“Pagi Sayang,” sapa Lidya yang baru turun dan langsung menghampiri suaminya, ia kecup pipi Saka sebentar lalu duduk di hadapan suaminya.
“Pagi, semalam kamu pulang jam berapa?”
“Pukul dua belas kalau tidak salah, kamu sudah tidur nyenyak jadi aku tidak berani membangunkanmu.”
Lidya menyendok nasi goreng beserta lauk pauknya. Setelah makanannya siap, wanita itu mengeluarkan ponsel lalu melahap nasi goreng sambil satu tangannya sibuk main ponsel.
“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”
“Hm, kamu mau bicara apa?” fokus Lidya masih tertuju pada ponselnya.
Saka menyimpan alat makannya, memperhatikan sang istri dengan tatapan yang tak biasa. Ia ingin membahas masalah serius, dia ingin menanyakan pendapat sang istri tentang keinginan kedua orang tuanya. Sebenarnya Saka sudah pernah membicarakan masalah ini dengan Lidya beberapa waktu lalu namun pembicaraan itu terputus karena Lidya harus menerima panggilan dari bosnya. Keesokan harinya Saka berusaha untuk menyampaikan hal yang sama tapi selalu saja ada halangan yang membuat pembicaraan itu terus tertunda sampai hari ini.
“Bisa aku minta perhatianmu sebentar?” ungkap Saka dengan nada agak tinggi, Lidya menatapnya seperti kaget kemudian ia pun mengangguk.
Saka menghela napas berat, ia merasa buruk setelah berbicara pada istrinya dengan nada tinggi. Ia hanya ingin bicara empat mata dengan fokus, hanya itu saja keinginannya saat ini.
“Semalam Ibu dan Bapak menghubungiku, mereka menanyakan kabarmu.”
“Oh, ya? Wah, kabar mereka bagaimana? Aku juga sangat merindukan mereka.”
“Ibu sehat sedangkan Bapak sakit, mereka ingin bicara denganmu tapi kamu tidak ada di tempat. Mereka juga pasti sangat merindukanmu.”
Lidya mulai merasa obrolan ini sangat serius, ia menaruh semua fokusnya pada Saka tanpa berani menyentuh ponselnya lagi.
“Maaf, Sayang, aku juga tidak menyangka semalam akan ada rapat dadakan.”
“Kamu bisa langsung pulang setelah rapat lantas kenapa harus menyempatkan mampir ke acara bosmu?”
“Saka ....”
“Berhentilah dari pekerjaanmu, apakah semua nafkah yang kuberikan selama ini masih kurang sampai kamu harus kerja berlebihan dan lupa waktu begitu?”
“Sayang, ini bukan perkara nafkah atau uang. Aku mencintai pekerjaanku dan kamu tahu itu. sejak awal kita memutuskan menikah bukankah kita sudah sepakat untuk tetap berkarier di bidang masing-masing? Selama ini kamu tidak pernah mempermasalahkan pekerjaanku lalu kenapa tiba-tiba sekarang kamu memintaku berhenti?”
“Kamu sudah memiliki segalanya, Lid, tidakkah itu cukup untuk sekarang?”
Lidya tersenyum miring sambil menggeleng kecil, “Tidak, Saka, ini belum cukup. Kamu tahu tidak, di acara bosku semalam, dia menawarkan kenaikan jabatan untukku. Aku ditawari untuk menjadi wakil direktur karena kinerjaku selama tujuh tahun terakhir sangat memuaskannya. Aku sudah berjuang sejauh ini, Sayang, mana bisa aku melepaskannya begitu saja. Hanya tinggal satu langkah lagi untuk pencapaian terbesar dalam karierku.”
Saka tahu akhirnya akan begini, jawaban yang sama terulang kembali meski alasannya berbeda-beda. Intinya Lidya tidak mau melepas kariernya demi Saka. Pria itu tahu permintaannya tidak akan dikabulkan tapi dia tetap menyampaikannya dengan penuh harap. Pada akhirnya dia kembali dikecewakan.
“Mau sampai kapan kita begini, Lid? Semalam Bapak mengatakan bahwa rumah tangga kita sedang tidak sehat. Beliau memintaku untuk menyembuhkannya dan aku ingin melakukan itu sekarang. Aku ingin rumah tangga kita kembali seperti dulu.”
“Rumah tangga kita selalu seperti dulu, Saka. Sejak awal menikah kita sudah sama-sama bekerja, kita sudah sama-sama sibuk tapi hubungan kita tetap baik-baik saja tanpa perlu aku keluar dari pekerjaanku. Kita tetap bisa melanjutkan hubungan seperti biasanya, Sayang, apa yang kamu khawatirkan? Yang penting aku sayang sama kamu dan kamu juga sayang sama aku. Kita saling percaya dan setia, itu cukup, kan?”
“Tapi kondisi kita sudah berbeda sekarang Lidya, tolong mengertilah!”
“Apanya yang berbeda?!”
Dua orang itu sama-sama meninggikan suara, mereka saling pandang lalu membuang muka masing-masing. Keduanya mengatur pernapasannya agar lebih tenang.
“Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu,” ucap Saka setelah minum seteguk air bening.
“Iya, aku juga minta maaf. Aku ikut terbawa emosi tapi tolong Saka, mengertilah aku. Kamu tahu kan aku sangat mencintai pekerjaanku, aku tidak bisa hidup tanpa bekerja.”
Saka mengangguk paham, baiklah, dia menyerah. Jika memang Lidya tidak bisa berhenti dari pekerjaannya maka Saka harap Lidya bisa mewujudkan satu permintaan terakhirnya. Kalau Lidya tidak bisa menyanggupi yang satu ini, Saka benar-benar tidak tahu harus menjalani rumah tangga ini dengan bagaimana lagi.
“Oke, kamu boleh tetap bekerja asal dengan satu syarat,” kata Saka menatap serius istrinya.
“Apa?”
“Kita harus punya anak, aku ingin kita tidak menundanya lagi, Lid. Tahun ini kita harus program kehamilan demi keselamatan rumah tangga ini. Kamu setuju?”
Lidya mengembangkan senyum, ia kemudian berlari dan memeluk suaminya dari belakang. Wanita itu mengecup pipi Saka beberapa kali sambil mengatakan, “Iya, aku setuju. Mari punya anak tahun ini. Aku juga sudah menginginkannya.”
Saka tersenyum lega mendengar hal itu, dia menoleh pada istrinya kemudian melempar senyum manis.
“Kalau begitu pekan depan kita atur pertemuan dengan dokter, ya?” ajak Saka, suasana hatinya kembali baik.
“Iya, aku ikut semua perintahmu. Makasih ya, Sayang.”
Lidya kembali memeluk Saka dan mendapat balasan positif. Saka simpulkan pembicaraan pagi ini berjalan dengan sempurna. Niat utamanya terwujud, itu saja yang terpenting.
Kurang lebih empat hari sudah Saka berada di desa Sukasari, ia dan tim menjalankan tugas dengan sangat baik sampai semua korban berhasil dievakuasi. Desa Sukasari dan sekitarnya berduka sangat dalam. Para korban sudah dimakamkan secara masal dan bala bantuan terus berdatangan setiap harinya. Mereka yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal masih memerlukan uluran tangan saudara-saudaranya. Dengan berakhirnya proses pencarian korban, bisa dikatakan berakhir pula tugas Sakalangit di sana. Menurut kabar yang beredar, Saka akan kembali ke kota dua hari lagi. Malah sebagian anggota timnya sudah kembali lebih dulu atas perintah pria itu. Sharena ketar-ketir mendengar itu, dia belum sempat mengobrol banyak lagi dengan pria pujaannya setelah siang itu. Setiap Sharena mau menemui Saka pasti selalu ada gangguan. Pria itu sibuk luar biasa, kondisinya juga genting jadi sangat tidak etis jika gadis itu menyita waktu Saka terlalu banyak. Sore ini, Sharena sedang sibuk menggalau di kamarnya,
Sharena menatap Saka dari jauh, bersembunyi di balik pohon mangga sambil memeluk rantang berisi makanan yang sengaja dia masak untuk Saka. Usai membantu para relawan memasak makan siang untuk para korban di dapur umum, Sharena sengaja memasak menu tambahan yang spesial dia buat hanya untuk Saka. Semangat itu begitu menggebu sebelumnya, namun kini, ketika Sharena hanya tinggal memberikan hasil karyanya tiba-tiba dia dera keraguan yang begitu besar. Dia masih belum lupa tentang fakta bahwa Saka sudah memiliki istri. Walaupun sedang berada jauh dari Lidya, tetap saja pria itu milik Lidya. Tidakkah tindakan dan perhatian Sharena ini hanya akan membuat Saka tidak nyaman nantinya? “Aduh, kasih jangan ya? Kalau dikasih sama pak Saka nanti dia berpikir macam-macam lagi tentang niatku tapi kalau enggak dikasih kan mubazir.” “Dor!” “Astagfirullah!” kaget Sharena refleks memukul orang yang mengejutkannya. Di tengah kebimbangan yang melanda hati Sharena tiba-tiba dia dikejutkan oleh kemuncula
“Euleuh ... euleuh ... bah Jana sama siapa itu? Meuni kasep pisan!” puji Esih terpesona melihat ketampanan dua orang pemuda yang tampak asing di matanya.Esih yakin dua pemuda itu bukan orang kampung sana, bahkan dia juga meyakini tidak ada orang seperti itu di desa Sukasari ini. Dua pemuda itu dan abah Jana baru selesai melaksanakan sembahyang salat Isya. Mereka masih di selasar masjid, tampak sedang asyik mengobrol.“Enggak bisa dibiarkan, mesti laporan sama Sharena ini.”Gegas wanita bertubuh agak berisi itu melesat pergi—menjauhi area masjid demi menyusul Sharena di rumahnya.“Lain kali kalau pak Saka dan yang lainnya mau menggunakan kamar mandi di masjid ini langsung datang saja, ya. Sekalian bisa sambil salat berjamaah sama warga sini,” tutur Jana, sebagai tuan rumah untuk para tamunya, dia memperlakukan Saka dan yang lain dengan sangat baik.“Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi sepertinya cukup untuk malam ini saja, kalau bala bantuan tambahan sudah datang kemungkinan kami akan
"Ya Allah, parah banget longsornya, Bah," kata Sharena sedang mendampingi abahnya melihat bencana alam yang menimpa salah satu kampung yang sebenarnya cukup dekat dengan kampung Sharena. Wilayahnya masih berada di kawasan desa yang sama, cuma terpisah oleh satu sungai saja. Hujan lebat yang semalam mengguyur tempat itu membawa bencana dahsyat. Puluhan rumah warga yang dekat dengan lereng gunung tertimbun. Kabarnya sampai menimbulkan korban jiwa, beberapa sudah ditemukan sedangkan sisanya masih proses evakuasi. "Iya, astagfitullah, rumah Uwa kamu juga habis tertimbun, Ren. Sekarang dia sudah ada di pengungsian, kita temui dia dulu baru nanti Abah mau gabung sama warga dalam mengevakuasi korban." Sharena mengangguk paham, mereka lanjut berjalan menyusuri jalanan basah dan lengket. Maklum akses menuju kampung seberang masih cukup sulit. Setelah melewati jembatan kayu yang membentang di atas sungai perbatasan, mereka harus berjalan sekitar 300 meter jauhnya. Kendaraan bermotor tidak mem
Dua tahun kemudian ... Waktu berjalan sangat cepat. Membawa setiap insan pada halaman kehidupan yang sama sekali berbeda dari masa yang telah ditinggalkan. Setiap hal berotasi, mengalami perubahan dengan atau tanpa disadari. Di antara banyaknya perubahan, ada satu hal yang tetap dipertahankan oleh Sakalangit Bastara. Kesendirian yang dipeluk masih tetap sama sejak kata talak terucap dan pengadilan meresmikan perpisahannya dengan Lidya. Ini bukan perkara sudah atau belum melupakan masa lalu. Bukan juga tentang ada atau tidaknya hati baru yang berusaha menyentuh kehidupan Saka. Pria itu hanya sedang menikmati masa-masa pemulihan yang sungguh menyembuhkan semua kepiluan hatinya. Dia sadar bahwa luka yang dulu tertoreh hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu, Saka sangat fokus pada dirinya sendiri dan keluarga. Menyelesaikan semua tanggung jawab dengan penuh sambil berusaha membahagiakan kedua orang tuanya. Meskipun sudah tampak baik-baik saja, nya
Ramen aneka toping telah tersaji di atas meja, sang pelayan undur diri setelah memastikan tiga porsi ramen yang dipesan tamunya lengkap. Kafe yang menjual makanan khas Jepang ini menjadi pilihan May untuk mengajak Saka berbincang. Mereka memesan ruangan khusus dan tertutup demi menjaga privasi. Acara makan berlangsung dengan damai. Setelah semuanya sama-sama santai dan momennya tepat, May mulai membuka pembicaraan. Public speaking May sebagai seorang manajer tidak perlu diragukan. Penjelasan ihwal tujuannya mengajak Saka berunding sangat singkat, padat, dan mudah dimengerti.Sepanjang May bercerita, perasaan sesal muncul di hati Saka. Dia menganggap dirinya sebagai penyebab utama hal buruk yang dialami Sharena walaupun faktanya Saka tidak tahu apa-apa. Sementara Sharena, dia hanya membisu dan fokus pada makanannya yang belum habis. Hati kecil gadis itu ingin melarikan diri dari situasi ini. Niatnya yang ingin menghilang secara diam-diam dari kehidupan Saka gagal total karena May."Ja