Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang.
“Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”
Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.
“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”
“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”
Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.
“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”
“Mas aja yang cuci, kamu istirahat saja. Dari pagi kamu bulak-balik terus, Mas aja lihatnya capek.”
“Kamu lagi, kebiasaan loh Dan, manjain istrimu terus. Jadinya dia seenaknya sama kamu.”
Aku memilih meneruskan langkah. Sambil tersenyum miris.
Apakah seiring waktu berlalu aku juga akan berubah menjadi seperti itu? semoga saja tidak. Aku tak ingin menjadi tua yang menyebalkan.
Di ruang tengah Kang Dadan sepertinya masih berdebat dengan ibunya. Sedang aku, lebih baik menulikan diri. Kurasa itu lebih baik untuk kesehatan jiwa. Sekarang masih pukul 10 pagi, tetapi aku malah ingin mandi lagi.
Niat hati ingin beristirahat di akhir pekan, kenyataannya justru harus bekerja dua kali lipat dari biasanya.
~
Tok tok!
Apa lagi baru saja bersantai sebentar di kamar mandi sudah diketuk dari luar.
“Dek, Akang pikir kamu kenapa-napa di dalam?”
Kang Dadan melihatku dengan wajah paniknya.
“Dah lihat ‘kan sekarang? Aku baik-baik saja.”
“Syukurlah Abang sempat panik, kamu lama banget di toiletnya.”
“Aku luluran dulu.”
Dia malah tersenyum.
“Ke mana ibu? Enggak ada suaranya.”
“Ke luar?”
Entah kenapa saat itu senyumku tak bisa ditahan.
“Kenapa kamu malah senyum, Dek?”
“Akang janjiin apa sama Ibu?”
“Akang cuma janji akan nasehatin kamu.”
“Kalau begitu lakukanlah. Aku akan duduk di sini sambil mendengarkan nasihatmu!”
“Maafkan aku, lagi-lagi aku enggak bisa membelamu di depan Ibu.”
“Hm.”
“Dek, soal ucapan Ibu yag tadi, enggak perlu dipikirin ya?”
“Aku memang bukan terlahir dari keluarga besar, tapi haidku bahkan masih datang setiap bulan dan tepat waktu.”
“Aku tahu, kamu enggak mungkin mandul.”
“Tapi, di mata ibumu beda. Dia enggak akan peduli, kebenarannya seperti apa, yang penting anaknya enggak pernah salah.”
“Jadi, maksud kamu Akang yang mandul?”
“Aku enggak bicara begitu.”
“Tapi, kalimatmu barusan merujuk padaku.”
“Jadi bagaimana rasanya, Kang? Dituduh mandul tanpa bukti? Enggak enak ‘kan, itu yang setiap hari aku rasakan. Sudahlah aku mau istirahat sebentar, mungkin sebentar lagi ibu akan datang dan meminta banyak hal untuk aku kerjakan.”
“Yas, kamu yakin baik-baik aja?”
“Hm, hanya pusing sedikit, mungkin karena kurang tidur.”
“Aku bikinin teh manis mau?”
“Jangan! Laki-laki dilarang pergi ke dapur!”
Aku tersenyum saat itu, tetapi sepertinya Kang Dadan tersindir dengan ucapanku.
Sejatinya dia pria yang baik, hanya saja Tuhan tidak akan menciptakan kehidupan yang sempurna di dunia. Selalu ada celah, seperti ibunya yang kerap kali merasa cemburu padaku.
Saat itu entah sudah berapa lama aku tertidur, sampai kudengar suara gaduh di ruang tengah. Sepertinya ibu mengundang teman-temannya kali ini.
Dan benar saja begitu keluar kamar, semua pasang mata menatap dengan sinis ke arahku. Kau tahu hal-hal seperti ini bagai dejavu, jadi bukan sekali dua kali ibu mengundang teman-temannya. Sengaja bergosip keras-keras agar aku yang di dalam kamar mendengarnya.
Andai tak harus salat ashar, rasanya aku juga ingin di dalam saja dari pada memunculkan diri tapi hanya dijadikan bahan gibah. Namun, aku tetaplah orang yang tahu diri, entah sudah berapa lama mereka mengobrol, tapi Ibu bahkan tak menyuguhkan apa pun pada tamu-tamunya itu.
Aku kembali dengan sekeranjang air dan beberapa stoples camilan ke atas meja. Lantas, setelah itu memilih untuk kembali masuk ke kamar. Tampak, jika beberapa dari mereka terlihat canggung, begitu aku memilih menyambut mereka dengan ramah di mana seharusnya orang lain justru akan bersikap tak peduli.
Selesai menunaikan salat ashar Kang Dadan malah mengajakku keluar rumah. Saat itu kebetulan malam minggu. Di alun-alun kecamatan biasanya ada pasar malam. Hiburan murah yang digandrungi masyarakat setempat.
Di kota ini juga ada pusat pembelanjaan modern. Hanya saja terlalu melelahkan untuk pergi ke sana. Apa lagi sejak pagi bukan hanya fisikku, bahkan batinku rasanya lelah sekali. Terkadang aku pengen tidur seharian, tapi entah apa yang akan terjadi nantinya. Mungkin akan geger satu kampung.
~
“Kamu enggak suka ya, lain kali Akang ajak kamu ke mall deh!”
“Suka kok, buat apa ke mall. Dingin tahu keluar malam-malam pake motor!” ucapku.
“Maafin Akang ya, adanya baru motor aja.”
“Lagian kita belum perlu mobil.”
“Dulu kamu pasti kalau ke mana-mana pakai mobil, ya?”
“Karena, memang punyanya cuma mobil.”
Kang Dadan malah tersenyum.
“Mobil kok dibilang cuma?”
“Kalau ada motor, aku juga akan lebih suka naik motor. Cepet sampai, bisa nyelip-nyelip juga.”
“Kamu selalu bisa membesarkan hatiku, Yas. Padahal, kamu bisa saja mengatakan dengan jujur, kalau aku memang payah. Sudah 6 tahun menikah, tapi belum bisa belikan kamu apa-apa?”
“Memangnya Akang mau beliin aku apa?”
“Hmm, maunya apa?”
“Rumah.”
Saat itu suasana malah mendadak canggung.
“Andai saudara Akang ada yang mau gentian sebentar aja. Sayangnya, mereka banyak banget alasan. Sibuklah ini itu.”
“Aku tahu Akang pasti berat sama ibu, tapi boleh enggak aku minta sesuatu, kebetulan sebentar lagi aku ulang tahun?”
“Bilang aja kamu mau apa? Akang janji apa pasti bakal kasih permintaan. Adek tahu sebenarnya tabungan kita sekarang sudah lebih dari cukup buat beli mobil. Rencananya Akang mau beliin—”
“Akang aku bahkan belum mengatakan apa yang aku mau.”
“Oh, maaf. Akang terlalu bersemangat.”
“Akang ‘kan maunya tinggal terus sama Ibu.”
“Iya, kalau ada pilihan Akang juga maunya pisah. Kasihan sama kamunya.”
“Bisa enggak kasih aku waktu 3 bulan aja buat pulang?”
“Pulang ke Bali?”
Orang tuaku tinggal Bali, meski sebenarnya kami bukanlah orang Bali asli. Hanya saja sejak Ayah dipindahtugaskan ke kota itu, keluargaku jadi menetap di sana.
“Iya.”
“Kenapa lama banget, Akang enggak mungkin bisa ninggalin selama itu.”
“Akang enggak usah ikut.”
“Enggak bisa Dek, maaf kalau Akang egois, tapi Akang enggak tenang jauh-jauh dari kamu. Kamu boleh minta kado yang lainnya, mau kalung emas baru? Atau mobil, kalau perlu enggak harus nunggu ulang tahun kamu besok aja kita ke dealer. Bagaimana?”
Aku menggeleng pelan.
“Kamu capek ya rumah tangga sama Akang?”
Capek banget Kang, capek sampai aku enggak mau meneruskannya lagi.
“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”“Sama ibulah, sama siapa lagi?”“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”“Atuh kenapa enggak pulang?”“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”“Terus ibu sendirian?”“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”“Alasannnya apa?”“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu baga
“Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.“Kang, bangun dulu!”Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Yamemang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinyapulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Saat itu suamiku hanya menarik nafas panjang. Entah apa yang akan dia pilih. Aku tak mau berharap banyak hal, lagi pula kurasa ini seperti buah simalakama. Jika dia ikut denganku, itu sama saja ia telah tega meninggalkan ibunya yang sedang sakit. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang. Itu sama saja membuatku sakit hati.“Tunggu sebentar!” katanya.Saat itu suamiku tampak mengaktifkan kembali ponselnya.“Akang telepon Teh Dewi dulu.”Saat itu entah apa yang mereka bicarakan. Kang Dadan memilih ke luar kamar. Sepertinya ia memang sengaja agar aku tak bisa mendengarkan percakapan mereka. Saat itu aku merasa suamiku pasti akan menjatuhkan pilihan untuk kembali pulang. Jadi, sambil menunggu ia kembali ke kamar, aku berinisiatif memisahkan pakaiannya. Kedalam ransel yang tadinya hanya berisi makanan.“Kok udah beres-beres aja.”“Pakaian Akang udah di ransel semua, jadi kalau mau pergi sekarang semuanya