Share

Maafkan

Penulis: Ara Hakim
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-30 12:56:04

Karena itu di depan Kasih aku ingin sekali menunjukkan bahwa aku sudah menikah dan suamiku itu bukan orang biasa. Ingin rasanya kutunjukkan, kalau aku menikahi majikan Bapak yang kaya raya hingga hartanya bisa menghidupi sampai keturunan ke delapan. Aku ingin sombong. Karena kali ini, dalam hal terpenting dalam kehidupan, untuk pertama kalinya, ia kalah dariku.

"Oh, ini suamimu?" Kasih memandang Mas Rama dengan ekspresi meremehkan. Entah kenapa ingin aku ungkap siapa sebenarnya Mas Rama agar pandangan remeh Kasih itu berubah jadi sesal.

Mas Rama mengangguk pelan, dengan senyuman tipis.

"Iya," jawabku pendek. Tangan kananku menggamit lengan Mas Rama.

"Kamu benar-benar nggak belajar dari kesalahan Ibu, ya?" Bibir Kasih terangkat sebelah.

"Maksud kamu?"

"Cukuplah Ibu yang pernah menderita karena menikahi pria miskin!" Kalimat itu terlontar dengan nada menghina.

Dadaku bergemuruh. Barangkali karena kami kembar, dan sejak dulu ia selalu menang dariku, dan ada sejentik dendam dalam hatiku ingin mengalahkannya, rasanya ingin membungkam kalimat Kasih itu dengan berbicara jujur. Namun, demi membongkar proyek gelap yang melibatkan Robert, sebaiknya kutahan dan menunggu waktu yang lebih tepat.

"Kamu sendiri juga nggak berubah," lanjut Kasih mengangkat wajahnya dan matanya memicing ke arahku, "masih payah!"

Jleb.

Perkataan yang sangat menusuk hati setelah lima tahun tak bertemu.

"Yah, mau bagaimana lagi, loser is a loser. Pecundang tetaplah pecundang. Ternyata bukan hanya dalam prestasi saja kamu kalah dariku, Cinta, soal percintaan dan kehidupan juga. Ini semakin membuatku yakin kalau takdir itu tidak bisa diubah. Orang miskin tetaplah miskin selamanya!"

Makjleb sekali kata-kata Kasih itu. Ternyata pemikirannya yang perfeksionis itu berkembang jadi keangkuhan hakiki. Astaghfirullah. Aku mengucap dalam hati.

Kasih mengangkat tangan kiri dan melirik arloji branded-nya merk Rexona, eh, Rolex maksudnya. Darimana pula ia dapat jam tangan ratusan juta itu?

"Sudah jam lima, enaknya berendam dan siap-siap buka puasa." Ia bergumam dan melengos begitu saja.

Nanti. Nanti akan kutunjukkan semuanya, Kasih!

"Maafkan Kasih ya Cinta," ujar Robert ramah ketika saudari kembarku melengos begitu saja.

"Iya, Cin, Kasih memang gitu, sombong sejak dapat cowok kaya. Itu jam Rolex-nya dikasih sama cowoknya itu, si Rinaldi." Mas Bagus menambahkan.

Oh, jadi jam Rexona itu ia dapat dari pacarnya yang disebut Rindu sebagai manajer keuangan di Aurora Corps.

Nah, ini yang kutunggu-tunggu. Tunggu saja kalau nanti Kasih tahu bahwa Aurora Corps itu perusahaan Mas Rama juga. Dengan kata lain, pacarnya Rindu itu adalah anak buah suamiku. Baru kali ini hatiku senang bukan main.

"Lagian kamu sih, Cin, nikah sama lelaki kayak dia." Mata Mas Bagus mengarah ke Mas Rama yang hanya nyengir saja disindir seperti itu.

Penampilan Mas Rama memang sedang kacau. Ia hanya memakai kaos oblong saja karena bajunya sudah ia berikan ke seorang pemulung tadi. Celananya ia gulung sebelah hingga ke betis. Rambutnya acak-acakan. Kacamatanya miring. Wajahnya lusuh karena jalan kaki hampir dua kilometer di terik panas tadi siang. Oke fix, ia harus mandi.

"Ya kalau kamu nyari suami itu minimal kayak Mas Bagus gini." Gumam kakak tertuaku itu.

Ah, dua saudara tuaku memang tak ada akhlak. Bisa-bisanya mereka berkata hal yang menyakitkan padaku setelah sekian lama tak berjumpa. Apa mereka tidak diajari sopan santun? Bahkan semua orang di rumah ini kalau diperhatikan, mereka menatap kami dengan tatapan hina, kecuali Rindu.

"Tapi aku mencintai Mas Rama, Mas." Aku membela diri pada Mas Bagus.

"Itulah kalau kamu terlalu lama ikut Bapak, terlalu lama jadi orang miskin, cari suami pun akhirnya dapat yang miskin pula."

"Mas, aku tetap bahagia nikah sama dia walaupun udik gitu."

"Kamu dikasih makan apa emangnya sama dia, berapa gajinya, tuh lihat penampilannya aja kacau. Nggak kayak Mas, rapi, punya uang, punya bisnis."

"Yang penting aku cinta sama Mas Rama."

"Iya, makan tuh cinta!"

"Nyebelin kamu Mas!" Kupukul bahu Mas Bagus.

"Udah Bagus, Cinta, jangan ribut aja dong. Kalian udah lama nggak bertemu, yang akrab gitu," ujar Robert.

"Iya, Pa." Mas Bagus menjawab sambil mengusap belakang kepalanya.

"Mas Bagus ini pebisnis muda ya?" Mas Rama kini ikut berbicara.

"Iya. Alhamdulillah. Usaha saya sudah berkembang dan bisa masuk ke beberapa swalayan."

"Ooh, keren sekali." Mas Rama mengangguk dua kali.

"Kamu harus belajar bisnis sama saya ini ya!" Mas Bagus menepuk dadanya lagi sambil tersenyum bangga pada Mas Rama.

Hah? Nggak kebalik? Batinku. Aku tersenyum-senyum saja sendiri. Tak dapat kubayangkan nanti kalau Mas Bagus tahu bahwa Mas Rama itu pebisnis besar, bisa lepas semua giginya dan sesak napasnya bakal kambuh.

"Pokoknya kamu harus belajar bisnis, ya, maaf siapa nama kamu?" tanya Mas Bagus.

"Namanya Rama, Ramadhan." Aku yang menjawab.

"Bukannya tadi namanya Ramadinata?"

Aduh. Aku lupa kalau tadi kusebut di depan Robert bahwa nama panjang Mas Rama adalah Ramadinata.

"Iya, Pak, kalau lengkapnya, Ramadhan Ramadinata." Aku beralasan. Untung saja aku langsung bisa menjawab. Ayolah, Cinta, jangan berbuat hal bodoh lagi.

"Nah, gitu Rama. Bisnis itu nggak sulit, kok. Nanti aku mentorin kamu ya?" Mas Bagus serius menatap Mas Rama.

"Boleh, Mas Bagus. Aku mau deh balajar binis dari Mas Bagus."

"Ya udah. Kalau gitu saya tinggal mandi dulu. Eh iya, karena hari ini ada Cinta dan suaminya, aku mau undang pacarku dan pacarnya Kasih ya, biar buka puasanya versi lengkap hari ini."

Ah, pasti Mas Bagus dan Mbak Kasih mau pamer pasangan mereka saja.

"Baik, Mas." Mas Rama malah mengacungkan jempol.

Mas Bagus beranjak ke kamarnya. Pak Robert pun minta diri kembali ke kamar dulu.

Telepon Mas Rama berdering. Untung saja semua keluargaku tak bersama kami sehingga tak perlu melihat ponsel mahal Mas Rama, sehingga mereka takkan langsung curiga.

Mas Rama mengangkat telpon itu.

"Assalamu'alaikum, Tara." Dari adiknya, Aurora Tara.

"Wa'alaikumsalam, Mas. Mas ini gimana ngatur budgetnya, pusing ngurusin kantor ini Mas!" Terdengar suara Tara merengek dari ujung telepon.

Mas Rama menjelaskan pada Tara hal yang ditanyakannya dengan detail dan sabar. Tara akhirnya mengerti juga.

"Eh, Tara, siapa nama manajer keuangan di perusahaan kita?" Mas Rama yang kini giliran bertanya.

"Kenapa kok Mas tiba-tiba nanya itu, bukannya semua urusan kantor Aurora Corps Mas udah nggak mau handle?"

"Mau tahu aja, 'kan kita tadi ngomongi budget." Tepat sekali, Mas Rama menanyakan soal pacar Kasih yang kuceritakan lewat w******p tadi.

"Oh, namanya Rinaldi."

"Coba kamu jelaskan seperti apa orangnya!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Harun Alrasyid Marpaung
bagus tapi ini semua pakai byr ini yg ba
goodnovel comment avatar
Sri Katon 62
bagus sejali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • AKU SANG ISTRI BOSS   108. Mencari Reno

    PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-

  • AKU SANG ISTRI BOSS   107. Kebakaran

    “TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny

  • AKU SANG ISTRI BOSS   106. Ancaman Para Debt Collector

    “PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah

  • AKU SANG ISTRI BOSS   105. Mendadak Tegang

    SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   104. Aku Mau Mandiri

    “Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   103. Para Penagih Utang

    BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status