Bab 19 Jangan Sentuh IstrikuIbu dan Mas Bagus tampak berbincang-bincang dengan teman-temannya masing-masing. Aku berinisiatif untuk menemui Kasih, sekedar mengucapkan selamat sebagai saudari kembar."Kasih, eh, Mbak Kasih, selamat ya." Aku mengulurkan tangan.Kasih menjabat tanganku, namun wajahnya masih tersenyum sinis. "Kamu iri 'kan, karena aku selama ini lebih baik darimu, Cinta.""Nggak, kok, Mbak. Aku malah seneng sekarang." Padahal memang, kadang aku merasa iri padanya, tapi untuk kali ini aku merasa lebih beruntung."Aku sudah buktikan, kalau aku bisa dapatin cowok yang lebih baik dari suamimu itu.""Ini bukan perlombaan atau kompetisi, Mbak Kasih."Kasih mengangkat sebelah bibir. Ia menyilangkan tangan di dadanya. Jam tangan mewah pemberian Rinaldi itu sengaja ia pakai, barangkali untuk ia tunjukkan ke orang-orang."Kalau kalah, orang memang selalu beralasan," gumamnya.Perasaanku membuncah."Kasih, kamu nggak sadar sudah tunangan dengan tikus?" Ya Allah, sampai keluar kata
Mas Rama."Lov, kamu susul Kasih." Mas Rama menggoyangkan kepalanya menyuruhku mengejar saudariku."Lov, kamu susul Kasih. Biar aku yang tangani cowok ini." Mas Rama menggerakkan kepalanya sedikit, memintaku menyusul saudariku itu."Iya, Mas." Jam tangan Kasih yang kupegang kini kusimpan dalam tas Hermes-ku. Enak saja dikembalikan ke Rinaldi, yang namanya pemberian tak boleh diminta lagi.Aku berbalik dan mengejar Kasih. Sampai di depan gedung, Rindu bertanya, "Ada apa sih, Mbak?""Nanti aja ceritanya, Mbak mau ngejar Mbak Kasih." Rindu paham."Rindu ikut." Rindu berlari kecil di belakangku."Kasih, tunggu!" teriakku pada Kasih yang berjalan cepat menuju toilet wanita. Ia kemudian memasuki toilet yang mirip toilet hotel atau bandara itu. Aku dan Rindu menyusul."Aaaarghh!" teriak Kasih sekuat tenaga di depan cermin. "Aaaaarh!" Langkahku berhenti satu meter di sebelahnya. Ia memandangi cermin dan menatap wajahnya sendiri lamat-lamat."Kasih," ujarku "maaf aku yang membuat semua kekaca
"Rendra, berhenti!" pintaku dengan suara agak lantang.Kuperhatikan dari dalam mobil dengan jendela yang terbuka. Kasih tertunduk sambil berlutut di pinggir jalan di depan sebuah restoran. Tangannya menutupi wajah, seraya terisak-isak. Ia tampak tak peduli pada beberapa orang yang lewat menoleh padanya.Sementara di depannya seorang pemuda yang tak lain adalah Rinaldi berdiri seperti berteriak memaki-maki. Hatiku terenyuh.Di samping Rinaldi, berdiri pula seorang wanita lain yang berwajah angkuh. Tangannya bersilang sombong di dadanya. Gaun merah marun membuat ia tampak lebih memuakkan.Aku tanpa pikir panjang turun dari mobil dan menghampiri mereka."Jadi kamu udah tahu maksud aku yang sebenarnya, 'kan?" jerit Rinaldi dengan mata nyalang di depan Kasih."Kenapa, Di, kenapa kamu sejahat ini?""Jahat? Siapa yang jahat, Kasih." Rinaldi tersenyum sinis. "Ini hanya bisnis. Jangan tersinggung.""Kurang ajar kamu, Di." Kasih terus tersedu-sedu, air matanya berurai."Hentikan tangisanmu itu,
"Mbak?" Aku mengeraskan suara, karena samar dihapus hujan. Tubuhku, juga tubuh Kasih, sudah sepenuhnya basah dan tak peduli lagi petir menggelegar mengamuk di sudut langit sana."Mau apa kamu, Cin?" Suara Kasih terdengar pelan.Aku ikut berlutut di sampingnya. Kupegang tangannya. Ia menepis, tapi aku tetap kuat memegang tangannya."Dasar bodoh!" ujarku."Kan, cuma mau bilang aku bodoh."Aku langsung mendekap Kasih erat. Erat sekali. Ia agak meronta untuk melepaskan dekapanku. Tapi semakin ia meronta, semakin aku kuatkan dekapanku padanya hingga ia tak dapat bergerak lagi dan pasrah."Bodoh," lanjutku, "kenapa harus lari dariku, kamu itu butuh pelukan seperti ini. Jangan pura-pura kuat. Jangan menanggung semua luka sendirian." Hujan agak melambat. "Cinta?" Suara Kasih serak."Selama ini sebenarnya kamu capek, 'kan?"Kasih terus terisak dalam pelukanku."Kamu selalu terbebani untuk membuat Ibu bangga, 'kan? Kamu pura-pura kuat dan terus belajar untuk berprestasi, kamu lulus kuliah cep
Esok paginya kami hendak menjenguk Kasih ke rumah sakit. Di sebuah lorong menuju ruang perawatan, seorang anak kecil lelaki, barangkali tiga atau empat tahun sedang menangis sendirian.Melihat anak kecil itu, melas rasanya hatiku. Kutarik lengan Mas Rama untuk mendekatinya."Adek, kenapa nangis?" tanyaku halus.Anak itu malah melempariku dengan jajanan yang tadi ia genggam. Aku memungut jajanan itu dan menyosorkan padanya. Ia menepis, masih sambil menangis.Beberapa saat setelah itu, seorang wanita paruh baya dengan baju hijau zamrud menghampiri. "Maaf, anak saya nakal ya?" Wanita itu matanya sembab. hidungnya memerah dan matanya berair. Jelas sekali ia habis menangis.Anak itu meronta-ronta tak terkendali, membuat Ibunya yang menghampirinya kembali meneteskan air mata."Mbak, Mas, bisa titip anak saya ini. Dia memang agak hiperaktif. Saya harus ngurus Papanya yang lagi kritis. Tolong ya Mas, Mbak," mohon wanita itu pada kami."I-iya." Wanita itu bergegas pergi, sambil menutupi hidu
Puasa kesekian. Langit kota Jambi cerah biru membentang. Suara hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang terdengar harmoni.Mobil kami sudah berada di ruang parkir Aurora Corps jam 9.00 pagi itu. Seperi biasa, Mas Rama membukakan pintu untukku sebelum turun. Aku turun perlahan lalu menggamit tangannya mesra. Kami bersama-sama menuju ruangan direktur. "Selamat pagi, Pak Panorama," sapa petugas keamanan perusahaan yang berjaga di pintu masuk.Ah, satpam saja tahu Mas Rama, masa Rinaldi yang manajer keuangan tak tahu. Batinku.Aku dan Mas Rama mengangguk pelan dengan senyum tipis di bibir. Setelah memasuki kantor itu, beberapa karyawan menunduk dan menyapa kami tiap berpapasan. Kami pun membalas dengan anggukan dan senyum pula.Ceklek. Kami memasuki ruangan direktur."Mas, Mbak?" tegur Tara melihat kami masuk. Dua orang lain berada di ruangan itu sedang berbincang-bincang dengan Tara.Tara tampak elegan dengan blezer dan celana hitam. Ia berjalan anggun mendekati kami. "Duduk, Mas, Mbak Ci
"Tidak, apa yang anda akan lakukan pada saya, Pak Rama?" rengek Rinaldi. Namun dua orang lelaki itu langsung memegang lengannya dan menariknya hingga berdiri. Tangan Rinaldi kemudian dicekal dan dikunci dengan borgol plastik. "Ini barang buktinya, Mas." Tara menyerahkan dokumen merah, Mas Rama membuka dan ia langsung tersenyum. "Transfer uang perusahaan senilai 1,3 milyar ke sejumlah orang yang dilaporkan sebagai client, tapi nyatanya client fiktif. proyek fiktif, pesanan fiktif. Ini jelas kasus pencucian uang, suadara Rinaldi!" "A-apa? Dari mana anda tahu?" "Ah, jangan bodoh Rinaldi. Aku? Hal seperti ini saja tidak tahu?" Mas Rama menunjuk dirinya sendiri, lalu menghempaskan map itu ke atas meja. "Si*lan kamu Rama! Kamu pura-pura miskin dan jadi orang lain hanya untuk mencari tahu semua ini, 'kan?" "Memang sih." Aku menjawab, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ini semua rencana Mas Rama." Rinaldi tak berkutik dalam penjagaan dua anak buah Mas Rama. Matanya menatap taja
Aku terjebak dalam ruangan dekan genit, buaya cap kelinci hutan yang sudah diujung syah**tnya saat menatapku. Jantungku berdegup tiada hentinya setelah kulayangkan tamparan sekeras padanya. Ia meringis sebentar, tapi kemudian matanya nyalang dan bengis.Tuhan, apa yang akan ia perbuat padaku? Selamatkan aku, Tuhan. Tanganku perlahan meraih ponsel untuk menelepon Mas Rama. Namun tangan Pak Dekan langsung menyambar ponsel yang kukeluarkan dari tas. Aku menarik tangan sehingga sambarannya tak mengenai ponselku."Mau hubungi siapa, hah?" Lelaki berambut tipis itu menyeringai."Kamu cuma saya minta pegangan tangan gak mau, kalau begitu sekarang saya terpaksa memaksa kamu untuk ciu-"" terusnya."Sadar, Pak! Bapak orang terhormat." "Hahaha. Kita nikmati saja."Tok tok tok. Suara pintu diketuk.Tok tok tok! Lebih keras.Semoga seseorang masuk dan aku selamat. Semoga. Tuhan, kirimkan orang lain untuk mengeluarkanku dari sarang buaya ini.Tok tok tok! Sekali kagi. "Kamu masih beruntung, Cinta