Share

Chapter 7| Aku Mau Punya Anak

“Pagi Sayang,” sapa Lidya yang baru turun dan langsung menghampiri suaminya, ia kecup pipi Saka sebentar lalu duduk di hadapan suaminya.

“Pagi, semalam kamu pulang jam berapa?”

“Pukul dua belas kalau tidak salah, kamu sudah tidur nyenyak jadi aku tidak berani membangunkanmu.”

Lidya menyendok nasi goreng beserta lauk pauknya. Setelah makanannya siap, wanita itu mengeluarkan ponsel lalu melahap nasi goreng sambil satu tangannya sibuk main ponsel.

“Ada yang mau aku bicarakan sama kamu.”

“Hm, kamu mau bicara apa?” fokus Lidya masih tertuju pada ponselnya.

Saka menyimpan alat makannya, memperhatikan sang istri dengan tatapan yang tak biasa. Ia ingin membahas masalah serius, dia ingin menanyakan pendapat sang istri tentang keinginan kedua orang tuanya. Sebenarnya Saka sudah pernah membicarakan masalah ini dengan Lidya beberapa waktu lalu namun pembicaraan itu terputus karena Lidya harus menerima panggilan dari bosnya. Keesokan harinya Saka berusaha untuk menyampaikan hal yang sama tapi selalu saja ada halangan yang membuat pembicaraan itu terus tertunda sampai hari ini.

“Bisa aku minta perhatianmu sebentar?” ungkap Saka dengan nada agak tinggi, Lidya menatapnya seperti kaget kemudian ia pun mengangguk.

Saka menghela napas berat, ia merasa buruk setelah berbicara pada istrinya dengan nada tinggi. Ia hanya ingin bicara empat mata dengan fokus, hanya itu saja keinginannya saat ini.

“Semalam Ibu dan Bapak menghubungiku, mereka menanyakan kabarmu.”

“Oh, ya? Wah, kabar mereka bagaimana? Aku juga sangat merindukan mereka.”

“Ibu sehat sedangkan Bapak sakit, mereka ingin bicara denganmu tapi kamu tidak ada di tempat. Mereka juga pasti sangat merindukanmu.”

Lidya mulai merasa obrolan ini sangat serius, ia menaruh semua fokusnya pada Saka tanpa berani menyentuh ponselnya lagi.

“Maaf, Sayang, aku juga tidak menyangka semalam akan ada rapat dadakan.”

“Kamu bisa langsung pulang setelah rapat lantas kenapa harus menyempatkan mampir ke acara bosmu?”

“Saka ....”

“Berhentilah dari pekerjaanmu, apakah semua nafkah yang kuberikan selama ini masih kurang sampai kamu harus kerja berlebihan dan lupa waktu begitu?”

“Sayang, ini bukan perkara nafkah atau uang. Aku mencintai pekerjaanku dan kamu tahu itu. sejak awal kita memutuskan menikah bukankah kita sudah sepakat untuk tetap berkarier di bidang masing-masing? Selama ini kamu tidak pernah mempermasalahkan pekerjaanku lalu kenapa tiba-tiba sekarang kamu memintaku berhenti?”

“Kamu sudah memiliki segalanya, Lid, tidakkah itu cukup untuk sekarang?”

Lidya tersenyum miring sambil menggeleng kecil, “Tidak, Saka, ini belum cukup. Kamu tahu tidak, di acara bosku semalam, dia menawarkan kenaikan jabatan untukku. Aku ditawari untuk menjadi wakil direktur karena kinerjaku selama tujuh tahun terakhir sangat memuaskannya. Aku sudah berjuang sejauh ini, Sayang, mana bisa aku melepaskannya begitu saja. Hanya tinggal satu langkah lagi untuk pencapaian terbesar dalam karierku.”

Saka tahu akhirnya akan begini, jawaban yang sama terulang kembali meski alasannya berbeda-beda. Intinya Lidya tidak mau melepas kariernya demi Saka. Pria itu tahu permintaannya tidak akan dikabulkan tapi dia tetap menyampaikannya dengan penuh harap. Pada akhirnya dia kembali dikecewakan.

“Mau sampai kapan kita begini, Lid? Semalam Bapak mengatakan bahwa rumah tangga kita sedang tidak sehat. Beliau memintaku untuk menyembuhkannya dan aku ingin melakukan itu sekarang. Aku ingin rumah tangga kita kembali seperti dulu.”

“Rumah tangga kita selalu seperti dulu, Saka. Sejak awal menikah kita sudah sama-sama bekerja, kita sudah sama-sama sibuk tapi hubungan kita tetap baik-baik saja tanpa perlu aku keluar dari pekerjaanku. Kita tetap bisa melanjutkan hubungan seperti biasanya, Sayang, apa yang kamu khawatirkan? Yang penting aku sayang sama kamu dan kamu juga sayang sama aku. Kita saling percaya dan setia, itu cukup, kan?”

“Tapi kondisi kita sudah berbeda sekarang Lidya, tolong mengertilah!”

“Apanya yang berbeda?!”

Dua orang itu sama-sama meninggikan suara, mereka saling pandang lalu membuang muka masing-masing. Keduanya mengatur pernapasannya agar lebih tenang.

“Maaf, aku tidak bermaksud membentakmu,” ucap Saka setelah minum seteguk air bening.

“Iya, aku juga minta maaf. Aku ikut terbawa emosi tapi tolong Saka, mengertilah aku. Kamu tahu kan aku sangat mencintai pekerjaanku, aku tidak bisa hidup tanpa bekerja.”

Saka mengangguk paham, baiklah, dia menyerah. Jika memang Lidya tidak bisa berhenti dari pekerjaannya maka Saka harap Lidya bisa mewujudkan satu permintaan terakhirnya. Kalau Lidya tidak bisa menyanggupi yang satu ini, Saka benar-benar tidak tahu harus menjalani rumah tangga ini dengan bagaimana lagi.

“Oke, kamu boleh tetap bekerja asal dengan satu syarat,” kata Saka menatap serius istrinya.

“Apa?”

“Kita harus punya anak, aku ingin kita tidak menundanya lagi, Lid. Tahun ini kita harus program kehamilan demi keselamatan rumah tangga ini. Kamu setuju?”

Lidya mengembangkan senyum, ia kemudian berlari dan memeluk suaminya dari belakang. Wanita itu mengecup pipi Saka beberapa kali sambil mengatakan, “Iya, aku setuju. Mari punya anak tahun ini. Aku juga sudah menginginkannya.”

Saka tersenyum lega mendengar hal itu, dia menoleh pada istrinya kemudian melempar senyum manis.

“Kalau begitu pekan depan kita atur pertemuan dengan dokter, ya?” ajak Saka, suasana hatinya kembali baik.

“Iya, aku ikut semua perintahmu. Makasih ya, Sayang.”

Lidya kembali memeluk Saka dan mendapat balasan positif. Saka simpulkan pembicaraan pagi ini berjalan dengan sempurna. Niat utamanya terwujud, itu saja yang terpenting.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status