Rencananya Akang mau beliin—”

“Akang aku bahkan belum mengatakan apa yang aku mau.”

“Oh, maaf. Akang terlalu bersemangat.”

“Akang ‘kan maunya tinggal terus sama Ibu.”

“Iya, kalau ada pilihan Akang juga maunya pisah. Kasihan sama kamunya.”

“Bisa enggak kasih aku waktu 3 bulan aja buat pulang?”

“Pulang ke Bali?”

Orang tuaku tinggal Bali, meski sebenarnya kami bukanlah orang Bali asli. Hanya saja sejak Ayah dipindahtugaskan ke kota itu, keluargaku jadi menetap di sana.

“Iya.”

“Kenapa lama banget, Akang enggak mungkin bisa ninggalin selama itu.”

“Akang enggak usah ikut.”

“Enggak bisa Dek, maaf kalau Akang egois, tapi Akang enggak tenang jauh-jauh dari kamu. Kamu boleh minta kado yang lainnya, mau kalung emas baru? Atau mobil, kalau perlu enggak harus nunggu ulang tahun kamu besok aja kita ke dealer. Bagaimana?”

Aku menggeleng pelan.

“Kamu capek ya rumah tangga sama Akang?”

Capek banget Kang, capek sampai aku enggak mau meneruskannya lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si yasmin juga senang dimaki2 mertuanya, itu makanya dia tetap bertahan. klu istri waras mana sanggup
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 62

    Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 61

    Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 60

    “Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 59

    “Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 58

    Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   BAB 57

    Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status