LOGINRuang VIP itu sunyi. Di mana Raisha memapah Tama menuju ke dalamnya. Tirai tipis bergoyang karena pendingin udara bertiup pelan. Tama lalu berbaring di atas ranjang, matanya perlahan mulai terpejam.Raisha duduk di sisi tempat tidur, menatap wajahnya yang tampak damai. Di matanya, ada kekaguman yang tak sehat, campuran antara iri, dendam, dan keinginan untuk memiliki.Tangannya menyentuh kulit Tama, seperti sawah yang subur memanggil petani untuk menanam benihnya. Antara sadar dan tidak, Tama yang sudah beberapa bulan tak menggarap lahannya, karena sikap dingin dan kesibukan semu istrinya di luar, membuatnya reaktif bertegangan tinggi dengan sentuhan Raisha. Raisha menunduk, bibirnya hampir menyentuh, sekilas muncul bayangan Alya di matanya, kakaknya, lalu bayangan Ravika, semua perempuan yang lebih “di atasnya”, namun tetap tak menghentikan hasratnya. Ia menutup mata, menarik napasnya dalam.“Kadang,” bisiknya pelan, “Untuk menumbuhkan sesuatu yang baru, butuh tanah baru, yang haru
Pagi di Klinik Cendrawasih terasa lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Elyra sudah bisa duduk di tempat tidur tanpa bantuan, bahkan terkadang tertawa kecil saat membaca buku cerita yang dibawakan Tama. Kabar tentang perkembangan kondisi ginjalnya memang seperti angin segar di tengah kepenatan yang melanda."Papa janji, kalau hasil lab minggu depan bagus, kita bisa jalan-jalan ke taman dekat sini," ujar Tama sambil menyuapi Elyra bubur ayam.Ravika yang sedang membereskan barang-barang di sudut ruangan menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia bahagia melihat kedekatan Elyra dan Tama semakin erat. Di sisi lain, bayangan Alya dan konsekuensi dari "jalan-jalan" itu membuatnya cemas."Kita nggak usah terburu-buru, Mas," bisik Ravika ketika Tama berpaling ke arahnya. "Aku nggak mau ini malah bikin masalah.""Justru ini saat yang tepat, Vik," bantah Tama lembut. "Ely butuh suasana baru. Dia sudah terlalu lama terkurung di sini."Tapi Ravika tahu, yang dikhawatirkan
Sementara itu, di rumah megah kawasan Menteng, Raisha sudah mulai merasa seperti tuan rumah. Dengan cerdik, dia memanfaatkan kedekatannya sebagai adik Alya untuk mengamati setiap dinamika dalam rumah tangga kakaknya. Ia memang memendam rasa suka terhadap kakak iparnya. “Dia pulang larut lagi, Kak,” ucap Raisha suatu sore saat mereka berdua sedang minum teh di taman, menyiratkan Tama. “Lagi sibuk urusin anaknya itu ya?”Sebutan “anaknya” sengaja diucapkan Raisha dengan nada sedikit sinis. Alya yang sedang memegang cangkir teh langsung menatapnya tajam.“Sudah jangan ikut campur urusan itu, Sha,” potong Alya singkat. “Aku sudah tahu semuanya.”Raisha tak menyerah. “Tapi, Kak… Kamu nggak khawatir? Itu kan bukan cuma sekedar ‘anak’, tapi juga ada mamanya. Ravika, kan? Mereka bertiga sekarang kayak keluarga kecil di rumah sakit.”Alya meletakkan cangkirnya dengan agak keras. “Aku tahu apa yang aku lakukan. Dan aku tahu apa yang dia lakukan.” Ada amarah yang tertahan di nadanya. Meski su
Vika kembali dengan dua cup minuman panas, nasi bungkus dan beberapa pack roti untuk Elyra. "Aku akan menemani kalian selama proses dialysis," ujarnya pada Ravika."Kamu nggak perlu, Mas. Ada aku di sini. Lagipula, kamu pasti harus ke kantor," jawab Ravika mencoba bersikap praktis, sembari menyerahkan kopi panas dan menyiapkan sarapan mereka. "Tidak ada yang lebih penting dari ini," bantah Tama dengan lembut tapi tegas. "Aku sudah mengatur semuanya. Seno akan menangani meeting pagi ini, dan aku bisa bekerja dari sini." Dia mengeluarkan laptop dari tas kerjanya, menunjukkan niatnya untuk benar-benar hadir sepenuhnya.Selepas sarapan dan sambil menunggu persiapan dialysis selesai, Tama membuka laptopnya dan mulai membalas email. Ravika memperhatikannya diam-diam. Ada yang berbeda dalam caranya sekarang. Bukan lagi CEO yang dingin dan berjarak, melainkan seorang ayah dan... seseorang yang berusaha memperbaiki kesalahan. Tapi bisakah niat baik mengubah takdir? Bisakah kehadirannya seka
Di dalam mobil yang meluncur kembali menuju ke rumah sakit, Ravika memegang erat tas berisi pakaian ganti dan barang-barang kecil Elyra. Sebuah boneka kain beruang yang sudah usang, buku cerita favorit, dan selimut kecil yang selalu menemaninya tidur. Barang-barang itu terasa begitu ringan, namun seakan berbicara tentang betapa rapuhnya kehidupan yang sedang mereka perjuangkan."Tadi... apa kata Ayah setelah aku masuk?" tanya Ravika, memecah kesunyian.Tama menghela napas, kedua tangannya masih erat memegang kemudi. "Dia bilang, yang dibutuhkan bukan janji, tapi tindakan." Dia melirik sebentar ke arah Ravika. "Dan dia benar. Aku sudah terlalu banyak berjanji dalam hidup ini, tapi mungkin terlalu sedikit yang benar-benar kutepati," imbuhnya. "Kamu nggak harus merasa terpaksa, Mas. Aku dan Ely udah terbiasa...""Jangan," potong Tama, suaranya tegas. "Jangan lagi bilang kalian sudah terbiasa. Aku nggak mau kalian 'terbiasa' lagi. Aku ingin kalian... terbebas. Terbebas dari semua pende
Beberapa jam kemudian, setelah memastikan Elyra stabil dan dijaga oleh perawat, Tama mengantar Ravika pulang untuk mengambil pakaian ganti untuk Elyra dan dirinya sendiri serta perlengkapan rawat inap lainnya. Di dalam mobil, Ravika memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Tapi yang terlihat justru bayangan Alya, wajahnya yang terluka, tatapannya yang tajam menyalahkan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Mas?" tanyanya lirih, suaranya serak.Tama menghela napasnya dalam. "Aku akan bicara dengan Alya. Jelasin semuanya dari awal." Tangannya menggenggam kemudi lebih kencang. "Dia berhak mendengarnya langsung dariku.""Tapi...""Tidak ada 'tapi', Vik. Ini sudah keterlaluan. Bagaimanapun, Alya adalah istriku, dan dia menemukan kebenaran dengan cara yang paling buruk." Suara itu ada penyesalan dalam nada bicaranya. "Aku harus bertanggung jawab atas situasi ini."Mendengar kata "istriku" dari mulut Tama, Ravika semakin hancur. Itu adalah pengingat keras tentang posisinya yang se







