Tara kemudian menjelaskan soal Rinaldi cukup detail. Mas Rama hanya mengangguk mendengar penjelasan Tara, sesekali juga balik bertanya."Mas mau kamu selidiki dia ya, coba cari hubungannya dengan lelaki yang bekerja di kantor gubernur, bernama Robert, bisa?""Emangnya ada apa sih, Mas?""Nanti Mas cerita kalau ketemu, ini penting. Kamu harus selidiki, dengar kata Mas ...." Mas Rama memberi perintah pada Tara untuk melakukan penyelidikan mendetail."Nanti Tara coba, Mas." Tara mengangguk kepada Rama."Bagus, adik Mas pasti bisa lah. Buat apa kamu Mas kirim ke Leads University di Inggris jurusan investigasi keuangan kalau nggak bisa dapat informasi gitu aja.""Iya, Mas. Jangan galak-galak sama adik sendiri.""Kamu itu ya, kalau Mas tegas sedikit aja bilangnya Mas galak.""Soalnya sama aku Mas 'kan kejam, aku pacaran aja nggak boleh, eh sama Mbak Cinta Mas malah romantisan terus.""Beda lah, Tara. Kalau kamu mau romantisan juga, ya cepat nikah.""Udah dulu Mas, ini buka keluar sama Mam
Azan pun berkumandang. Semua orang mengangkat minuman masing-masing dan mrmbatalkan puasa. Aku tak ada mood lagi untuk meneruskan makan kudapan. Hanya seteguk air putih saja.Sedetik kemudian ponsel Mas Rama berdering. Mas Rama refleks mengambil ponsel mahal berlogo apel kroak itu dari saku. Tampak di belakang ponsel itu ada empat kamera, dan logo apel itu berwarna emas yang artinya itu edisi khusus limited yang hanya diproduksi satu di tiap negara. Artinya, tipe ponsel Mas Rama itu hanya satu-satunya yang ada di Indonesia.Mata Ibu langsung melebar saat melihat ponsel Mas Rama. Kasih, Mas Bagus, Rinaldi dan Mira juga mengernyit keheranan. Robert melirik dengan pandangan aneh. Hayo, mau komentar apa kalian."Rindu," kataku memecah lamunan, "awas jangan menganga lama-lama gitu. Ntar masuk lalat mulutnya loh." sindirku. Padahal Rindu tak menganga sama sekali. "Saya pamit terima telepon dulu, Bu, Pak," izin Mas Rama seraya mengangguk s
"Kalau gitu disengat lebah aja lagi, biar ketemu bidadari lagi.""Dih, jangan dong!" Mas Rama memegangi pipi dengan dua tangannya. Waktu itu memang pipinya itu bengkak bak balon karna disengat beberapa lebah penyengat.Setelah kami selesai membereskan makanan dan mencuci piring, kami bersiap-siap pergi ke mushola untuk salat isya dan tarawih berjama'ah. Aku meminjam baju rindu dan Mas Rama kupinjamkan baju Mas Bagus.Ketika kami melewati ruang tamu hendak keluar rumah, tiba-tiba Rinaldi, pacar Kasih, menyeru pada Mas Rama."Hei Rama! Ternyata kamu juga suka main proyek gelap ya?" katanya sambil menurunkan kaki yang tadi disilangkan."Maksudnya?" dahi Mas Rama berkerut. Langkah kami terhenti."Kalau nggak kok bisa kamu beli ponsel mahal seperti itu yang harganya bisa lima puluh jutaan?""Maksud Mas Rinaldi apa ya?" tanya Mas Rama sambil agak menyipitkan mata."Itu uang mana yang kamu embat?""Saya InsyaAllah tidak pernah mengambil hak siapapun, kok.""Jangan sok polos kamu, Rama. Aku t
Bab 12 Jangan Ketahuan DuluMas Rama dan aku sudah janjian dengan Pak Ali untuk berkunjung dan berbincang-bincang dengannya esok. Besar harapan kami untuk dapat menggali informasi soal Robert, yang berkemungkinan ada hubungannya dengan masalah perusahaan Rama Corps.Setelah shalat tarawih malam itu, kami kembali ke rumah Ibu tepat pukul 21.00. Rindu berbaik hati meminjamkan kamarnya untukku dan Mas Rama, sementara ia mengungsi ke kamar Kasih. Tentu saja Kasih menggerutu panjang kali lebar. "Aku kok jadi takut ya, Mas." Aku menyandar ke punggung Mas Rama yang duduk di ranjang sambil memainkan ponsel."Takut kenapa?" Mas Rama meletakkan ponselnya."Kalau Pak Robert tahu kamu pemilik Rama Corps, gimana?""Jangan sampai tahu dulu.""Tapi lama-lama pasti tahu.""Setidaknya saat itu tiba, kita udah siap-siap.""Kalau Ibu dan Kasih tahu kalau kamu itu kaya, gimana ya ekspresi mereka?""Kalau itu entah ya, nggak penting juga mereka tahu aku kaya atau nggaknya nanti. Yang penting, kita bongka
Bab 13 Mengerjai IbuKami diam, hanya saling tatap sambil meletakkan telunjuk ke bibir. Tawa kutahan."Rindu, makanan sahur mana?!"Aku membungkam mulutku sendiri."Udah mau insyaf ini, belum sahuur.""Imsak kali, bukan insyaf," gumamku pelan.Memang seharusnya Ibu insyaf dulu sebelum waktu imsak datang.Sebenarnya, makanan untuk sahur sudah ada di dalam kulkas, tinggal menghangatkan saja. Ibu saja yang teramat malas hingga tak kepikiran untuk membuka kulkas. Semuanya mengandalkan tenaga Rindu. Ah, katanya orang kaya, tapi kenapa nggak ambil pembantu aja sih. Malah anak sendiri dijadikan babu."Rinduuu, Cinta!" pekik Ibu seperti frustasi.Rindu mau beranjak dan hampir menyahut. Namun aku segera menahan tangannya dan menggeleng cepat ia agar tetap diam di tempat. Mas Rama ikut cekikikan. Kadang Mas Rama juga bisa diajak bercanda sesekali. Bahkan memang sering jahil juga.Jam setengah lima dan 9 menit lagi imsak. Saatnya keluar kamar. Ibu, Kasih dan Mas Bagus duduk di meja makan dengan
Bab 14 Menangkap Banyak Tikus SekaligusIbu menelpon lagi. Sampai empat kali.Terkahir, pesan whatsapp masuk dan sesuai tebakanku, itu dari Ibu.[Cinta, enak nian kamu bisa pakai mobil majikan.]Tak kubalas.[Sebenarnya kamu itu pambantu atau bukan, sih, kok pake dijemput sama sopir pribadi majikan?]Tuh, kan. Ibu sudah mulai sport jantung.Sebaiknya tak kubalas. Biarlah Ibu resah dalam rasa penasarannya beberapa saat.Sesampainya di rumah Pak Ali. Kami dipersilakan masuk. Namun Mas Rama hanya menyalami Pak Ali dan istrinya yang sudah agak berumur. Kami tidak bisa menunggu lama, jadi kami langsung mengajaknya menuju rumah saudaranya yang berada tak jauh dari rumahnya itu.Ya, tak jauh kalau pakai mobil. Kalau jalan kaki tetap kauh sih.Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di depan rumah kayu sederhana bercat hijau yang sudah mulai luntur dimakan zaman."Nah, ini rumah saudara saya, lebih tepatnya adik bungsu saya yang pernah kerja sama Robert." Pak Ali menyilakan kami menuju rumah itu.
Bab 15 Ibu KEPOAku mengangguk, juga menelan ludah karena jantungku berdegup makin kencang dalam situasi ini. Entah kenapa ada perasaan tak enak yang menyusup begitu saja dalam hatiku."Aku takut, Mas.""Jangan takut, kita di jalan yang benar. Tapi maafkan kalau nanti keluargamu bisa terluka, terutama Ibu dan Kasih. Mereka akan terpukul berat sekali.""Nggak apa-apa, Mas. Mungkin itu teguran Allah untuk kesombongan mereka, apalagi ini bulan Ramadhan, mungkin Allah ingin menurunkan hidayah melalui pengungkapan ini.""Baik, terima kasih, Pak Salman." Mas Rama menyalami pengacara itu. Lelaki paruh baya itu lekas memberesi kertas-kertas di atas meja dan memasukkannya dalam case hitam, lalu ia pamit membawa case tersebut.Mas Rama melirik arloji yang melingkar di lengannya. "Sebentar lagi Zaky dan Ai akan datang."Mas Rama tak mengenakan jam tangan itu selama di rumah Ibu, karena arloji itu sama merk-nya seperti yang dipakai Kasih. Harganya ratusan juta. Belinya di Singapura. Bisa lebih me
Bab 16 Mulai Menduga-dugaKudengar suara Ibu terengah-engah berlomba-lomba dengan tarikan napas yang cepat. Barangkali jantungnya itu berdegup di angka 160 per menit, jauh di atas normal."Beginilah nasib orang miskin, Bu, cuma bisa numpang foto aja. Oiya, Bu, aku segera pindah profesi, jadi staf di perusahaan majikan, syukur-syukur kalau nanti-nanti diangkat jadi asisten manajer, deh.""Asisten manajer? Jangan bercanda kamu, Cinta!""Iya, Bu. Cinta bercanda, berharap terlalu tinggi kayaknya. Udah dulu ya, Bu. Cinta sama Mas Rama ada ketemuan temen di Grand One cafe nih.""Apa? Grand One? Itu cafe mahal, Cin."Astaga. Aku pake sebut nama cafe tempat kami bertemu segala, apalagi kalau Ibu tahu aku dan Mas Rama booking ruang VIP. Jadi lebih curiga ia nanti. Bisa jadi Ibu mulai menyelediki siapa Mas Rama sebenarnya. Ah, tidak. Tidak usah panjang lebar lagi, deh."Sudah dulu ya, Bu. Assalamu'alaikum."Kupencet tombol merah untuk menutup telepon sebelum Ibu ngoceh lagi. Biarkan dia ngoceh