"Marry, maafkan istriku ya." Kata Nandean di telinganya.
Marry melenguh."Salam dari Leang untuk Tante Marry cantik." Kata Nandean lagi.Bulir bening mengalir dari mata Marry.
Lalu isaknya perlahan terdengar.Ternyata dia bisa takut, dia juga bisa menangis. Pikirku. Entah menangis marah atau menangis menyesal.
"Marry, semua orang menyayangimu. Saya dan Mamamu juga sangat menyayangimu. Meski kau suka melawan, sering buat kami marah, kami tetap menyayangimu." Kata Bapak.
"Siang malam kami mendoakan keselamatanmu, siang malam kami mengharapkan kesembuhanmu. Cepatlah kau sembuh dan mulai hidupmu yang baru." Lanjut Bapak.
Marry terisak semakin keras. Tapi ia tak mengatakan apa pun.
Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang kutahu, saat ini aku merasa lega karena Marry sudah dalam keadaan sadar kembali, rasa bersalahku sedikit berkurang.
Mama mengusap-usap lengan Marry, memberinya penguatan dan penghiburan.
"Cep"Itukan adiknya sendiri. Apa dia tega melakukan hal-hal jahat pada adiknya?" Tanyaku."Kau tidak tahu." Jawab Nandean."Saat aku kecil dia pernah menyiram dadaku dengan air panas, ia marah karena dimintai tolong Mama untuk membuatkan aku susu. Tapi dia beralasan bahwa akulah yang tidak sabar merebut gelas susu yang masih panas untuk diminum." Cerita Nandean.Aku tersentak."Lalu?" Tanyaku"Pokoknya dia paling pintar cari alasan dan mengelabui kami, terutama Bapak. Pada Bapak dia selalu mencari muka dan bersikap seperti orang tak punya dosa." Jelas Nandean."Tapi kan sekarang Bapak sudah tahu," Kataku."Bapak baru tahu semua kelicikannya saat Naura akan menikah. Dia terus menghalang-halangi pernikahan Naura, akhirnya Naura menceritakan semua perbuatan Lily pada kami." Kata Nandean."Makanya Bapak tetap menikahkan kita meski Lily marah dan mengamuk saat itu. Bapak tak mau menunjukkan bahwa selama ini dia dipengaruhi Lily. Bahkan ketika k
Ada yang diuji dengan pasangan, ada yang diuji dengan mertua atau ipar, ada yang diuji dengan orangtua, ada yang diuji dengan anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menerima ujian itu dengan ikhlas dan menjalaninya sesuai skenario Tuhan.Seorang teman pernah berkata, jangan mencari jawaban dari ujian hidup. Sebab saat kita temukan jawaban, hidup telah mengganti ujiannya. Percaya saja bahwa Tuhan memberikan ujian lengkap dengan jalan keluar atau jawabannya.Leang asyik menonton televisi, sesekali bertanya ini itu kepada Anggun."Halo, ya. Kenapa, Ra?" Anggun menjawab panggilan telponnya.[ ............. ....... ....... ] Suara tak begitu jelas dari lawan bicara Anggun."Marah-marah kenapa?" Tanya Anggun.[..... ..... .... .... .... ....]"Ngapain juga kau ngurusin dia. Biar aja semau dia, kan dari dulu juga begitu." Anggun menggerutu.[.... ..... .... .... .... ....]"Ya kalau dia bilang begitu suruh kesini aja, ngomong sama do
"Kakak bicarakan saja dengan Bapak Leang, bagaimana sebaiknya." Jawabku, mengulur pembicaraan."Kalau Bapak Leang kan adiknya Marry, keluarga sendiri. Pasti tidak akan perhitungan. Tapi yang mencelakakan Marry sampai seperti ini kan Naya, bukan Bapaknya Leang.""Tapi saya kan istrinya." Jawabku."Istri kan beda dengan saudara kandung." Katanya lagi."Jadi maksud kakak pertanggungjawabannya berbeda?" Tanyaku."Jelas bedalah." Jawabnya."Menurut kakak yang bertanggungjawab atas saya siapa?" Tanyaku lagi, menguji nalarnya."Ya keluarga Naya.""Bukan suami saya?""Ya bukanlah.""Tapi kan saya sudah menikah.""Tetap saja tanggungjawab terbesar itu dari keluarga, bukan dari suami. Suami kan orang luar." Jawabnya."Jadi Bapaknya Leang itu orang luar? Lalu Leang?" Tanyaku."Leang kan anaknya, cucu Bapak, keturunannya.""Apakah Leang bisa lahir tanpa ibunya?" Tanyaku."Jangan mengalihkan
"Coba saja kalau bisa." Aku tersenyum mengejek.Lily mengambil cup air mineral didekatnya dan melemparkan padaku. Lemparannya meleset. Padahal aku sama sekali tak bergerak menghindar. Aku memang sengaja memancingnya berbuat kasar agar aku punya bukti fisik.Naura memegangi Lily."Sudah, ly. Nanti darah tinggi mu kambuh lagi." Kata Naura."Biar saja! Biar aku mati sekalian!" Teriak Lily."Kakak kepingin mati? Silakan saja!" Jawabku.Lily menatapku garang.Anggun menarik tanganku, mengajak keluar ruangan.Aku menolak. Di ruangan ini harus ada orang ketiga jika Lily ada.Naura seperti memahami keadaan, dia menelpon Rossy.Tak lama Rossy masuk ke dalam kamar."Kau senang kan kalau aku mati? Biar puas kau pengaruhi Bapak dan Mama! Biar kau kuasai semua yang ada di rumah kami!" Lily masih terus berteriak.Aku melangkah ke pintu."Kabari saya kalau kakak mati, saya akan menyumbang paling banyak!" Ucapku sambil
Aku mengenggam tangannya yang menempel erat dibahuku. Kurasakan beban terbagi lewat bahu dan tangan kami, hingga nafasku menjadi ringan."Apa yang harus kujawab jika Bapak dan Mama bertanya tentang peristiwa tadi?" Tanyaku lirih."Jangan khawatir. Kedua mertuamu itu sayang sekali padamu, sampai aku pun cemburu." Gurau Nandean sambil mengelus pipiku.Aku tersenyum.Jika suamiku saja cemburu pada kasih sayang orangtuanya padaku, apalagi ipar-iparku.Pintu diketuk, kami mendengar suara lembut mengucapkan salam.Bapak dan Mama berdiri di muka pintu, kami menyambutnya masuk."Sudah mau pulang cucu saya ini ya, sudah sehat kau ya?" Bapak langsung menegur Leang sambil mengusap kepalanya.Leang tertawa."Hati-hati di rumah ya, jangan melompat-lompat dan lari-lari dulu kau nanti, supaya sehat dulu badanmu, biar tak robek lagi lukamu." Pesan Bapak."Iya, pung." Jawab Leang."Sudah kau tengok si Marry pagi ini?" Tanya Bapak kepada
"Tiketnya belum ada ya, Pakde?" Tanya Leang lagi."Iya, tiketnya belum dicetak, tunggu Leang sehat dulu. Makanya cepat sehat lagi ya, biar kita cuuussss naik pesawat." Jawab Kak Ilham. Kami semua tertawa mendengar percakapan mereka. Seperti biasa kedua pasang besan itu berbasa-basi. Lalu ke-empatnya keluar berbarengan menuju ruang rawat Marry. "Pakde, mau lihat ini gak?" Tanya Nandean sambil menyodorkan handphone miliknya kepada kakakku."Apa ini?" Tanya kakakku sambil mengambil handphone dari tangan Nandean. Video berputar, terdengar suara Lily dan suaraku disana.Kedua kakakku tampak serius mendengarkan."Masya Allah!" Seru mereka setelah video berakhir. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak. "Bapak Leang, maaf ya, kalau menurut kami kakaknya Bapak Leang ini memang aneh sekali." Kata Kak Irfan sambil tertawa. Kak Ilham hanya tersenyum.Nandean ikut tertawa."Biar Pakde tahu saja. Jadi kalau ada apa-apa jangan
"Jika suatu hari nanti, mereka butuh pertolonganmu, bantuanmu, bantulah sepenuh hatimu sekuat kemampuanmu. Jangan mengungkit hal-hal buruk yang pernah mereka lakukan. Mereka juga saudaramu. Saat kau memutuskan menikah, kau bukan hanya menikahi pasanganmu tetapi juga keluarganya." Ibu melanjutkan nasehatnya."Mertuamu orang baik, ipar-iparmu juga sebenarnya baik. Mengapa mereka tidak suka padamu, mungkin kau juga harus introspeksi diri, berusaha menemukan kekurangan dirimu."Dadaku berdegup."Kelebihan kita kadang menjadi kekurangan kita, kekuatan kita kadang menjadi kelemahan kita."Ibu terus bicara.Aku pun terus mendengarkan."Bisa jadi sikap buruk mereka menjadi-jadi karena kau terlalu baik, selalu mengalah sehingga memberi mereka kesempatan untuk selalu bersikap buruk padamu. Itu juga kelebihan yang menjadi kekuranganmu." Sela Ayah, yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu teras samping."Ayah sendiri merasakan sikap mereka
"Mungkin benar kata Ilham, Lily itu tak ingin dikalahkan, termasuk soal jodoh. Tapi dia sendiri kenapa belum menikah juga sehingga akhirnya harus didahului adik-adiknya." Gumam Ayah."Karena sifat egois, tidak mau kalah, merasa benar sendiri, ditambah gaya bicaranya yang ketus, mungkin itu yang menyebabkan lelaki mundur." Jawab Kak Ilham."Kita doakan saja semoga Lily segera mendapatkan pasangan yang bisa menerima segala kelebihan dan kekurangannya, begitu juga dengan kakak-kakak Nandean yang lain." Kata Ibu."Kapan-kapan kita diskusikan hal ini dengan Bapak Leang. Bagaimanapun sebagai saudara kandung yang saling kenal dan hidup bersama puluhan tahun, pasti mereka lebih tahu apa yang sebenarnya ada dalam keluarga mereka." Ayah menyudahi pembicaraan."Kita menginap saja malam ini, biar bisa ngobrol banyak dengan Nandean. Sekalian menghibur si Leang." Usul ibu."Tak apa-apa kan, Nay?" Tanya ibu padaku."Naya senang kalau ayah dan ibu mau menginap