Share

BAB 7

last update Last Updated: 2022-07-18 20:22:16

Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong.

“Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak.

“Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. 

“Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. 

Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. 

Akhirnya aku berjongkok di sebelahnya. Mengambil aneka sayuran segar dan bahan lain untuk membuat urap.

“Kamu mau lauk apa, Mas?” tanyaku sambil melihat-lihat dagangan penjual di hadapanku ini. Hatiku seperti sudah mencair. 

“Terserah kamu. Mungkin tempe mendoan sama ayam goreng juga boleh,” katanya sambil mengulas senyum padaku. Aku mengangguk setuju. 

Kami segera beranjak setelah membayar belanjaan kami. Tangan kanan Mas Bayu menenteng belanjaan. Sedang tangan kirinya kembali menggandeng tanganku. Romantis bukan? Ah, andai dia melakukannya dengan tulus. Andai tak ada wanita lain di hatinya. Tentulah aku merasa seperti ratu. 

“Ramai seperti ini, kalau nggak digandeng bisa ilang,” bisiknya seolah memberi kode agar aku tidak terlalu GR. 

Pyar! Aku hanya bisa menghembuskan napasku. Ternyata benar. Dia melakukan bukan karena cinta seperti khayalanku di film-film romantis.

“Kalau kamu ilang, nanti nggak bisa pulang. Kamu kan belum hafal daerah sini,” sambungnya lagi. 

Aku mengangguk saja. Menekan gemuruh dalam dadaku. Rasa kesal yang menyelimuti kalbu. 

Hampir saja langkahku terhenti, saat kulihat Sinta berjalan dengan seorang temannya berlawanan arah dengan kami. Dia melihat ke kami dan melambaikan tangannya. 

Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, meski hatiku sesak. Bukan tak mau membalas lambaian tangannya, karena tangan kananku masih digenggam oleh Mas Bayu. 

Sementara Mas Bayu tampaknya tidak menyadarinya, atau dia pura-pura tidak melihatnya. Aku tak tahu. 

--

Sesampai di rumah, aku bersemangat ingin segera memasak. Ya, aku kangen memasak. Sekaligus ingin membayar rasa bersalah ke suamiku. Aku merasa menjadi istri yang gagal, yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya dari sekedar melayani kebutuhan perutnya. 

Segera kubuka belanjaan. Sebagian langsung kucuci dan kutiriskan.

“Mau Mas bantu?” tawar Mas Bayu. 

Aku bingung mau menjawab apa. Tapi sepertinya ini lebih baik. Bagaimanapun, aku harus memberi banyak kesempatan berinteraksi dengannya. Kecuali aku akan kehilangannya. 

Kuberikan padanya beberapa siung bawang merah dan bawang putih untuk dikupas. Aku paling benci mengupasnya. 

Aku tak dapat menahan senyum kala melihatnya kesulitan mengupas bawang. Bisa ditebak kalau dia tidak pernah sekalipun ke dapur. Wajahnya sudah memerah dan matanya mulai berair. Namun, dia tidak menyerah. Biar lah. Batinku. 

Jujur saja, aku senang Mas Bayu mau membantuku memasak. Hal yang sama sekali tak terlintas olehku. Bahkan, jauh sebelum kata penolakannya. 

Dulu impianku adalah menjadi istrinya dan melayani seutuhnya. Tapi itu dulu, sebelum dia mengatakan tak akan menyentuhku sebelum jatuh cinta padaku. 

“Yah, kita lupa belum masak nasi,” pekiknya saat aku sudah mematikan kompor, tanda memasak sudah selesai. Aku hanya dapat tertawa geli. Aku tahu dia sudah lapar, dan semua makanan sudah siap tersaji, kecuali nasi!

Jangankan masak nasi, bahkan magic com nya saja masih di kardus. 

Kami menunggu nasi matang sambil duduk di ruang depan, menghadapi trancam, tempe mendoan dan ayam goreng. 

“Nanti sore kita masak apa ya?” tanya Mas Bayu memecah kebisuan. 

Ya, kami tadipun memasak bersama dalam diam. Tak ada obrolan. Ataupun sendau gurau. Kadang hatiku masih seperti rollercoaster. Kadang aku menjadi lunak, tapi tak jarang hatiku kembali keras jika ingat kata-katanya yang menyakitkan. 

“Ayo kita makan,” katanya tak sabar saat mendengar tombol menanda nasi matang berbunyi. Dia mengangsurkan satu piring yang sudah dia isi nasi panas kepadaku. 

“Hmm, masakanmu enak, benar kata mamaku!” katanya sesaat setelah menyuapkan suapan pertama. 

Hatiku berdesir. Sebenarnya sudah biasa orang memujiku. Tapi, akan beda rasanya karena yang memujiku Mas Bayu, pria yang sejak dulu kukagumi, dan ternyata, kini begitu menyakiti.

“Wah, kalau tiap hari makan masakanmu, bisa-bisa aku cepet gendut kayak bapak-bapak,” selorohnya sambil mencomot mendoan untuk yang ketiga kalinya. 

Aku tidak tahu, dia benar-benar tulus, atau hanya ingin menghiburku. Tapi aku bertekad akan membuatnya bahagia dan mencintaiku. Aku harus menghilangkan bayang-bayang Sinta di benakku, juga benak Mas Bayu. Tapi aku belum tahu caranya. Yang kupikirkan sekarang adalah, bagaimana cara mengambil hati mas Bayu yang telah hilang.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 C (TAMAT)

    EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 B

    Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 A

    Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30B

    “Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30 A

    Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 29 B

    “Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status