Share

BAB 6

Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. 

Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. 

Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. 

Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.

“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.

Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa tahu sedetil itu daerah sini. Besar dugaanku, Sinta, mantan pacarnya -sudah mantan atau belum aku tak tahu- itu tinggal daerah sini. Buktinya aku bisa bertemu dua kali di sekitar sini. Bisa jadi, jika aku sering klayapan disekitar sini, aku akan lebih sering bertemu dengannya. 

"Mau lihat suasana sini? Rame biasanya,” ujar Mas Bayu seperti memprovokasi. 

Aku terdiam. Bingung antara ingin membuang bosan, atau tetap di rumah. 

Aku menimbang dalam hati. Jika aku pergi, aku takut ketemu Sinta lagi, dan akan menoreh luka yang sedikit demi sedikit terobati setelah kembali bekerja dan melupakan semuanya. 

“Kamu nggak mau?” tanyanya lagi karena aku tak kunjung menjawab. Matanya menatapku lekat. Jujur aku tak tahan menatap seperti ini. Jantungku bergemuruh. Ketampanan yang dulu selalu kupuja, kini ada di depan mata. Sayangnya, aku sudah kalah sebelum bertanding. Kalah dengan hatinya yang ruangannya telah terpatri nama yang lain.

“Ayo,” jawabku sambil menepiskan rasa luka yang menganga. 

Kuputuskan untuk pergi bersamanya. Bagaimanapun aku harus menerima kenyataan. Akulah istri Mas Bayu. Kenapa aku menjadi lemah? Menjadi seperti orang kalah? Bukankah jalan berdua dengannya adalah suatu yang kuimpikan sejak lama. Bahkan, bisa jadi ini adalah buah doaku, menjadi istri Mas Bayu.

Aku segera bersiap-siap. Mengganti baju dengan baju yang paling nyaman dikenakan untuk pergi bersama kekasih hatiku. Ah! Betapa sakitnya mengingat itu. Harusnya aku bersama orang yang mengasihiku, bukan yang kukasihi.

Kami berjalan menyusuri gang menuju jalan raya. 

Pagi itu banyak orang yang berjalan menuju arah yang sama dengan tujuan kami. 

Banyak di antaranya yang pergi sekeluarga, berpasangan, atau gerombolan beberapa remaja yang seusia. 

Tak lama, kami sudah sampai di jalan raya yang di kanan dan kirinya penuh dengan tenda-tenda orang berjualan. 

Jalanan ini benar-benar penuh. Bahkan di tengah jalan pun ada yang membuka lapak. Orang lalu lalang di tengah jalan. Rupanya, jika weekend jalan ini ditutup. Hanya ada pejalan kaki yang boleh lewat di jalur ini. 

Tiba-tiba jantungku berdesir saat aku merasa jemari tanganku bertangkup dengan jemari tangan Mas Bayu. 

Kutatap tangan ini, lalu tatapanku berpindah ke wajah Mas Bayu untuk meyakinkan diri. Namun, raut wajah Mas Bayu seolah tak menyiratkan terjadi apa-apa. Dia sibuk melihat ke sekitarnya. Hingga kami tiba di sekitar tenda-tenda yang menjual beraneka makanan. 

“Kamu mau makan apa, Dik?” tanyanya tanpa melepaskan pegangan tangannya. 

Aku tak dapat menghindarkan gemuruh dalam dadaku. Genggaman tangan ini dan tawarannya seolah menyihirku kembali dalam buaian angan silamku. Lelaki yang kupuja, kini benar-benar nyata menjadi kekasih halalku.

“Bubur ayam saja, Mas,” sahutku saat melihat penjual bubur ayam tak jauh dari tempat kami berdiri. 

Setelah Mas Bayu memesan dua porsi bubur ayam, kami mencari tempat duduk. 

Ada tikar lesehan yang disediakan menhadap danau. Aku baru tahu, di belakang jajaran tenda-tenda pedagang ini ada danau yang dibatasi dengan track pejalan kaki. Dan kamipun duduk di atas tikar itu. 

Kulihat suasana memang riuh sekali. Banyak orang yang jalan sekedar melihat-lihat, atau berolah raga pagi. Tapi, tak sedikit memang yang sengaja mencari kuliner. 

Kami sengaja duduk di tempat yang sepi, jauh dari lalu lalang. Tak lama, penjual bubur itu datang membawa dua mangkuk bubur dan dua gelas berisi teh tawar hangat. 

“Ayo dimakan,” kata Mas Bayu sambil mengaduk buburnya. Aku sendiri tidak menyukai bubur yang diaduk. 

Belum sempat aku menyuapkan buburku, Mas Bayu menggeser duduknya ke dekatku. Lalu membalikkan tubuhnya seolah memberi kode kepadaku untuk menikmati danau di belakang kami. 

“Kalau kamu mau bicara sesuatu, bicaralah. Aku akan mendengarkan,” kata Mas Bayu sambil menoleh sekilas ke arahku. Lalu dia kembali mengaduk buburnya, menyendoknya dan memasukkan ke mulutnya. 

Aku menatapnya sekilas.

“Kenapa kita memilih tinggal disini, Mas?” ujarku tanpa sadar kata-kata itu mengalir begitu saja. Seolah ambang kesadaranku telah hilang. Mungkin karena keingintahuanku yang terlalu dalam, hingga tak sadar aku mengatakannya.

Raut muka Mas Bayu tidak berubah. Dia tampak biasa saja mendengar pertanyaanku. Sambil menelan buburnya, dia menoleh ke arahku. Lalu kembali memindai pandangan di sekitar danau. 

“Karena aku sangat mengenal daerah sini. Aku suka beberapa tempat disini. Dan kuharap, kau akan menyukainya,” sahutnya. 

“Bukan karena Sinta ada disini?” tanyaku dengan suara setengah bergetar. Menyebut namanya terasa sangat berat bagiku. Aku membencinya. Aku tak menyukainya. Karena dia telah mengambil Mas Bayu dariku. Dia lah yang mengambil hati Mas Bayu hingga tak utuh lagi buatku.

Meski sesak hati ini, tapi terpaksa kutanyakan juga padanya. Aku ingin tahu. Benar-benar ingin tahu. Tak ingin lagi ada prasangka. 

Mas Bayu meletakkan mangkuknya yang sudah kosong. Sedang mangkukku baru berkurang beberapa sendok. 

“Ya, aku mengenal daerah ini karena dulu aku sering menghabiskan waktuku dengan Sinta di sini,” jawabnya datar. Tatapannya masih ke arah danua.

Deg,

Hatiku terasa panas. Bergejolak. Ada rasa tidak terima disana. Apakah dia benar-benar belum mau melepasnya? Hingga kenangan yang ada dengan Sinta pun, tak ingin dilepaskannya. Sakit hatiku. 

“Sudahlah, kamu nggak usah membahas dia lagi. Itu tidak baik untukmu. Toh, aku sudah menikah denganmu,” katanya kemudian. 

Aku mengangguk. Benar apa katanya. Memang sebaiknya aku tidak tahu apa-apa. Sebaiknya aku tidak boleh mencari tahu. Semakin aku tahu, semakin sakit hati ini. 

Mas Bayu segera bangkit dari duduknya saat melihat aku menyuap sendokan bubur terakhir. Kulirik dia sedang membayar bubur itu, dan…

Aku menoleh lagi untuk meyakinkan diri. Mataku melebar kembali.

Dia, Mas Bayuku, kini sedang ngobrol dengan wanita itu lagi? wanita itu ada disini? 

Jantungku berdegup kencang. Tak bisakah kamu menghindarinya, Mas? Tak bisakah kamu sedikit menghargai perasaanku, Mas? Tak bisakah kamu sedikit saja tidak bertemu dengannya saat bersamaku?

Kutarik nafasku dalam-dalam. Kupalingkan pandanganku ke danau seolah-olah tidak melihatnya. Hingga Mas Bayu menghampiriku, dan meraih jemariku. Dia menggenggam jemariku dan membimbingku untuk bangkit dari duduk. 

“Ayo kita jalan lagi. Siapa tahu kamu melihat sesuatu yang kamu suka,” katanya. 

Aku mendengus kesal. Bukan bertemu sesuatu yang aku suka, Mas. Tapi bertemu seseorang yang aku benci, batinku.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status