Share

Bab 7

Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.

Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.

“Minum dulu, Kang!”

Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.

Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.

“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”

Ibu masih belum mau menjawab.

“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”

Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.

“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”

Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.

“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah seorang tetanggaku. 

Aku ingat ia adalah teman baik ibu.

“Ibu lagi pengen di rumah aja, hayu Bu!” ucap Kang Dadan ramah.

Sementara, aku hanya tersenyum saja. Bisa dibilang aku memang tak terlalu akrab dengan tetangga. Hampir setiap hari aku sibuk dengan bisnis onlineku. Lagi pula jika berkumpul, pada akhirnya kami hanya akan membicarakan keburukan orang lain atau seringnya menyindirku karena tak kunjung hamil. 

Berbagai upaya telah kami lakukan dari terapi medis sampai herbal. Namun, jawabannya tetap sama. Meskipun, kami sama-sama subur. Jika kondisi psikis terganggu, juga akan sangat berpengaruh pada proses kehamilan itu sendiri.

Disadari atau tidak, hampir setiap hari hidupku penuh dengan tekanan. Apa lagi sebabnya kalau bukan ibu yang selalu mengomentari semua hal, meski seharusnya itu bukanlah kesalahan.

“Sayang, kenapa diam aja?”

“Hm enggak apa-apa.”

“Kalau ada apa-apa tuh bilang, jangan dipendam sendirian lagi.”

“Akang kenapa sih kok tiba-tiba berubah jadi begini?”

“Kamu enggak suka?”

“Akang maunya aku jawab apa?”

“Enggak usah dijawab aja kalau gitu.”

“Aku cuma ngerasa aneh aja. Ada sesuatu yang Akang sembunyiin, ya?”

“Enggak ada, cuma denger kamu minta pulang sampe 3 bulan lamanya. Akang berasa ditampar sebagai suami kamu, Akang udah gagal. Seharusnya kalau aja dari awal Akang enggak nyuruh kamu buat ngalah terus. Seharusnya malam itu kamu pasti enggak bakal minta pulang selama itu.”

“Aku cuma mau pulang bukan minta pisah.”

“Sekarang bilangnya memang begitu, tapi mana ada yang tahu kalau nyampe ke sana kamu malah berubah pikiran?”

“Jadi sebenarnya Akang takut aku bakal pulang dan enggak balik lagi?”

“Jangan sampelah kejadian begitu. Makanya sebelum terlambat Akang mau nyoba buat memperbaiki semuanya. Akang juga sadar, cuma laki-laki biasa, masih mending ada yang mau.”

“Akang mah selalu merendah.”

“Dulu Akang tuh susah banget tahu. Enggak tahu kenapa ibu malah nekat nyekolahin ke STM pelayaran, padahal biayanya mahal.”

“Loh, jadi itu bukan keinginan Akang?”

“Akang mah pengennya malah belajar IT, tapi ibu bilang buat apa ujungnya cuma jadi tukang warnet.”

“Ya Allah ya enggak tukang warnet aja, ‘kan banyak pekerjaan lain.’

“Ya namanya di kampung, belum terlalu peka teknologi. Jadi peminatnya sedikit.”

“Terus kenapa Akang enggak ikut pelayaran aja? ‘kan aku denger-denger gajinya lumayan.”

“Ibu memang tadinya masukin Akang ke sana, berharap bisa kerja di kapal yang gajinya puluhan juta, tapi pas mau berangkat teman akrab Akang yang merantau duluan, malah meninggal di kapal. Ibu langsung panik, padahal semua surat-suratnya sudah diurus, tapi malah dibatalin begitu aja. Ya sudah, dari pada nekat berangkat tanpa ridho orang tua, mending enggak sekalian.”

Bahkan pria ini ikhlas-ikhlas saja ketika hidupnya diatur sepenuhnya oleh orang tuanya.

“Akang nyesel enggak?”

“Pastilah. Kesel, marah, merasa enggak adil. Ya, mau bagaimana lagi. Kehidupan terus berjalan juga, Akang enggak mungkin diam aja. Akang cari kerja sana-sini. Pas dapet di pabrik, cuma 6 bulan habis kontrak. Nah pas mau cari kerja lagi, ibu udah kelilit hutang sana-sini. Akang jadi ikut paniklah, jadilah kerja bangunan, ngerasain gajinya gede, malah jadi keterusan. Apa lagi waktu itu nyari kerja susah banget.”

Aku lantas memegangi tangan lelakiku dengan lembut.

“Sabar, ya!”

“Hm, kejadiannya sudha lewat juga. Yang terpenting kalau nanti kita di kasih kesempatan buat punya momongan, Akang enggak akan maksain dia mau sekolah di mana. Dari pada ujung-ujungnya enggak jadi apa-apa.”

“Iya, insyaallah.

Akhirnya kami sampai di workshopku. Aku memang menyediakan stand untuk melayani pembeli yang datang langsung ke toko. Namun, tak terlalu banyak, karena memang fokus kami menjual secara online.

Hampir seharian kami menghabiskan waktu di sana. Kang Dadan juga turut membantu packing yang alhamdulillahnya tidak pernah ada habisnya.

Sore hari, kami baru memutuskan untuk pulang, karena memang workshopku juga tutup hanya sampai pukul 4 sore.

Ketika kami datang ibu sedang duduk di ruang televisi. Pendengarannya memang sedikit terganggu akhir-akhir ini. Aku sudah mengingatkannya untuk memeriksakannya ke dokter, tetapi katanya aku ini menghinanya tuli.

Ia tersinggung, padahal maksudku baik. Sekarang lihat saja ia menonton televisi begitu dekat dengan volume yang tinggi. Bahkan, saat kami datang pun Ibu bisa tak sadar.

Hingga ketika Kang Dadan menepuknya, barulah wanita itu menengok dan langsung memasang wajah masam. Padahal, saat ia fokus menonton, ia sedang tersenyum menikmati tayangan saat itu.

Kami masih mencium tangannya dengan takzim. Juga memberikan kebab turki yang merupakan camilan favoritnya.

“Ibu udah makan,” katanya masih dengan nafa yang sedikit angkuh.

“Ya udah Dadan taruh di meja, barangkali ibu mau makan lagi.”

“Oh ya, lain kali jangan nonton televisi dekat-dekat, Bu. Memang enggak pusing?"

“Televis ini rusak! Masa udah dibesarin volumenya, tetep enggak kedengeran.”

Aku yang tengah menata kebab di piring, segera memberikan kode pada Kang Dadan yang kebingungan. Sambil memegangi kedua telingaku, berharap ia mengerti. Seperti yang diharapkan akhirnya Kang Dadan mengerti maksudku.

Sambil mengecek televisi dan mengurangi volumenya yang bising. Kang Dadan mulai melihat ibu yang saat itu masih kesal.

“Bukan televisinya yang rusak, tapi mungkin ibu yang pendengarannya terganggu.”

“Maksud kamu ibu budeg?”

“Dadan juga enggak tahu pastinya bagaimana, makanya besok kita periksakan ke dokter THT.”

“Enggak mau, enak aja. Ibu masih sehat gini, pasti istrimu yang ngadu. Dokter THT kan buat orang congean. Ibu enggak mungkinlah kayak gitu. Orang masih normal kok.”

Aku memilih diam dan menikmati kebabnya. Entah kenapa juga aku cepat sekali lapar. 

Terkadang kita memang tak bisa mencegah orang lain berkata buruk, tapi kita bisa memilih untuk menutup telinga dan tak peduli dengan hal-hal yang hanya akan membuat kita sakit hati.

“THT itu enggak cuma orang conge, lagian ibu tahu dari mana? Orang yang sudah berumur juga banyak yang telinganya terganggu, makanya kita periksa buat memastikannya dulu.”

“Maksud kamu ibu tua?”

“Ya, emang ibu udah enggak muda lagi.”

“Alah, kamu mah percaya aja sama istrimu. Orang ibu masih sehat kok, kamu ngomongnya aja ibu masih denger. Orang kata Nadia aja ibu masih normal.”

Jelas saja ia mendengarnya, suamiku berbicara setengah berteriak.

“Emangnya ibu ngomong apa ke Teh Nadia?”

“Ya, ibu cerita dikatain budeg sama istrimu.”

“Ibu bagaimana sih dipeduliin bukannya makasih, malah terus jelek-jelekkin Yasmin. Ibunya aja yang enggak sadar Teteh ngomong kayak gitu karena engak mau ribet ngurusin. Ibu mau sampai kapan sih kayak gini terus? Ibu sadar enggak, sikap ibu ini bikin siapa aja enggak betah?"

“Kok kamu jadi marah-marah sama ibu?”

“Ya ibu bangga-banggain terus Teteh yang jelas-jelas cuma datang setahun sekali, ngasih uang enggak seberapa tapi terus dibandingin sama Yasmin yang tiap hari urusin Ibu. Kalau memang dia beneran peduli, buktiin mau enggak dia ke sini, tinggal bareng sama Ibu?”

“Dia ‘kan punya anak kecil, repot. Wajar dia enggak bisa ke sini.”

“Ya, terus? Karena, kami belum punya anak, kami juga enggak ada kesibukan? Bagaiamana Yasmin mau punya anak, kalau ibu terus-terusan bikin dia tertekan.”

“Alah, istrimu aja yang manja. Lagian, dari dulu kalau bukan mandul, enggak mungkinlah kalian sampe 6 tahun enggak punya anak."

Saat itu bukan hanya aku yang melarafalkan istighfar, bahkan Kang Dadan juga tampak mengelus dada mendengarkan ucapan ibu barusan.

“Yas, ayo ikut Akang! Kita berangkat sekarang aja! beresin barang-barang kamu!

Saat itu Kang Dadan menarik tanganku ke dalam kamar. Tanpa kata, ia lantas memasukkan pakaiannya ke koperku.

“Ayo masukin barang-barangmu! Tunggu apa lagi?”

“Hm, iya Kang.”

Selesai mengepak semuanya kami lantas keluar kamar. Ibu jelas bingung melihat kami yang malah keluar dengan koper besar.

“Kalian mau ke mana?”

“Ke Bali.”

“Kok mendadak banget?”

“Kita pamit Bu, tolong jangan larang kami lagi. Sudah 6 tahun, Yasmin ngabdi sama ibu di sini, tapi sampai sekarang ibu masih aja enggak bisa menghargai kebaikan dia.”

“Enggak bisa gitu dong Dan, terus ibu sama siapa di sini?”

“Ibu telepon aja Teh Nadia yang katanya peduli sama Ibu, ayo Sayang!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Aliq
seru ceritanya... ini kusah mesyarakat ...tq penulisnya..ada pengajaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status