"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku. Dia tak menyahut. Entah karena tidak dengar, atau menganggap pertanyaanku tidak penting untuk dijawab. “Aku bersihkan dapur dulu ya,” katanya, lalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam di tempat tidur. Aku kembali ke alam pikiranku sendiri. Apakah ini yang harus kuterima saat aku tidak mengikhlaskan kepergian Mas Bayu tadi? Tak kusadari, air mata menetes dari sudut mataku. “Nggak usah terlalu dipikirkan, Dik,” kata Mas Bayu saat dia melihatku menitikkan air mata. Mungkin dipikirnya aku merasa bersalah atas kejadian ini. Mungkin dipikirnya aku memikirkan dapur yang hitam penuh jelaga, sementara rumah ini adalah rumah kontrakan. Padahal aku sedang memikirkan dirinya. Dia dan perempuan itu. Dia dan curhatan di email itu. Dia dan masa lalu yang sepertinya terus membelenggu. “Mas, aku lapar,” rajukku. Aku teringat janjiku dalam hati, kalau aku hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Karena memikirkan orang lain, hanya akan membuatku terluka. Aku i
Pukul lima sore. Biasanya Mas Bayu menjemputku. Jika aku belum ada di pelataran lobi, dia akan menelponku. Tapi, ini sudah jam lima lewat. Aku menunggu-nunggu saat dia menelponku dan mencari keberadaanku. Aku berharap dia akan merasa bersalah jika tak mendapatiku di lobi. Atau paling tidak dia akan cemas karena aku pulang lebih awal, sebagaimana dia perhatian selama ini. Namun, lagi-lagi aku salah. Mungkin, sejak saat ini aku harus menghilangkan harapanku pada Mas Bayu. Aku harus pelan-pelan melupakannya. Pukul lima lewat, dia tidak menelponku. Mengirim pesan padaku pun tidak. Baiklah, Mas. Akan kuikuti apa maumu! Lebih baik aku mengurusi diriku sendiri. Aku ingin bahagia. Kubuka aplikasi makanan online. Aku ingin makan yang enak. Aku tidak peduli harganya yang mahal. Selama ini aku tahan-tahan semua keinginanku, agar aku bisa menabung. Agar aku bisa membeli rumah impian bersama Mas Bayu. Agar aku bisa membeli kendaraan bersamanya. Tapi impianku telah sirna. Aku tak ingin ap
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, seperti biasa aku menghidangkan sarapan untuknya.Mas Bayu tidak menyukai sarapan yang terlalu berat. Hanya roti bakar dengan olesan krim keju atau krim coklat dan juga segelas kopi dengan kreamer dan gula.Aku tidak membahas apa yang akhir-akhir ini kulihat tentangnya. Pun juga tidak membahas sikapnya yang berubah. Aku ingin menunggu saat yang tepat. Biarlah saat ini aku pura-pura tidak tahu saja. Aku ingin tahu, apa yang akan Mas Bayu lakukan kemudian. Toh, posisiku jauh lebih kuat dari seorang Sinta. Aku istri sahnya. Aku diterima di keluarganya. Dan aku juga mengandung anaknya. Hanya saja, hatinya yang masih separuh kudapatkan. Aku yakin, cepat atau lambat, hati Mas Bayu akan utuh untukku. “Dik, Mama jadi mau ke sini,” Mas Bayu membuka percakapan tanpa menatap padaku. Pandangannya tertuju pada roti bakar yang ditangannya. Sesekali melihat ke cangkir kopi di depannya. Aku hanya diam. Mataku menatap setiap inci pergerakannya. Hingga kurasakan di
Deru mobil berhenti di depan rumah. Segera kuintip dari celah pintu siapa yang datang. Senyumku mengembang saat terlihat seorang ibu seusia ibuku keluar dari pintu penumpang. Bergegas aku berlari keluar untuk menyambutnya. “Kamu sehat kan, Ndhuk?” tanya Mama Mertua saat aku mencium punggung tangannya. Lalu kami berjalan masuk beriringan. Kubantu Mama membawa tas bawaannya dan masuk ke dalam kamar yang telah tersediakan untuknya. Ibu mertua datang sendirian karena bapak mertua belum pensiun dan masih harus bekerja di kantor. Sejak kami menikah, sebenarnya Mama mertua ingin segera melihat tempat tinggal kami. Namun, Mas Bayu selalu mengulur waktu. Dulu, karena kami masih tinggal di rumah petak. Dan kini, tak ada lagi alasan baginya untuk mengulur kembali setelah kami pindah di rumah yang lebih lega. “Alhmadulillah, Ma,” jawabku seraya meletakkan tas tenteng itu di atas ranjang di kamar tamu. “Mama mau bersih-bersih dulu, atau ngobrol dulu? Anita buatkan teh panas,” tawarku. Ha
Kepulangan Bayu ke rumah orang tuanya saat itu, seolah menjadi titik balik pagi Sinta. Gadis yang sudah selama karir Bayu di kantor, menjadi pacarnya. Hampir tiga tahun menjalin hubungan, bahkan sudah berencana hendak ke jenjang serius, terpaksa terhempas begitu saja. “Mamaku menjodohkanku dengan wanita pilihannya, Sin,” ujar Bayu dengan berat. Rongga dadanya serasa sesak menyampaikan kabar itu. Tapi, diapun tak kuasa menolak keinginan mamanya. Tak ada alasan sakit atau pun warisan yang rata-rata menjadi alasan perjodohan. Tapi hanya semata-mata tradisi keluarganya, menikah dengan berjodoh di lingkaran keluarga besarnya. Bayu bukan tak kenal Anita. Tapi sudah menganggap Anita sebagai adiknya. Tak tega rasanya menolak perjodohan itu. Anita selain masih ada hubungan saudara jauh, juga mamanya dan mama Anita berteman dekat. Sejak remaja Anita telah dibidik oleh sang mama untuk dijodohkan dengannya. Bukan Bayu tak tahu atas perjodohan itu dan tetap melanjutkan hubungan dengan Sinta. Da
Siang itu, hari libur karena akhir pekan. Anita ingin mengajak mama mertuanya jalan-jalan. Tidak enak rasanya jika hanya membiarkan Mama mertuanya tinggal di rumah, sementara dia juga sedang libur bekerja. Bayu sudah pergi sejak pagi. Meskipun ada mamanya di rumah, namun ia tak terlalu terganggu dengan rencananya. Ada lembur, begitu alasannya. Anita memilih untuk tidak peduli meski dia pun merasa bahwa mama mertuanya mulai menaruh kecurigaan. Baginya, dia hanya perlu bahagia tanpa memikirkan hal-hal yang mengusik pikirannya. Jika Bayu tak memedulikannya, buat apa dia peduli? Jika Bayu tak mau menjaga perasaannya, buat apa dia melakukan hal sebaliknya? Meski melihat hal yang janggal dalam hubungan menantu dan putranya, Mama Bayu hanya diam. Dari sikapnya, Mama Bayu tahu kalau menantunya sedang menutupi hal yang tidak beres. Mama Bayu memilih tidak memihak hingga menunggu saat yang tepat untuk bertindak. “Makan di restoran saja, Ma. Aku pengen makan yang berkuah dan pedes,” ujar
Akhirnya aku dan mama Mas Bayu mengurungkan niat melanjutkan jalan-jalan di mall ini.Kami memilih pulang.Hatiku seperti diremas-remas menyaksikan pemandangan tadi. Demikian juga dengan mama mertuaku. Beliau masih terlihat menyimpan amarahnya. Sepanjang jalan, mama Mas Bayu hanya diam. Dadanya masih terlihat naik turun. Aku tak berani menanyakan apapun pada beliau, kecuali saat kita sudah sampai di rumah. “Minum dulu, Ma,” ucapku demi menetralisir amarahnya.Aku tahu, mama pasti kaget melihat pemandangan itu. Pasti beliau tak menyangka kalau putra kesayangannya mampu bertindak seperti itu dibelakangnya.Setahuku, mama sangat menyayangi Mas Bayu. Demikian juga sebaliknya. Mas Bayu tak pernah berani mengecewakannya. Termasuk dalam urusan perjodohanku dengannya ini.Tapi, kenapa harus aku yang menjadi korbannya? Aku memang sejak dulu mencintai Mas Bayu. Aku mengaguminya. Bahkan, menikah dengannya serasa bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Laksana terkabulkannya doa yang selama ini ku
“Mama sudah pesan tiket. Sebentar lagi taksi datang. Mama pulang. Mama tak mau melihat anak mama yang tak tahu diri ini, hingga dia mau memperbaiki kesalahannya,” tukas mama Mas Bayu.Mata tua itu menatapku sambil berkaca-kaca. “Mama. Mama jangan bilang begitu. Anita tidak apa-apa,” tukasku.Aku memeluk wanita yang telah kuanggap sebagai ibuku sendiri ini. Baliau sangat menyayangiku. Aku tahu beliau terluka atas apa yang dilihatnya tadi. Tapi, itulah kenyataan.Memang sungguh menyakitkan. Dan aku memilih tak mengatakan pada beliau, hingga beliau melihatnya sendiri. Apakah aku jahat? “Mama minta maaf, Anita. Mama tak bisa mendidik Bayu,” tukas beliau lagi. Wanita itu tak mau melirik pada putranya. Bahkan beliau meninggalkannya begitu saja, hingga Mas Bayu mengejarnya. “Ma, maafin Bayu, Ma!” Mas Bayu mengejar Mamanya.Bahkan, beliau tak mengindahkan saat Mas Bayu hendak membantu membawa tas ke taksi. Mama tampak sangat kecewa.Aku hanya dapat menghela napas. Ada rasa pedih tatkala s