"Kamu aneh sekali sih Nda sekarang. Pantas saja Agam lebih memilih lembur daripada pulang menemui kamu," serang Mama mertua.
Aku hanya menghela nafas pelan."Bagaimana aku tidak aneh Ma. Kalau mama juga bersikap aneh," jawabku."Maksutmu bagaimana?" tanya Mama mertua yang nada suaranya sudah naik satu oktaf."Itu lihat di depan ada tenda yang datang. Mau ada acara apa sih? Hingga Manda tak boleh datang?" tanyaku sedikit menodong.Mama mertua salah tingkah. Ia menurunkan wajahnya yang terkesan menantang itu."Tak mungkin kan mama gabut, lalu mengundang tukang tenda dengan percuma. Mama memang kaya raya. Tapi untuk ukuran crazy rich mungkin memang belum ya," kataku, aku tak perduli bagaimana reaksi beliau. Aku tidak suka berbasa-basi. Atau bermain lembut. Diam diam membalasnya. Tidak. Aku langsung to the point dengan apa yang aku katakan."Ehm itu, Bi Ijah yang punya acara. Mana mungkin mama. Kalau ada acara pastinya kamu selalu mama libatkan dong," elaknya."Wuidih baik benar Ma. Sampai memperbolehkan pembantu membuat acara di rumah ini. Yakin acaranya Bi Ijah Ma?" tanyaku lagi penuh selidik.Mama mertua membuang muka kesal."Kalau tidak percaya ya sudah Nda. Kamu memang semakin hari semakin aneh. Mama adukan saja kepada papa kamu. Biar tau rasa," ancam beliau. Entah selama lima tahun pernikahanku dengan Mas Agam, belum pernah sekalipun Mama mertua bersikap seperti ini memang.Tapi apa salahku? Ku rasa tidak. Mana mungkin anak dan ibu salah kirim barang secara sama.Bukanya aku takut, justru aku terkekeh kecil mendengarnya."Mama salah, aduin kok ke Papaku. Ya jelas papaku bela aku lah. Tidak mungkin dong bela anak orang," tantangku lagi.Nafas Mama mertua sudah naik turun."Manda, kamu tidak ingin bukan penyakit darah tinggi mama kambuh? Tolong ya kamu pulang dulu. Atau begini saja, nanti Mama transfer sejumlah uang untuk kamu pergi ke psikiater," ucapnyaAku bangkit dengan elegan dari dudukku."Tak perlu Ma. Aku tidak gila. Dan tidak akan pernah gila, jika memang ada kecurangan di dalamnya," jawabku dengan tajam. Lalu aku melangkah pergi.Jangan bilang, aku tidak curiga. Tentu kadar kecurigaanku juga sudah dalam. Kedatanganku lagi kemari memang diluar skenario yang mereka mainkan.Dan kalian tau saat aku keluar dari rumah itu, semua pekerja yang biasanya sibuk dengan urusan masing masing, mendadak hilang seperti di telan bumi. Untuk apa lagi kalau bukan takut aku tanyai. Bahkan tukang tenda yang tadi tengah sibuk, entah juga melayang kemana.Aku menatap dengan sinis."Tutuplah rapat-rapat. Aku tidak butuh kalian untuk membuka ini semua," gumamku dalam hati.Sesampai rumah, ternyata sudah ada yang menungguku. Erna. Tetapi dia datang dengan wajah sumringah."Hallo, ada apa Erna?" tanyaku dengan ramah. Seolah lupa dengan hutang yang tempo hari dia pinjam.Dia tak langsung menjawab. Namun dia merogoh tas kusamnya."Aku kesini mau bayar hutang Nda," jawabnya tiba-tiba."Santai saja Na. Kalau belum ada tidak apa-apa,"Dia justru menatap sinis ke arahku."Alah bisa bisa nanti kamu omongkan dengan teman-teman yang lain bahwa aku sering hutang ke kamu. Sudah aku sudah tau lagu kamu seperti apa," jawabnya lagi dengan ketus.Entah wajah yang tempo hari mengiba, seolah menyesal dengan perlakuanya dulu kepadaku, sesaat seperti sirna begitu saja, berganti dengan wajah ketus dan judesnya lagi."Kurang kerjaan sekali ngomongin kamu Na. Apa untungnya untukku? Ngehasilkan emas? Tidak bukan," jawabku tak kalah ketus."Terserah apa kata kamu. Yang jelas sekarang aku bekerja di sebuah keluarga kaya raya. Tak apa jadi ART yang penting gajinya banyak. Dan sepertinya aku akan lebih bahagia dibandingkan dengan kamu nantinya Nda," ucapnya lagi, seperti seorang yang mengancam emosi.Aku tak ambil pusing. Diberi uang ya aku terima begitu saja. Meskipun sebenarnya aku tak berharap untuk dikembalikan.Handphone ku berdering sedari tadi. Enggan untuk menjawabnya. Nama Mas Agam jelas terpampang di depan layar.Daripada berbunyi terus menerus, ya sudah aku mengangkatnya."Manda sayang, kenapa sih marah marah terus? Kan kepulangan Mas yang tertunda sudah Mas ganti dengan tiket liburan kamu. Sudah dong. Jangan marah terus menerus. Atau kamu minta tambah jatah bulanan kamu? Okelah. Kamu mau minta tambah berapa setiap bulan? Sepuluh Juta? Dua puluh juta? Katakan," tanyanya dengan enteng di seberang sana."Mas, aku tidak minta itu. Aku cuma punya satu permintaan," ucapku mencoba berkata lembut, meskipun ada bongkahan emosi di dada."Apa? Katakanlah. Pasti aku kabulkan,""Aku mau undangan ke acara di rumah Mama dong Mas. Aku juga mau datang," kataku dengan sedikit manja.Tutt... Tut.. Tutt...Sambungan telefon langsung dimatikan.Dasar bekicot...Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.