Share

Maafkan

Karena itu di depan Kasih aku ingin sekali menunjukkan bahwa aku sudah menikah dan suamiku itu bukan orang biasa. Ingin rasanya kutunjukkan, kalau aku menikahi majikan Bapak yang kaya raya hingga hartanya bisa menghidupi sampai keturunan ke delapan. Aku ingin sombong. Karena kali ini, dalam hal terpenting dalam kehidupan, untuk pertama kalinya, ia kalah dariku.

"Oh, ini suamimu?" Kasih memandang Mas Rama dengan ekspresi meremehkan. Entah kenapa ingin aku ungkap siapa sebenarnya Mas Rama agar pandangan remeh Kasih itu berubah jadi sesal.

Mas Rama mengangguk pelan, dengan senyuman tipis.

"Iya," jawabku pendek. Tangan kananku menggamit lengan Mas Rama.

"Kamu benar-benar nggak belajar dari kesalahan Ibu, ya?" Bibir Kasih terangkat sebelah.

"Maksud kamu?"

"Cukuplah Ibu yang pernah menderita karena menikahi pria miskin!" Kalimat itu terlontar dengan nada menghina.

Dadaku bergemuruh. Barangkali karena kami kembar, dan sejak dulu ia selalu menang dariku, dan ada sejentik dendam dalam hatiku ingin mengalahkannya, rasanya ingin membungkam kalimat Kasih itu dengan berbicara jujur. Namun, demi membongkar proyek gelap yang melibatkan Robert, sebaiknya kutahan dan menunggu waktu yang lebih tepat.

"Kamu sendiri juga nggak berubah," lanjut Kasih mengangkat wajahnya dan matanya memicing ke arahku, "masih payah!"

Jleb.

Perkataan yang sangat menusuk hati setelah lima tahun tak bertemu.

"Yah, mau bagaimana lagi, loser is a loser. Pecundang tetaplah pecundang. Ternyata bukan hanya dalam prestasi saja kamu kalah dariku, Cinta, soal percintaan dan kehidupan juga. Ini semakin membuatku yakin kalau takdir itu tidak bisa diubah. Orang miskin tetaplah miskin selamanya!"

Makjleb sekali kata-kata Kasih itu. Ternyata pemikirannya yang perfeksionis itu berkembang jadi keangkuhan hakiki. Astaghfirullah. Aku mengucap dalam hati.

Kasih mengangkat tangan kiri dan melirik arloji branded-nya merk Rexona, eh, Rolex maksudnya. Darimana pula ia dapat jam tangan ratusan juta itu?

"Sudah jam lima, enaknya berendam dan siap-siap buka puasa." Ia bergumam dan melengos begitu saja.

Nanti. Nanti akan kutunjukkan semuanya, Kasih!

"Maafkan Kasih ya Cinta," ujar Robert ramah ketika saudari kembarku melengos begitu saja.

"Iya, Cin, Kasih memang gitu, sombong sejak dapat cowok kaya. Itu jam Rolex-nya dikasih sama cowoknya itu, si Rinaldi." Mas Bagus menambahkan.

Oh, jadi jam Rexona itu ia dapat dari pacarnya yang disebut Rindu sebagai manajer keuangan di Aurora Corps.

Nah, ini yang kutunggu-tunggu. Tunggu saja kalau nanti Kasih tahu bahwa Aurora Corps itu perusahaan Mas Rama juga. Dengan kata lain, pacarnya Rindu itu adalah anak buah suamiku. Baru kali ini hatiku senang bukan main.

"Lagian kamu sih, Cin, nikah sama lelaki kayak dia." Mata Mas Bagus mengarah ke Mas Rama yang hanya nyengir saja disindir seperti itu.

Penampilan Mas Rama memang sedang kacau. Ia hanya memakai kaos oblong saja karena bajunya sudah ia berikan ke seorang pemulung tadi. Celananya ia gulung sebelah hingga ke betis. Rambutnya acak-acakan. Kacamatanya miring. Wajahnya lusuh karena jalan kaki hampir dua kilometer di terik panas tadi siang. Oke fix, ia harus mandi.

"Ya kalau kamu nyari suami itu minimal kayak Mas Bagus gini." Gumam kakak tertuaku itu.

Ah, dua saudara tuaku memang tak ada akhlak. Bisa-bisanya mereka berkata hal yang menyakitkan padaku setelah sekian lama tak berjumpa. Apa mereka tidak diajari sopan santun? Bahkan semua orang di rumah ini kalau diperhatikan, mereka menatap kami dengan tatapan hina, kecuali Rindu.

"Tapi aku mencintai Mas Rama, Mas." Aku membela diri pada Mas Bagus.

"Itulah kalau kamu terlalu lama ikut Bapak, terlalu lama jadi orang miskin, cari suami pun akhirnya dapat yang miskin pula."

"Mas, aku tetap bahagia nikah sama dia walaupun udik gitu."

"Kamu dikasih makan apa emangnya sama dia, berapa gajinya, tuh lihat penampilannya aja kacau. Nggak kayak Mas, rapi, punya uang, punya bisnis."

"Yang penting aku cinta sama Mas Rama."

"Iya, makan tuh cinta!"

"Nyebelin kamu Mas!" Kupukul bahu Mas Bagus.

"Udah Bagus, Cinta, jangan ribut aja dong. Kalian udah lama nggak bertemu, yang akrab gitu," ujar Robert.

"Iya, Pa." Mas Bagus menjawab sambil mengusap belakang kepalanya.

"Mas Bagus ini pebisnis muda ya?" Mas Rama kini ikut berbicara.

"Iya. Alhamdulillah. Usaha saya sudah berkembang dan bisa masuk ke beberapa swalayan."

"Ooh, keren sekali." Mas Rama mengangguk dua kali.

"Kamu harus belajar bisnis sama saya ini ya!" Mas Bagus menepuk dadanya lagi sambil tersenyum bangga pada Mas Rama.

Hah? Nggak kebalik? Batinku. Aku tersenyum-senyum saja sendiri. Tak dapat kubayangkan nanti kalau Mas Bagus tahu bahwa Mas Rama itu pebisnis besar, bisa lepas semua giginya dan sesak napasnya bakal kambuh.

"Pokoknya kamu harus belajar bisnis, ya, maaf siapa nama kamu?" tanya Mas Bagus.

"Namanya Rama, Ramadhan." Aku yang menjawab.

"Bukannya tadi namanya Ramadinata?"

Aduh. Aku lupa kalau tadi kusebut di depan Robert bahwa nama panjang Mas Rama adalah Ramadinata.

"Iya, Pak, kalau lengkapnya, Ramadhan Ramadinata." Aku beralasan. Untung saja aku langsung bisa menjawab. Ayolah, Cinta, jangan berbuat hal bodoh lagi.

"Nah, gitu Rama. Bisnis itu nggak sulit, kok. Nanti aku mentorin kamu ya?" Mas Bagus serius menatap Mas Rama.

"Boleh, Mas Bagus. Aku mau deh balajar binis dari Mas Bagus."

"Ya udah. Kalau gitu saya tinggal mandi dulu. Eh iya, karena hari ini ada Cinta dan suaminya, aku mau undang pacarku dan pacarnya Kasih ya, biar buka puasanya versi lengkap hari ini."

Ah, pasti Mas Bagus dan Mbak Kasih mau pamer pasangan mereka saja.

"Baik, Mas." Mas Rama malah mengacungkan jempol.

Mas Bagus beranjak ke kamarnya. Pak Robert pun minta diri kembali ke kamar dulu.

Telepon Mas Rama berdering. Untung saja semua keluargaku tak bersama kami sehingga tak perlu melihat ponsel mahal Mas Rama, sehingga mereka takkan langsung curiga.

Mas Rama mengangkat telpon itu.

"Assalamu'alaikum, Tara." Dari adiknya, Aurora Tara.

"Wa'alaikumsalam, Mas. Mas ini gimana ngatur budgetnya, pusing ngurusin kantor ini Mas!" Terdengar suara Tara merengek dari ujung telepon.

Mas Rama menjelaskan pada Tara hal yang ditanyakannya dengan detail dan sabar. Tara akhirnya mengerti juga.

"Eh, Tara, siapa nama manajer keuangan di perusahaan kita?" Mas Rama yang kini giliran bertanya.

"Kenapa kok Mas tiba-tiba nanya itu, bukannya semua urusan kantor Aurora Corps Mas udah nggak mau handle?"

"Mau tahu aja, 'kan kita tadi ngomongi budget." Tepat sekali, Mas Rama menanyakan soal pacar Kasih yang kuceritakan lewat w******p tadi.

"Oh, namanya Rinaldi."

"Coba kamu jelaskan seperti apa orangnya!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Harun Alrasyid Marpaung
bagus tapi ini semua pakai byr ini yg ba
goodnovel comment avatar
Sri Katon 62
bagus sejali
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status