Beranda / Romansa / AKU SANG ISTRI BOSS / Kecurigaan Robert

Share

Kecurigaan Robert

Penulis: Ara Hakim
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-27 10:09:39

Mas Rama malah mencubit pipiku. "Habis kamu makin cantik kalau pakai jilbab pink gini."

"Ini punya Rindu, pinjem."

"Kalau gitu besok harus beli yang warna gini. Eh tapi ingat, kalau beli pakaian baru, harus ada pakaian lama yang disedekahkan ke orang lain. Nanti bisa Mas kasih ke santri Al-Mahabbah."

"Kalau disuruh beli baju aku ya nggak mau, Mas."

"Nggak mau?"

"Nggak mau nolak maksudnya."

"Dasar." Mas Rama mengetuk keningku dengan dua jari.

"Eh, kamu kok kayak bau micin gini sih?" Mas Rama memasang ekspresi mengendus.

"Iya 'kan barusan bantuin Rindu masak."

"Bukan itu."

"Terus maksudnya apa?"

"Micintaimu selalu." Mas Rama nyengir.

"Diiih, Mas." Aku menahan senyum. Mas Rama terkekeh.

"Eh Mas, ada hal penting yang ingin kubicarakan. Mengenai perusahaan." Aku bermaksud memberi tahu soal perkataan Rindu tadi.

Mas Rama mengernyit. "Sebaiknya kamu nggak usah ikut-ikutan dulu soal perusahaan ya. Aku khawatir ada kejadian seperti tadi pagi lagi. Lebih baik kamu fokus nyelesaikan kuliah aja."

"Ini penting lho Mas. Tapi aku nggak bisa cerita disini. Mending kita keluar ya, sambil cari cemilan untuk buka puasa gitu. Soalnya Rindu masak sendirian, biar nggak repot sekalian beli aja."

"Ya udah, ayo kita jalan."

Namun ketika kami hendak beranjak.

"Jalan kemana, Cinta?" potong seorang lelaki, yang saat kutoleh ternyata adalah Robert.

"Ini suami kamu?" lanjutnya sambil menunjuk ke Mas Rama. "Saya dapat kabar dari istri barusan, kalau kamu sudah menikah."

"Iya, Pak Robert. Kenalkan ini Mas Rama. Panjangnya Ramadinata."

"Eh, tadi sama Ibu kamu aku bilangnya Ramadhan, bukan Ramadinata," protes Mas Rama dengan berbisik ke telingaku.

"Aduh aku lupa, Mas. Itu lah kalau pakai nyamar segala."

Tapi benar juga kata Mas Rama agar nama aslinya disamarkan. Bukannya lebih baik menyamar agar Mas Rama tidak diidentifikasi sebagai pemilik Rama Corps, agar lebih mudah menggali informasi. Ternyata permintaan Mas Rama untuk tidak menyebutkan nama aslinya itu memang ada gunanya. Baiklah, Mas Rama harus menyamar jadi Rama yang lain, bukan Panorama Angkasa.

Robert menyalami Mas Rama.

"Saya seperti pernah melihat kamu," tukas Robert dengan kening mengernyit seperti mengingat sesuatu. "Aha, kamu mirip artis sinetron beberapa tahun lalu."

"Ah, saya tersanjung sekali dibilang mirip dengan seorang artis. Tapi itu terlalu berlebihan." Mas Rama menyambut uluran tangan dari Robert lalu melepasnya.

"Iya, benar, maaf, memang tidak mungkin rasanya penampilan seperti kamu ini adalah artis sinetron." Robert memandangi Mas Rama ke atas ke bawah.

"Mari kita berbincang-bincang sambil menunggu buka puasa," ajak Robert pada Mas Rama.

"Oh, baiklah, mari."

"Mas, yang mau kuomongkan tadi kukirim lewat w******p aja dulu. Baca ya. Nanti malam baru kita obrolin," bisikku.

"Ojeh," bisik Mas Rama.

"Mari." Robert menyilakan Mas Rama untuk duduk di sofa.

"Saya permisi ke belakang dulu, mau bantu Rindu menyiapkan buka puasa." Aku meminta diri meninggalkan mereka.

"Silakan, Cinta."

***

Selesai menyiapkan buka puasa, aku bergabung dengan Mas Rama dan Robert yang masih berbincang-bincang di sofa. Aku duduk tepat di samping Mas Rama. Dua lelaki ini sedang membincangkan tentang hobi mereka, balap MotoGP dan Formula 1. Mereka menyebut nama-nama yang agak asing bagiku. Yang sering kudengar hanya Valentino Rossi.

Aku diam hingga mereka puas saling berbagi kesenangan dalam hobi yang sama.

"Pak Robert," potongku ketika mereka berdua telah selesai dengan hobi mereka, "gimana bisnisnya?"

"Kamu tahu saya punya bisnis, Cinta?"

"Kata Rindu."

"Ooh." Robert diam sebentar, "agak mengkhawatirkan." Lelaki beruban itu mengusap wajahnya.

"Mengkhawatirkan gimana itu, Pak?"

"Rekan saya yang biasa kasih proyek, saya dengar hari ini ia mau dipecat sama bosnya."

"Apa? Wah, sayang sekali, Pak Robert." Mas Rama menimpali.

"Itu lah yang membuat saya bingung." Robert menunduk dan menatap lantai. Sementara aku saling pandang dan memberi kode ke Mas Rama.

"Kalau boleh tahu, bisnis Pak Robert bergerak dalam bidang apa?" lanjut Mas Rama.

Robert mengibaskan tangannya. "Maaf, saya sedang tidak mau membicarakan bisnis kali ini."

"Baiklah, Pak Robert. Kami minta maaf kalau begitu."

"Asslamu'alaikum." Suara dua orang hampir serentak mengucap salam. Yang satu wanita sebayaku, yang satu lelaki yang kiranya berumur dua puluh empat tahun. Kami pun menjawab salam itu hampir serentak pula.

Dua orang itu berjalan mendekati kami dan menyalami Robert bergantian.

Wanita yang baru datang itu lalu menoleh padaku. Mata kami beradu agak lama. Serasa waktu berhenti di detik itu.

"Oh, kamu, Cinta?" Wanita berjil##Bab pendek itu menegur. Penampilannya rapi khas kantoran dengan blezer abu-abu.

"Kasih," seruku padanya.

"Cinta?" Lelaki yang datang bersamanya itu terkesiap pula.

"Iya, Mas Bagus."

"Wah, kamu datang juga, Cinta, mau bantu-bantu persiapan acara tunangan Kasih ya?" Mas Bagus langsung mendekatiku lalu menyalamiku. Aku meraih dan mencium tangannya dengan takzim.

Mas Bagus lalu duduk di sampingku. "Lama nggak ketemu, setahun lalu kita ketemu di acara seminar itu, 'kan?" ujar Mas Bagus.

"Iya, Mas. Mas keren udah jadi pebisnis sejak muda."

"Iya dong. Siapa dulu." Mas Bagus menepuk-nepuk dadanya sendiri.

"Setelah lama menghilang, ada apa datang kemari?" Kasih menyilangkan tangan di dada, persis Ibu tadi. Ah, dia dan Mas Bagus memang menuruni sifat Ibu. Sementara aku dan Rindu menuruni sifat Bapak.

"Aku cuma mau silaturahim, sekalian mau bilang kalau aku sudah menikah." Entah mengapa aku langsung menggerayai tangan Mas Rama dan menggenggamnya erat. Di depan Kasih, aku seperti ingin menunjukkan apa pun padanya.

"Masih puasa," gumam Mas Rama.

"Biarin!" ketusku tepat di telinganya.

Selama ini, Kasih selalu menang dariku. Di sekolah, Kasih selalu masuk juara tiga besar dari SD sejak SMP. Sementara aku selalu masuk tiga belas besar. Lebih sering tepat di ranking tiga belas.

Dalam lomba-lomba pun Kasih unggul. Piala yang diraih Kasih memenuhi lemari sampai Ibu harus membelikan lemari khusus. Sementara piala yang kudapat hanya satu. Itu pun juara harapan dua.

Sedari kecil pula, Kasih selalu jadi kebanggan Ibu. Nama Kasih selalu disebut-sebut saat Ibu ada arisan dengan warga sekitar. Sementara aku kalau ikut arisan, Ibu menyuruhku main jauh-jauh agar tidak mengganggu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • AKU SANG ISTRI BOSS   108. Mencari Reno

    PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-

  • AKU SANG ISTRI BOSS   107. Kebakaran

    “TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny

  • AKU SANG ISTRI BOSS   106. Ancaman Para Debt Collector

    “PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah

  • AKU SANG ISTRI BOSS   105. Mendadak Tegang

    SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   104. Aku Mau Mandiri

    “Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   103. Para Penagih Utang

    BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status