“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.”
“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”
“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”
“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi.
Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.
“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”
“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Saat itu suamiku hanya menarik nafas panjang. Entah apa yang akan dia pilih. Aku tak mau berharap banyak hal, lagi pula kurasa ini seperti buah simalakama. Jika dia ikut denganku, itu sama saja ia telah tega meninggalkan ibunya yang sedang sakit. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang. Itu sama saja membuatku sakit hati.“Tunggu sebentar!” katanya.Saat itu suamiku tampak mengaktifkan kembali ponselnya.“Akang telepon Teh Dewi dulu.”Saat itu entah apa yang mereka bicarakan. Kang Dadan memilih ke luar kamar. Sepertinya ia memang sengaja agar aku tak bisa mendengarkan percakapan mereka. Saat itu aku merasa suamiku pasti akan menjatuhkan pilihan untuk kembali pulang. Jadi, sambil menunggu ia kembali ke kamar, aku berinisiatif memisahkan pakaiannya. Kedalam ransel yang tadinya hanya berisi makanan.“Kok udah beres-beres aja.”“Pakaian Akang udah di ransel semua, jadi kalau mau pergi sekarang semuanya
[Ya Allah Mbak, mertuanya kok begitu sih tega banget. Tujuannya apa coba, pura-pura sakit.][Aku enggak tau, Tik.][Apa jangan-jangan dia sengaja begini, karena Mbak mau mudik ke Bali.][Hanya Bu Irah yang tahu, sudahlah kalau memang baik-baik saja. Ya sudah alhamdulillah.]Meskipun, sebenarnya aku jelas tahu apa alasan ibu melakukan hal itu, aku hanya tak ingin mengumbarnya pada orang lain. Biarlah mereka menafsirkan sendiri tentang kelakuan yang kadang tak masuk akal itu.Terkadang aku kerap mempertanyakan, untuk apa mengizinkan anaknya menikah, jika pada akhirnya ia ingin tetap memaksakan kehendaknya. Aku pikir hubungan seperti ini sudah tidak sehat. Jika, dibiarkan mungkin beberapa tahun lagi aku bisa kehilangan akal sehat.~Sepertinya aku telah cukup lama berada di dalam kamar. Saat itu ibu mulai memanggilku, wanita itu sejak aku datang ke sini. Ia bahkan, tak membiarkanku punya waktu untuk bersedih. Seakan tahu jika putrinya se
“Sudah bicaranya?”Aku hanya diam saja. Seharusnya ia tak datang ke sini. Lagi pula kenapa aku begitu teledor hingga menjatuhkan buku diary itu? Sekarang ia jadi tahu apa rencanaku. Padahal, tadinya aku ingin merencanakan berpisah secara diam-diam.Kenapa juga nasib baik enggan mendekat padaku? Aku hanya ingin bebas dari ikatan yang membelengguku selama ini. Aku sudah muak, muak dengan semua tindakan manipulatifnya. Ia yang selalu tidak tahu terima kasih dan segala hal tentang ibu mertuaku yang membuatku frustrasi.“Dengarkan Akang, pisah itu bukan satu-satunya jalan keluar,” katanya.“Bagiku enggak ada jalan lain. Aku enggak mau lagi pulang ke rumah itu. Akang cari saja istri lain yang mau tinggal di sana.”“Astaghfirrullah.”“Sudahlah, harusnya Akang pulang aja ke rumah. Kenapa juga malah nekat ke sini?”“Ya, karena istri Akang di sini.”
“Nak….”Rupanya di bawah tangga sudah ada ibu. Melihat penampilanku yang kacau ia segera mendekat, lantas memelukku tanpa bertanya apa pun.“Yas, enggak sanggup lanjutin rumah tangga kayak gini Bu.”“Kamu ikut ke kamar ibu, kita ngobrol di dalam ya. Jangan di sini!”Wanita itu menuntunku ke kamarnya yang terletak di lantai bawah.“Ibu enggak tau apa saja yang kamu lewati selama di sana, tapi caramu itu salah. Semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Kasihan suamimu, dia baru aja datang jauh-jauh nyamperin kamu, pasti juga masih capek.”“Harusnya dia enggak datang ke sini.”“Dia ke sini, karena peduli sama kamu Yas. Harusnya kamu juga sadar hal itu.”“Mau sebaik apa pun suamiku, kalau keluarganya enggak pernah suka sama aku. Percuma Bu, setiap hari ada aja yang diributin.”“Cerita sama Ibu sebenarnya sikap mertuamu itu bagai
Ya Allah, kenapa jadi begini? Bukan seperti ini yang aku inginkan. Nyatanya bukan hanya aku yang paling menderita dalam hubungan ini, bahkan suamiku juga sama saja. Entah mau bagaimana lagi hubungan kami ke depannya.Selama ini dua iparku itu memang kerap meminjam uang jika akhir bulan, jumlahnya memang tidak banyak hanya 200 atau 300ribu saja. Namun, jika hampir setiap bulan ia meminjamnya, terkadang kami juga risi.Apa lagi mereka tipe orang yang sangat sulit membayar hutang. Kadang pinjam 300 bayarnya hanya 100 ribu. Jika, suamiku menagihnya pun mereka malah mengungkit bakti. Katanya, dulu apa yang mereka berikan pada suamiku lebih dari sekedar uang yang jumlahnya tak seberapa itu.Entah kenapa dengan mereka? Jika jumlahnya memang tak seberapa, kenapa juga harus berhutang? Suamiku hanya bisa pasrah. Ia pun sejujurnya kesal, tetapi mengingat jasa mereka saat membantu membiayai sekolahnya Kang Dadan tetap saja tak enak hati.Namun, memang semakin ke sini
“Maafin ibu, Yas. Selama ini Ibu sudah salah sama kamu. Ibu janji akan merawat anak kamu nanti. Kamu pulang lagi ya ke rumah!”Bukan hanya aku yang terdiam, bahkan ibu juga hanya bisa terpaku di tempatnya. Menyaksikan besannya yang terus meracau di lantai.Saat itu Kang Dadan yang wajahnya sudah merah, karena menahan malu. Ia segera membantu ibunya berdiri denan sedikit memaksa, karena saat itu entah apa yang ada di pikirannya. Ia sudah seperti anak kecil, menangis sambil meraung-raung.“Jangan begini Bu, bangun dulu!” ucap Kang Dadan.“Biarin aja Dan, ibu memang salah hiks. Ibu harus minta maaf.”“Aku udah maafin ibu kok, tapi maaf aku enggak bisa balik ke sana,” ucapku, yang sudah tak tahan lagi dengan tingkahnya yang ajaib.Apakah menjadi tua akan selalu seperti ini?“Kenapa? Itu artinya kamu belum maafin ibu, buktinya enggak mau pulang?”Saat itu ibu