Dengan nafkah 100 Juta per bulan, apakah aku bahagia? TIDAK Suami loyal, mertua baik, apakah sepenuhnya membuat bahagia? Belum tentu. Jika aku belum tau topeng apa yang mereka pakai.
view moreTing...
Notifikasi dari aplikasi M-Banking.Dan tak berselang lama, handphoneku seperti biasa berbunyi.[Manda sayang, sudah aku transfer 100 Juta ya. Semoga kamu senang. Love you]Pesan dari suamiku. Selalu begitu. Dan tidak pernah berubah di tanggal gajian seperti ini.Aku hanya menghela nafas pelan. Tak ada sedikitpun niat untuk membalas pesannya tersebut. Pun tak ada rasa riang dalam diriku. Aku sudah kenyang akan kemewahan. Bahkan sedari kecil.Ya Mas Agam-suamiku bekerja di sebuah kapal pesiar dengan gaji yang cukup fantastis, belum lagi usaha rumah makan keluarga besarnya yang merajai beberapa kota besar di Nusantara .Pernah suatu ketika, aku meminta Mas Agam untuk berhenti bekerja di pelayaran, toh dia bisa bekerja di usaha keluarga besarnya. Namun ia menolak, dengan alasan dia masih muda, ingin cari uang dan pengalaman sebanyak-banyaknya.Bagaimana aku tidak berusaha untuk menahannya agar tetap disisiku saja, jika selama lima tahun pernikahan kami belum juga dikaruniai buah hati.Aku bahkan pernah memeriksakan kesuburan di dokter kandungan. Semua hasilnya bagus. Ya hanya saja memang pertemuanku dengan Mas Agam terbilang cukup jarang. Bahkan bisa saat bertemu pun, Mas Agam tidak menyentuhku. Lelah katanya.Mengenai rengekanku tentang buah hati, tentang omongan orang lain. Mas Agam selalu santai menanggapinya"Tujuanku menikah denganmu, bukan semata hanya karena anak, Manda. Anak itu sebuah rezeki. Dan rezeki itu juga rahasia. Jadi kamu tidak perlu risau, karena semua sudah ada yang mengatur,"Begitulah Mas Adam selalu mengelak.Hingga lamunanku terbuyar ketika ART yang sering aku panggil dengan Mbok Siti mengetuk pintu.Aku membukanya dengan malas."Ada apa Mbok?""Ada kiriman dari Bu Melisa, Nyonya," ujar Mbok Siti dengan sopan.Ya Bu Melisa adalah mama mertuaku. Sudah pasti dia mengirimkan aneka makanan enak. Tak jarang beliau juga mengirimkan barang-barang branded.Layaknya orang kaya, mama mertua memang super sibuk, jadi beliau hanya bisa mengirim tanpa mengantar langsung.Rumah megah, kendaraan mewah, suami loyal, mertua baik. Lantas apakah aku bahagia?Jawabannya adalah tidak. Ah lebih tepatnya belum. Karena aku juga pasti berharap bisa bahagia nantinya. Entah kapan.Hidup dengan kemewahan, aku memang sudah merasakan sedari kecil. Papaku mempunyai sebuah perusahaan, meskipun kekayaan keluarga tidak bisa menandingi kekayaan keluarga Mas Agam, namun nyatanya keluargaku cukup terpandang di kalangan para pebisnis.Berita tentang pernikahanku dan Mas Agam dulu pun disambut dengan sukacita oleh keluargaku dan juga keluarga Mas Agam tentunya."Nyonya, ada tamu di depan," panggil Mbok Siti lagi.Aku bangkit berdiri. Hitung-hitung untuk memisahkan pantatku dari sofa yang begitu lama. Panas juga di kulit.Di depan, sudah ada wanita yang sedikit kusam sembari menggendong anak kecil. Tampak sesekali dia mengusap air matanya."Erna," panggilku.Benar. Wanita itu menoleh. Dan air matanya ternyata masih menganak sungai."Manda," pekiknya dengan raut sedih."Ayo masuk dulu. Kasihan anakmu," ucapku mempersilahkan. Ya memang anaknya sedang tertidur, namun aku merasa begitu kasihan melihatnya, kulitnya pun sama kusamnya dengan sang ibu. Mungkin karena akibat terik matahari. Juga pakaiannya yang kataku tidak layak.Dan justru Erna memilih duduk di bawah, di lantai."Hei, kenapa kamu justru duduk di bawah? Duduklah di atas," perintahku."Aku tidak pantas Nda," jawabnya lirih.Aku menggeleng dengan cepat."Kamu adalah tamu. Dan selayaknya tamu, duduk di ruang tamu. Sudah santai saja. Jadi bagaimana? Ada apa?"Erna tertunduk."Aku malu Nda sebenarnya untuk kesini. Aku ingin meminjam uang untuk membeli susu anakku. Asi ku kering Nda. Kami jarang makan. Semenjak suamiku kecelakaan, ia tidak bisa mencarikan nafkah lagi. Dan terpaksa aku yang harus banting tulang. Kebetulan jualanku sedang sepi Nda," ujarnya.Ya dulu Erna memang sering mencemoohku. Entah karena apa. Dulu dia memang sebenci itu. Dan usaha keluarganya mengalami kebangkrutan, hingga Erna memutuskan menikah dengan kuli bangunan."Kamu tunggu sebentar ya," Erna mengangguk.Aku menuju kamar. Mengambil beberapa lembar uang. Sekaligus makanan kiriman dari mama mertua. Aku membukanya untuk aku beri kepada Erna saja. Aku juga sudah bosan dengan makanan seperti ituNamun ada yang mengganjal di penglihatanku. Tentang sebuah kantong plastik berwarna biru dengan gambar bayi. Cukup tipis, bisa jadi memang terselip.Namun jangan salah, ada sebuah tulisan di depannya.'Untuk Agam Junior'Mataku terbelalak. Maksudnya apa ini? Apa mama mertua memang sengaja menyindirku? Atau lebih dari ini.Baiklah kalau mereka memang pintar bermain, tetapi aku juga pintar menyelidiki. Spek Intel kok dilawan.Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments