Share

AKU SANG ISTRI BOSS
AKU SANG ISTRI BOSS
Author: Ara Hakim

Dikira Petugas Kebersihan

1 Kepolosan Cinta

Karena mencium hal yang tidak beres, aku dan Mas Rama harus memeriksa sendiri kantor cabang salah satu perusahaan kami. Kantor itu dipimpin oleh manajer baru sejak setahun lalu, namun manajer itu bukan pilihan Mas Rama sendiri. Zapa sebagai salah satu pemilik saham lah yang memaksa menerimanya untuk mengelola perusahaan.

Awalnya, Mas Rama ragu dan tidak memercayainya. Namun kegigihan Zapa yang juga memiliki saham membuatnya mengalah.

Aku memasuki bagian loby kantor. Melihat sekeliling bangunan dengan nuansa minimalis itu.

“Maaf, Bu,” tegur bagian resepsionis padaku dengan suara ramah dan lembut sambil memasang senyum terbaiknya seperti yang selalu ia lakukan pada setiap tamu, “ada keperluan apa datang kemari?”

Aku menghentikan langkahku dekat meja resepsionis itu dan tersenyum tipis. “Mau memeriksa perusahaan dan operasional di kantor ini.”

“Maaf, apa Ibu sudah ada janji dengan kepala manejer?” selidik wanita muda dengan jilbab krem itu padaku. Aku yakin ia memang belum tahu kalau aku adalah istri dari pemilik Rama Corporation.

“Tidak perlu buat janji.” Aku tersenyum lagi.

“Sekali lagi maaf, Bu, tidak boleh bertemu manajer tanpa buat janji. Silakan buat janji terlebih dahulu.” Wanita itu menangkupkan tangan ke dada seperti minta maaf, dari tulisan di dadanya itu aku tahu namanya Clara.

“Saya istri pemilik perusahaan ini. Kedatangan kami mau memeriksa sistem yang dijalankan, kalau buat janji terlebih dahulu, semua orang akan bersiap-siap dan kami tidak akan mendapat hasil yang valid.”

“Ibu istri Pak Rama?”

“Ya.”

“Muda sekali.”

“Kamu juga muda.”

“Tapi saya bukan istri Pak Rama.” Wanita itu terkekeh.

Aku membuka kacamataku lalu meletakkannya ke dalam tas. “Kalau begitu, boleh saya masuk?”

“Tunggu, saya harus konfirmasi ke Pak Rama terlebih dahulu.”

“Silakan.”

Aku menunggu beberapa saat.

Mas Rama sebenarnya tadi datang bersamaku, tapi katanya ia mau menemui kenalan lama tak jauh dari kantor ini dan tidak mengizinkanku ikut. Jadi aku masuk saja duluan tanpa menunggunya lagi.

“Boleh saya lihat kartu identitas Ibu?” tanyanya.

Aku lekas mengeluarkan dompet dalam tas dan kuambil KTP-ku, lalu kuulurkan padanya.

“Lovarena Cinta," ujar si resepsionis mengeja nama yang tertulis di KTP, “baik, sesuai dengan nama yang disebut Pak Rama. Kalau begitu, silakan naik ke lantai tiga, belok kiri, ada meeting room disitu Bu Cinta. Manajer dan jajaran petinggi perusahaan sedang berpesta karena berhasil menyelesaikan proyek.”

“Pesta?”

“Iya, Bu Cinta.”

“Sering?”

“Biasanya kalau selesai proyek saja, Bu.”

“Oh, kalau begitu saya akan kesana. Terima kasih.” Aku beranjak meninggalkan meja resepsionis itu menaiki lift ke lantai tiga hingga sampai ke meeting room.

Dari depan pintu terdengar suara orang di dalam. Ada suara tertawa, ada pula suara berteriak senang. Segera kuraih gagang pintu dan kuputar. Aku memasuki ruangan itu.

Seketika semua orang di dalam memperhatikanku. Namun keadaan ruangan itu membuatku lebih syok lagi. Gelas-gelas berisi minuman terhidang di atas meja dengan banyak pula piring yang berisi makanan. Asap rokok mengepul. Beberapa botol bir melengkapi. Apa yang mereka lakukan di waktu puasa begini?

“Heeh, nanti saja beres-beresnya!” pekik seseorang dari sudut ruangan kepadaku, namun itu tak membuatku mengindahkan mereka. Mataku masih berkelana menyapu semua pemandangan yang kutangkap.

“Eh kamu! Kamu nggak tahu kami ini siapa?” celetuk seorang wanita berkacamata berambut sebahu.

Aku melangkah masuk sambil menutupi hidungku karena menghindari asap rokok dan bau alkohol. Pintu tertutup kembali dengan sendirinya.

“Siapa manajer?” tanyaku dengan suara datar.

“Ada apa?” Seorang lelaki paruh baya yang di kepalanya ada beberapa helai uban memutar kursi dan menghadap ke arahku sambil melempar pandangan yang tajam.

“Anda muslim?” tanyaku elegan.

“Ya. Lalu mengapa?”

“Ini bulan Ramadhan!”

“So?”

Aku tersenyum tipis, “Adakah sedikit rasa malu dan respek anda terhadap agama?”

Pria itu mengangkat bibir. “Kamu siapa memangnya?”

“Tidak penting siapa saya.”

“Dia pasti tukang bersih-bersih baru, Pak Brian.” Seseorang menjawab, namun tak kuindahkan dan tak kutoleh sama sekali.

Lelaki yang dipanggil Brian itu berdiri dari kursinya dan berjalan mendekatiku. “Kalau hanya petugas bersih-bersih, jangan ikut campur urusan saya. Saya ini manajer disini. Kamu bisa langsung saya pecat!”

Aku memejamkan mata pelan dan tetap tersenyum. “Bisakah anda bicara dengan lebih sopan dan beradab?”

Brian melotot. Tangannya bergerak dan hendak mendorongku.

“Jangan sentuh saya!” Aku mengangkat tangan memperingatkan.

“Ooh, sok suci rupanya.” Brian malah melangkah mendekatiku, membuatku mundur selangkah. Ia lalu meraih segelas air di atas meja, “Kamu puasa, hah, puasa? Sok alim, sok bersih!” Mata Brian memerah.

“Apa yang anda lakukan?”

“Mancekokimu dengan minuman ini.” Brian mengangkat gelas berisi bir itu agak tinggi.

“Tidak, jangan lakukan atau anda akan menyesal!”

“Menyesal? Hahaha.” Brian malah tertawa.

“Diam! Berhenti! Aku bisa mengadukan pada suamiku soal ini dan kalian akan berurusan dengan polisi!”

“Hahaha. Polisi? Polisi bertekuk lutut di depan kami. Asal ada uang, semua beres.” Brian terus melangkah mendekatiku. “Mei, pegang dia!”

Wanita berambut sebahu lekas berdiri dan memegangi bahuku hingga aku tak bisa kabur.

“Jangan … sentuh!” Bahuku pun dicengkeram oleh wanita bernama Mei itu dan aku tak bisa bergerak.

“Ini.” Tangan besar Brian menyentuh daguku lalu memaksa membuka mulutku. Sesaat kemudian ia menuangkan gelas berisi bir itu ke dalam mulutku. Aku mencoba menyemburkannya. Namun ia terus menumpahkan hingga air di gelas itu kosong, membuatku terbatuk-batuk. Mungkin satu atau dua teguk aku terpaksa menelan cairan haram itu. Ya Allah, puasaku harus batal karena cairan haram? Tidak. Itu bukan kesengajaanku.

Tak terasa ada air mata yang tetes dari ujung kelopak mataku.

“Haaha! Bagaimana?”

“Akan kulaporkan kalian pada Mas Rama!”

Seisi ruangan tertawa terbahak-bahak melihatku yang terduduk. Aku berusaha berdiri dan hendak keluar dari ruangan itu untuk kabur. Namun saat kubuka pintu, seseorang dari luar tepat pula membuka pintu dan hendak masuk.

“Mas Rama?”

“Lov?” Mas Rama memang lebih sering memanggilku Lov daripada Cinta.

“Mas … mereka ….”

Mas Rama melihat baju biruku yang basah karena cairan bir.

“Pak Rama?” ucap Brian sedikit terkejut.

Mas Rama mengalihkan pandangan dariku ke wajah Brian. Tatapannya setajam pedang yang siap menebas apa pun.

“Ada apa, Brian?”

“Maaf, Pak Rama.” Lelaki paruh baya itu gemetar.

“Kemasi barang-barangmu! Kalian semua yang ada disini, saya pecat sekarang juga!”

Seketika gelas yang dipegang Brian jatuh ke lantai dan pecah, menimbulkan suara berdenting.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
tris nabil
oke pada intinya alurnya pasti menarik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status