Bagian 13Malam hari pun tiba, Pak Ridho benar saja meneleponku, aku tak tau apa yang akan dia bicarakan. Aku pikir dia akan membicarakan hal penting, tapi nyatanya kami hanya bicara hal hal yang ringan saja. “Ratih, aku tau banyak tentang kamu, Helen telah menceritakan semuanya.”Aku terkejut mendengar penjelasan Pak Ridho, sebenarnya apa yang telah Helen sampaikan tentang aku ke Pak Ridho?“Helen bilang apa Pak?”“Bilang semuanya, semuanya tentang kamu.”“Maaf pak. Helen hanya ponakan aku yang hanya tau sebagian kecil dari masalah ku, selebihnya dia tak tau apa-apa.”“Oh begitu ya? Sudahlah lupakan ya, hari ini dan hari esok adalah milikmu, kamu harus punya harapan, harapan untuk lebih baik.”“Iya Pak.”Waktu semakin cepat berlalu, pihak panitia meminta data diri untuk pengurusan visa , aku menyerahkannya dengan cepat. Hingga tak sabar aku menghitung hari demi harinya. Aku ingin tau bagaimana indahnya negara lain selain negara yang ku tempati ini, bagaimana menara Eiffel
Bagian 14“Hanif sakit?” tanya Pak Ridho dengan raut wajah panik.“Bukan Pak, tapi adiknya Hanif yang sakit.”“Bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih di dalam Pak.”“Kamu yang sabar ya, insyaallah tidak akan terjadi hal buruk pada anakmu.”“Aamiin.”Pak Ridho menoleh ke arah Mas Adam yang sedari tadi memperhatikannya. “Maaf anda siapa?”tanya Mas Adam yang sedari tadi memperhatikan Pak Ridho. “Kenalkan, saya Ridho temannya Ratih.”Mas Adam menatap penampilan Pak Ridho dari atas sampai bawah.“Ooh.” Ia menanggapinya dingin.Tak ingin berlama -lama, aku bergegas menemui Rahma, Akhirnya, aku bisa berada di sampingnya suatu hal yang sangat menenangkan. Saat itu Rahma terlihat begitu lemah, matanya terpejam rapat, ia belum tersadar, aku tak bisa meninggalkannya. Tak terasa sudah tiga hari aku berada di rumah sakit menunggu Rahma, ada perubahan yang terlihat ia sudah bisa menggerakkan jemarinya, dan matanya yang mulai berkedip-kedip meskipun masih terlihat tertidur. Sampa
Bagian 15Penjelasan Rahma tentang susu itu membuktikan Helen melakukan kejahatannya terhadap dirinya. Aku ingin mengusut tuntas masalah ini, karena sekejam itu Helen akan mengorbankan nyawa anakku. Tapi apalah daya, aku tak memiliki bukti apapun, bahkan gelas susu pemberiannya ikut lenyap tak tersisa, Helen begitu apik menjalankan aksinya. Keadaan Rahma membaik, Ibu dan Mbak Yuli ikut menjenguk Rahma di rumah sakit. “Ratih, Ibu minta maaf, baru bisa menengok Rahma hari ini, kemarin ibu sakit kepala, bahkan untuk berdiri saja dunia ini rasanya muter-muter.”“Iya Bu, tidak apa-apa, yang terpenting Rahma sekarang sudah sehat lagi, ingat bu jangan terlalu lama menonton televisi, nanti vertigo ibu kambuh.”“Iya Ratih, akhir-akhir ini Ibu suka nonton film kesukaan ibu, jam tayangnya lumayan malam dan lama. Mungkin karena itu.”“Bisa jadi karena itu bu.”Mbak Yuli mendekati aku, seakan ada yang ingin ia sampaikan.“Ratih, Mbak mau tanya. Ko kamu bisa berubah seperti ini? Ngomong-n
Bagian 16“Oh, begitu ya Bu? Tidak Bu. Perasaan saya pada ayahnya anak-anak tidak ada yang spesial. Biasa saja.” Bu Neni melempar senyum padaku.Saat itu aku dilema, aku ingin dekat dengan anakku Rahma, tapi kalau mas Adam setiap hari menemuiku, rasanya aku tak nyaman juga. Ku tatap wajah mungil Rahma yang sedang bermain boneka seorang diri.“Rahma? Rahma betah di sini atau di rumah Ayah?”tanyaku sembari menatap mata bulatnya.“Disini sama ibu, Rahma mau di sini saja sama ibu.” “Oooh, kamu mau di sini ya?Anak itu menganggukan kepalanya dengan cepat.Bagaimana ini? Rahma pun merasa betah denganku, rasanya tak tega aku jika harus menyuruhnya kembali pada Ayahnya. Aku kembali bicara pada Bu Neni, meminta pendapatnya untuk jalan terbaik. “Saya mengerti perasaan mu Ratih, ya sudah nanti kalau Adam datang, bicara kan dengannya, agar dia tidak sering datang ke sini.”“Baik Bu. “Keesokan harinya, di siang hari menjelang sore,Terdengar bunyi klakson mobil Mas Adam. Saat a
Bagian 17 Aku tak bisa memarahi Mas Adam di depan Rahma, ku ajak anakku ke kamar dan ku tidurkan ia. Setelah Rahma tertidur aku langsung bicara dengan Mas Adam. “Mas, aku tidak suka kamu perlakuan begini, kamu pikir aku tidak kerja? Kamu pikir aku tidak punya perasaan?” “Ada apa Ratih? Kenapa kamu marah?” “Kenapa? Kamu belum juga mengerti ?” “Mas Adam kita sudah bukan suami istri lagi, kita sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku gak mau kamu memanfaatkan Rahma.”sambung ku. Aku bergegas ke luar rumah. Namun Mas Adam menahanku. “Ratih, tolong jangan pergi. Aku mohon kembalilah hidup di sini bersama kami. Kami sangat membutuhkan mu Ratih. Oke! Kamu jangan lihat aku, tapi lihat Rahma, dia masih kecil. Tolong mengerti...” Mas Adam memohon mohon padaku, raut wajahnya menampakan perasaan iba. Dulu dia yang menyuruh ku pergi, sekarang dia memintaku untuk kembali. Bagian 9. Aku melihat Mas Adam menangis tanpa suara di hadapan ku, terlihat dari gerakan bahunya. “Mas, aku minta
Bagian 18“Ratih, apa kamu tau? Saya membuat suasana seperti ini untuk apa?”“Tidak Pak, memangnya untuk apa?”“Untuk melamarmu.”“Apa?” Seketika merah sudah wajahku menahan rasa malu. Apa aku sedang bermimpi? Apa Pak Ridho sedang bergurau?“Iya Ratih, aku serius. Apakah kamu mau jadi istri ku?”tanya Pak Ridjo sembari membuka kotak perhiasan berupa cincin indah di atas meja.“Aku tau, bapak sedang bercanda.”“Tidak Ratih, aku serius. Jawab sejujurnya apa kamu mau menerimaku?”Ah rupanya dia benar-benar ingin meminang ku. Bagaimana ini? Sebenarnya aku juga menyukainya, tapi rasa trauma untuk menjalani pernikahan ke dua. Apa dia benar-benar mencintaiku apa adanya? Atau karena penampilan ku yang sekarang?“Ratiiiih, ko malah ngelamun? Saya nunggu jawaban kamu?”“Aku, aku, aku belum bisa jawab pak. Nanti aku pikirkan dulu. Karena ini terlalu mendadak buat aku.”“Ooh, begitu. Oke tidak masalah. Tapi saya mau kamu menerima cincin ini. Dan beritahu saya ,sampai kapan saya menunggu
Bagian 19..**** Pagi hari sebelum sibuk beraktivitas Hu Neni memanggilku.“Sini Ratih, saya akan coba dulu bikin luka di wajah kamu. Takutnya gak mirip luka lagi.”Aku menyetujuinya, dan Bu Neni mulai membuat jerawat di wajahku satu persatu. Hingga nampak banyak sekali jerawat di wajahku.“Gimana Tih, udah mirip jerawat beneran apa belum?”“Sudah Bu sudah, aku geli liatnya Bu.”Kami berdua terkekeh bersama..“Tapi Ratih, seandainya dia menjauh karena hal ini, apa kamu akan kecewa?”“Kecewa pasti ada Bu, tapi Aku tidak akan menyesalinya. Aku hanya ingin di cintai apa adanya. Bu Neni langsung memelukku.“Oke Ratih, saya mau ke rumah Jeng Atin dulu, nanti itu kamu bersihkan saja sendiri ya?”“Baik Bu. Hati-hati.”Bu Neni pun meninggalkan rumahnya. Sementara aku duduk di depan cermin membayangkan wajah yang sangat mengerikan ini. “Aduh, Mas Ridho takut gak ya liat wajah aku? Semoga dia gak kabur, semoga dia tetap mencintai ku, meskipun aku buruk rupa. “Sesekali aku b
Bab 20. “Ayok cepat siap-siap.” Pinta Mas Ridho sedikit memaksa. “Ya sudah aku siap-siap dulu ya Mas.”Aku bergegas ke kamar. Di dalam kamar aku meluapkan kegembiraan ku. Tak terasa aku loncat loncat kegirangan. Kebahagiaan ini melebihi rasa senang saat mendapat juara model. Tak terasa air mataku menetes dari sudut mata, aku telah menemukan orang yang cocok, dia sangat menghargai ku. Ku ucapkan rasa syukur beberapa kali pada Allah Subhana wa ta’ala.Ku bersihkan makeup ku, hingga wajah ini kembali terlihat kecantikannya. Dan aku segera menemui Mas Ridho yang sedang menunggu.“Mas?”Mas Ridho beranjak dari duduknya, dan menoleh ke arah ku. “Ratih? Kamu?”Aku tersenyum melihatnya. Namun nampaknya Mas Ridho masih belum mengerti apa yang terjadi. “Ko hilang? Ko kamu?...”“Kenapa Mas? Ko aneh begitu liatin aku? Tanyaku pura pura tak mengerti.“Luka di wajahmu kemana?”Aku terkekeh sebelum menjawabnya.“Aku bersihkan lah Mas, kelamaan gak enak liatnya. Hihihi.”“Jadi,